
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas (Mantan Pejabat)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Ada yang tak selesai di republik ini ketika seseorang turun dari kekuasaan. Tak selesai dengan dirinya. Tak selesai dengan kenyataan bahwa kekuasaan itu fana. Bahwa jabatan, setinggi apa pun, sejatinya hanya sementara. Seorang mantan pejabat yang gagal berdamai dengan kenyataan, akan mudah terserang penyakit: penyakit mantan pejabat. Gejalanya banyak. Dari yang paling ringan—bernostalgia berlebihan—hingga yang akut: merasa tetap paling tahu, merasa masih berhak mengatur, bahkan merasa masih berkuasa padahal sudah pensiun.
Fenomena ini bukan cerita baru. Dalam dunia psikologi, dikenal istilah post power syndrome (PPS). Namun di tangan kekuasaan yang berlapis simbol, PPS berubah menjadi patologi sosial-politik. Bukan hanya menggerogoti individu, tapi mengganggu ruang publik. Ia jadi sumber kekacauan, karena para mantan yang belum bisa “move on” ini menjelma seperti hantu masa lalu—terus bergentayangan dalam diskursus publik, mencampuri pengganti mereka, menyetir opini, bahkan mengobarkan konflik diam-diam.
Kita menyebut mereka “mantan”, tapi mereka menolak disebut demikian. Karena bagi sebagian orang, status mantan itu tidak mengenakkan. Menjadi mantan berarti kehilangan pusat. Dan kehilangan pusat adalah kehilangan segalanya.
Penyebab
Salah satu penyebab penyakit mantan pejabat ini adalah terlalu melekatnya identitas personal dengan kekuasaan. Posisi publik yang mestinya hanya peran fungsional, perlahan berubah menjadi identitas eksistensial. Jabatan bukan lagi alat untuk melayani, tapi jadi sumber makna hidup. Ketika jabatan itu hilang, hidup pun seperti kehilangan arah.
Ini mengapa kita melihat banyak mantan pejabat yang tidak tenang setelah pensiun. Mereka menjadi komentator tetap di media, tampil seolah masih berada di ruang kendali. Mereka aktif menulis status, merespons setiap kebijakan dengan nada penghakiman, merasa tak ada yang lebih tahu selain dirinya. Bahkan ada yang melompat dari institusi ke institusi, menjadi “penasehat segala hal”, seolah negeri ini tak bisa berjalan tanpanya.
Ada juga yang lebih ekstrem. Setelah turun jabatan, mereka sibuk membangun relasi kuasa baru. Membentuk kelompok, jaringan, atau yayasan dengan orientasi politik yang tak jelas. Semua gerak-geriknya adalah upaya mempertahankan pengaruh. Padahal, masa jabatan sudah usai. Hal semacam ini sangat lazim dalam lanskap politik Indonesia—dan kita diam saja.
Dalam dunia birokrasi, penyakit ini menimbulkan ketegangan antargenerasi. Para penerus merasa tidak leluasa bekerja karena masih ada “bayang-bayang” pendahulu yang tak mau benar-benar pergi. Ketika pengganti tidak mengikuti pola lama, maka ia dicurigai. Ketika ia membuat terobosan, ia dianggap membangkang. Di balik layar, mantan pejabat bisa menjadi kekuatan konservatif yang menghambat perubahan.
Lantas, mengapa ini terjadi? Mengapa seorang pejabat sulit menerima akhir?
Pertama, kita belum menanamkan budaya mundur dengan elegan. Dalam sistem politik kita, pengunduran diri masih dianggap aib, bukan tanggung jawab. Padahal di negara-negara demokrasi matang, mundur adalah bentuk etika publik. Seorang pemimpin mundur bukan karena gagal, tapi karena menyadari saatnya memberi tempat pada yang lain. Dalam konteks itu, seorang mantan akan tampil sebagai negarawan.
Kedua, kita tidak punya sistem transisi yang sehat. Tidak ada proses pelepasan kuasa yang memadai secara psikologis maupun institusional. Mantan pejabat seharusnya mendapat ruang untuk “menyepi” secara terhormat. Tapi di Indonesia, mantan justru didekati untuk kepentingan politik baru. Ia dibisiki untuk kembali tampil. Ia dibujuk untuk masuk dalam pusaran perebutan pengaruh. Di saat yang sama, ia belum selesai dengan dirinya sendiri.
Ketiga, karena kita memang hidup dalam masyarakat yang terlalu menghormati simbol. Mantan pejabat masih dipanggil dengan gelar jabatannya. Masih dikawal, dijamu, diundang ke mana-mana. Semua ini memberi ilusi bahwa dirinya masih relevan. Padahal mungkin tidak lagi. Kita menciptakan ruang publik yang sulit membedakan antara penghormatan dan ketergantungan. Mantan pun jadi lupa, bahwa waktu sudah lewat.
Dampak dari semua ini tidak kecil. Mantan pejabat yang belum sembuh bisa mengganggu stabilitas, memperkeruh informasi publik, bahkan membuat loyalitas birokrasi terbelah. Ia bisa membentuk jaringan loyalis yang bekerja di bawah radar. Bahkan dalam beberapa kasus, ia menjadi bagian dari shadow government—pemerintahan bayangan yang tidak terlihat tapi sangat terasa.
Penyakit ini juga menular ke generasi baru. Para pejabat muda melihat bagaimana para senior tak pernah benar-benar meninggalkan panggung. Maka mereka pun bersikap serupa: mempertahankan kekuasaan sekuat tenaga, tidak menyiapkan kader, tidak membangun institusi, hanya mengandalkan jejaring personal. Siklus ini terus berulang. Kekuasaan tidak pernah menjadi sistem, tapi sekadar perpanjangan ego pribadi.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, kita butuh redefinisi tentang kehormatan. Bahwa kehormatan pejabat bukan pada seberapa lama ia berkuasa, tapi seberapa elegan ia pergi. Kita butuh narasi baru: pensiun itu mulia, selesai itu indah. Kita perlu menampilkan lebih banyak contoh mantan pejabat yang anggun dalam keheningan, yang tidak merasa perlu tampil terus, tapi justru dihormati karena diamnya.
Kedua, negara harus menyediakan ruang transisi yang manusiawi. Ini bukan soal fasilitas atau pensiun semata. Tapi ruang untuk mengalihkan energi, pengetahuan, dan pengalaman ke tempat yang tepat. Negara-negara maju memiliki sistem penugasan baru bagi mantan pejabat—dari menjadi dosen, pemikir, hingga duta budaya. Di tangan mereka, kekuasaan yang telah lewat menjadi warisan, bukan beban.
Ketiga, masyarakat sipil dan media harus lebih cermat. Tidak semua suara mantan harus ditampilkan. Tidak semua opini mantan relevan. Kritik boleh, tapi mesti diletakkan dalam etika demokrasi. Kita tak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu. Karena masa depan hanya bisa dibangun oleh mereka yang hidup di masa kini.
Kita semua—secara sadar atau tidak—adalah mantan dari sesuatu. Mantan siswa, mantan aktivis, mantan pemimpin organisasi. Tapi menjadi mantan bukan berarti kehilangan nilai. Justru dalam status mantan itulah kebijaksanaan diuji. Seorang mantan yang bijak tahu kapan harus bicara dan kapan diam. Tahu kapan harus hadir dan kapan pergi. Ia tidak merasa kehilangan panggung, karena panggungnya kini adalah keteladanan.
Sayangnya, masih banyak mantan pejabat kita yang belum sampai pada tahap itu. Mereka sibuk mempertahankan pengaruh, bukan mewariskan nilai. Mereka ingin terus didengar, tapi tak siap menerima kenyataan. Akhirnya mereka hanya menjadi gema—bukan suara asli.
Kekuasaan, betapapun hebatnya, selalu punya batas. Dan pemimpin besar tahu, kekuasaan yang agung adalah kekuasaan yang mampu diakhiri dengan anggun.
Dalam keheningan itulah, seorang mantan benar-benar hadir. Dan dalam kepergian yang elegan, ia abadi dalam ingatan. (han)