Bandung, www.pasjabar.com — Pertemuan tahunan Asosiasi Pengelola Jurnal Hukum Indonesia (APJHI) tahun ini resmi digelar oleh APJHI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, di Bandung, Sabtu (21/6/2025). Acara ini secara resmi dibuka oleh Wakil Rektor I Universitas Pasundan Prof. Dr. Cartono, M.Pd., M.T..
Kegiatan ini menjadi ruang strategis untuk memperkuat tata kelola jurnal hukum di Indonesia, sekaligus menjawab tantangan baru seperti pemanfaatan Artificial Intelligence (AI), ghostwriter, dan pentingnya menjaga orisinalitas karya ilmiah.
Ketua APJHI, Dr. Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M., mengatakan bahwa acara ini merupakan agenda rutin untuk mengumpulkan pengelola jurnal hukum dari seluruh Indonesia.
“Kita tidak hanya mengejar kuantitas dan reputasi internasional, tapi juga harus menjaga kualitas dan etika publikasi,” ujarnya.
FH Unpas Jadi Tuan Rumah, Dorong Literasi Hukum dan Jurnal Berkualitas
Dekan FH Unpas, Prof. Dr. Anthon Freddy Susanto, S.H., M.Hum., menegaskan bahwa kerja sama dengan APJHI ini bukan hanya membangun jejaring antarlembaga, tetapi juga menjadi momentum pengembangan kualitas penerbitan jurnal ilmiah di lingkungan kampus.
“Ini jadi kesempatan bagi kami untuk meningkatkan literasi dan etika dalam publikasi hukum. Apalagi FH Unpas punya jurnal terakreditasi Sinta II, dan sedang menuju reputasi internasional,” jelas Prof. Anthon.
Ia juga menyinggung perlunya kode etik untuk mengatur peran ghostwriter dan pemanfaatan AI dalam dunia akademik.
Menurutnya, ghostwriter memang eksis, namun harus dibatasi secara etis agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi seperti kenaikan pangkat atau publikasi palsu.
“Posisi ghostwriter perlu diatur. Mereka tidak boleh masuk ke ranah publikasi riset ilmiah yang menyangkut integritas akademik,” tegasnya.
Kemdiktisaintek: Dorong Regulasi AI dan Orisinalitas dalam Publikasi
Isu pemanfaatan AI juga mendapat perhatian serius dari pemerintah. Prof. Apt. I Ketut Adnyana, M.Si., Ph.D, Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorar Jenderal Riset dan Pengembangan Kemdiktisaintek, menyatakan bahwa diskusi seputar etika AI sedang hangat, tidak hanya di bidang hukum tapi juga di ranah STEM dan sosial humaniora.
“AI sebagai alat bantu itu sah-sah saja. Tapi harus ada deklarasi, mana bagian yang menggunakan AI, mana yang tidak. Kuncinya tetap pada kode etik,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa AI sebaiknya tidak menggantikan peran penulis dalam analisis, interpretasi sosial, dan konteks ilmiah.
Lebih lanjut, Prof. Ketut juga menyampaikan bahwa Indonesia kini memiliki lebih dari 13.000 jurnal nasional terakreditasi, dengan lebih dari 200 di antaranya telah mendapat pengakuan internasional.
Melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, pemerintah telah menyelenggarakan berbagai workshop di berbagai daerah untuk mendukung pengelolaan jurnal dan penulisan artikel ilmiah berkualitas.
“Semangat menulis jurnal jangan semata-mata untuk naik pangkat. Tapi sebagai kontribusi meningkatkan literasi masyarakat dalam bidang keilmuan kita masing-masing,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya menjaga orisinalitas karya, karena telah ditemukan beberapa kasus pelanggaran yang menjadi perhatian serius pemerintah.
Suara Pengelola Jurnal: Pentingnya Relasi, Etika, dan Kualitas
Kalangan pengelola jurnal, Shelly Kurniawan dari Universitas Kristen Maranatha menjelaskan bahwa kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi penting antar editor jurnal hukum.
Ia menilai pembahasan tentang kode etik sangat relevan, terutama dalam konteks meningkatnya tren tugas akhir berbasis jurnal bagi mahasiswa.
“Dosen dan mahasiswa sama-sama butuh tahu etika penulisan. Tidak cukup asal menulis, tapi juga harus paham cara parafrase, kutipan tidak langsung, dan menghindari plagiarisme,” ujarnya.
Shelly juga menilai AI sebagai alat bantu yang berguna, namun tetap harus disikapi kritis. “AI bisa bantu kita validasi ide atau hipotesis. Tapi hasilnya tergantung dari sumber yang dikumpulkan AI. Kalau sumbernya salah, rangkumannya juga bisa keliru,” tegasnya.
Ia berharap, ke depan, penulisan jurnal di Indonesia tidak hanya dilihat sebagai syarat administratif semata, tetapi sebagai sarana meningkatkan kualitas diri dan reputasi keilmuan di tingkat global.











