Manchester, www.pasjabar.com — Pelatih Manchester City, Josep ‘Pep’ Guardiola, memanfaatkan momen istimewa saat menerima gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Manchester pada Senin (9/6).
Alih-alih berbicara tentang sepak bola atau kariernya, Pep justru menggunakan podium itu untuk menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina.
Dalam pidatonya yang emosional, Guardiola menegaskan bahwa penderitaan warga sipil di Gaza bukanlah sekadar isu politik, melainkan masalah kemanusiaan universal.
“Ini sangat menyakitkan apa yang kita lihat di Gaza. Itu menyakitkan seluruh tubuh saya,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Biar saya perjelas, ini bukan tentang ideologi. Ini bukan tentang saya benar dan Anda salah. Ayolah, ini hanya tentang cinta kehidupan. Tentang kepedulian terhadap sesama.”
Mengapa Pidato Pep Begitu Berani dan Berbeda?
Sebagai seorang ayah, Pep mengaku terbayang-bayang oleh gambar anak-anak yang tewas di Gaza. Rasa takut itu begitu kuat, seolah hal tersebut bisa menimpa anaknya sendiri.
Pidatonya menyentuh sisi personal, melampaui batas geografis, agama, dan politik, mengingatkan kita bahwa empati tidak memerlukan izin.
Keberanian Pep Guardiola bersuara menjadi sangat signifikan. Terlebih, klubnya, Manchester City, tidak menyinggung isu Gaza dalam publikasi resmi mereka, meskipun mereka meliput acara penghargaan tersebut.
Langkah Pep ini menorehkan preseden moral baru, menunjukkan bahwa pelatih, pemain, dan tokoh sepak bola punya tanggung jawab untuk bersuara dalam isu-isu kemanusiaan yang mendesak.
Ajakan Aksi dan Menggugah Hati Dunia Sepak Bola
Dengan metafora seekor burung kecil yang mencoba memadamkan api hutan, Guardiola mengajak semua orang untuk berbuat sesuatu, sekecil apa pun, demi melawan ketidakadilan.
Pidatonya telah berhasil memecah kesunyian yang selama ini melingkupi dunia sepak bola Eropa, yang cenderung bungkam dalam menghadapi tragedi kemanusiaan.
Ini bukan pertama kalinya Guardiola berani bersuara tentang isu publik. Pada 2017, ia pernah mendukung referendum kemerdekaan Catalunya dan rela membayar denda karena mengenakan pita kuning sebagai bentuk solidaritas.
Namun, pidatonya kali ini terasa lebih personal, emosional, dan universal, menjadikannya berbeda dari aksi-aksi sebelumnya.
Dampak Pidato Guardiola: Memicu Efek Domino?
Keberanian Pep Guardiola berpotensi memicu efek domino. Pidatonya bisa meningkatkan kesadaran kolektif di kalangan suporter, media, hingga federasi besar seperti FIFA dan UEFA.
Jika lebih banyak tokoh sepak bola mengikuti jejaknya, tekanan publik bisa memaksa institusi-institusi tersebut untuk mengambil sikap yang lebih konsisten dan manusiawi.
Saat ini, dunia sepak bola Eropa dihadapkan pada pilihan: tetap diam atau ikut bersuara.
Guardiola telah menunjukkan bahwa sepak bola dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan, dan keberanian untuk berbicara adalah hal yang paling penting.












