
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Negara Hukum di Persimpangan Moral)
WWW.PASJABAR.COM – Negara hukum selalu hidup di persimpangan. Ada jalur yang menuntunnya pada prosedur formal: pasal, ayat, tafsir, dan mekanisme yang ketat. Ada pula jalur yang membawanya pada moralitas: keadilan, kebajikan, dan nurani publik yang lebih luas daripada teks undang-undang.
Indonesia, sejak awal berdirinya, sudah memilih untuk menjadi negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen menegaskan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tetapi kalimat ini tidak pernah sederhana. Negara hukum macam apa yang hendak kita jalani? Hukum yang tegak di atas moralitas publik, atau hukum yang menjadi alat kekuasaan semata?
Sejarah memberi banyak contoh. Nazi Jerman adalah negara hukum dalam arti positivistik: semua undang-undang disahkan secara prosedural, semua perintah dituangkan ke dalam pasal. Namun di balik formalisme itu, pembantaian massal dilakukan dengan sah. Dari tragedi itu, Gustav Radbruch bangkit dengan formulanya: hukum positif kehilangan sifatnya sebagai hukum bila ia sangat tidak adil. Itu bukan kutipan literal, melainkan pernyataan moral yang mengguncang: hukum tak bisa hanya diukur dari prosedur, tapi juga dari keadilan yang dikandungnya.
Kita pun tak lepas dari dilema yang sama.
Bayangan
Pancasila dimaksudkan sebagai fondasi moral bagi hukum. Ia bukan hanya ideologi politik, melainkan jalan etika agar hukum tak kehilangan ruh. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa kebebasan setiap orang dapat dibatasi dengan undang-undang demi pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Namun dalam praktik, bayangan kekuasaan kerap lebih kuat daripada suara moral. Hukum sering tunduk pada tekanan politik, bukan pada nilai keadilan. Kita melihat undang-undang yang dibuat demi melindungi elite, tetapi abai pada kepentingan rakyat kecil. Kita menyaksikan peraturan yang begitu detail mengatur hal-hal sepele, namun justru diam terhadap persoalan fundamental: ketimpangan ekonomi, monopoli kekuasaan, atau krisis integritas pejabat publik.
Bayangan itu menutupi wajah asli negara hukum: bukan lagi penjaga moral publik, melainkan perpanjangan tangan kekuasaan.
Kegamangan
Lalu muncullah pertanyaan klasik: apakah etika perlu diundang-undangkan?
Jawaban pertama: ya, karena tanpa sanksi, etika hanyalah seruan kosong. Hukum hadir untuk memberi kepastian, mengikat semua orang tanpa terkecuali. Kejujuran pejabat, akuntabilitas anggaran, perlindungan lingkungan, nondiskriminasi—semua itu terlalu penting bila hanya diserahkan pada moral pribadi. Undang-undang lahir justru karena kesadaran bahwa ada nilai etis yang harus dipaksa demi kepentingan publik.
Tetapi jawaban kedua: tidak semua etika bisa diformalkan menjadi hukum. Sopan santun pribadi, rasa syukur, sikap rendah hati—itu adalah ruang moral yang tidak bisa dipaksakan dengan undang-undang. Bila negara mengatur hingga ke wilayah itu, yang lahir bukanlah hukum yang adil, melainkan negara yang represif.
Negara hukum kita kerap gamang di antara dua jawaban itu. Ia berani mengatur detail administrasi kecil, tetapi ragu menindak kebohongan politik. Ia cepat mengeluarkan peraturan seragam sekolah, tetapi lamban membangun mekanisme hukum melawan penyalahgunaan kekuasaan.
Kegamangan inilah yang menjadikan negara hukum kita berjalan pincang.
Luka
Sejarah hukum Indonesia adalah sejarah luka. Dari masa kolonial, hukum hanyalah instrumen dominasi. Dari masa Orde Lama, hukum sering dibelokkan untuk memperkuat kekuasaan. Dari masa Orde Baru, hukum menjadi alat legitimasi negara otoriter. Setelah Reformasi, luka itu belum sembuh: praktik korupsi yudikatif, hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, serta legislasi yang sering kali oportunistik.
Hukum yang kehilangan moral adalah hukum yang kehilangan kepercayaan. Kita bisa punya ribuan pasal, puluhan ribu peraturan, tetapi bila rakyat merasa hukum bisa dibeli, maka semua itu runtuh. Yang lahir bukan negara hukum, melainkan negara dagang hukum.
Itulah luka terbesar kita: bukan ketiadaan hukum, tetapi ketiadaan moral dalam hukum.
Bayang-Bayang Etika
Etika seharusnya menjadi jiwa hukum. Tetapi bagaimana menempatkannya?
Ada tiga prinsip seleksi yang bisa dipertimbangkan.
Pertama, etika privat cukup hidup dalam ranah nurani dan budaya. Tidak perlu ada undang-undang tentang cara menghormati orang tua atau sikap rendah hati. Itu adalah kebebasan moral yang harus dijaga.
Kedua, etika publik harus masuk ke dalam hukum. Kejujuran pejabat, transparansi anggaran, nondiskriminasi, dan perlindungan lingkungan adalah nilai publik yang wajib ditegakkan dengan sanksi. Undang-undang Tipikor, UU Perlindungan Konsumen, maupun aturan tentang gratifikasi adalah contoh ketika etika publik diformalkan menjadi hukum.
Ketiga, etika profesi yang berkaitan langsung dengan keselamatan orang banyak memang harus dilembagakan. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menegaskan kewajiban dokter mematuhi kode etik. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur advokat terikat kode etik profesinya. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan hakim wajib tunduk pada kode etik dan pedoman perilaku.
Dengan cara ini, hukum tak kehilangan basis moralnya, tetapi juga tak berubah menjadi moralistik yang mengekang kebebasan warga.
Pilihan
Kita sampai pada pilihan. Negara hukum bisa memilih untuk sekadar kaku pada teks, atau ia bisa menautkan diri dengan moral publik.
Bila ia memilih jalan positivistik murni, maka hukum akan menjadi dingin: pasal demi pasal ditegakkan tanpa peduli apakah rakyat merasakan keadilan. Bila ia memilih jalan moral, konsekuensinya jelas: legislasi harus ditulis dengan keberanian etik, hakim harus memutus dengan nurani, penegak hukum harus bekerja dengan integritas.
Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika, menulis dalam The Common Law (1881): “The life of the law has not been logic; it has been experience.” Hukum bukan hidup dari logika belaka, tetapi dari pengalaman rakyat yang merasakan keadilan atau ketidakadilan. Kata-kata Holmes ini menegaskan: hukum yang berjarak dari moral publik hanya akan jadi teks yang kosong.
Pancasila, yang sering kita dengar hanya sebagai slogan, seharusnya kembali dihidupkan sebagai fondasi etis hukum. Ia mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar mekanisme, melainkan jalan menuju keadilan sosial.
Negara hukum di persimpangan moral adalah cermin bagi kita hari ini. Kita bisa memilih untuk melanjutkan tradisi hukum kering yang hanya mencatat perintah kekuasaan, atau kita bisa memilih jalan yang lebih sulit: hukum yang berakar pada etika, hukum yang hidup dari nurani bangsa.
Persimpangan ini tidak bisa ditunda. Karena setiap hari hukum kehilangan legitimasi ketika rakyat melihat koruptor mudah bebas, ketika pejabat bisa berbohong tanpa sanksi, ketika undang-undang dibuat bukan demi kepentingan publik tetapi demi kepentingan partai.
Negara hukum tanpa moral hanyalah gedung megah tanpa penghuni. Ia bisa berdiri, tetapi kosong. Sebaliknya, hukum yang berakar pada moral akan menjadi cahaya. Ia menuntun kita, bukan hanya dengan pasal, tetapi dengan keadilan.
Sejarah memberi kita luka, tetapi juga memberi kita pilihan. Di persimpangan ini, bangsa harus berani menentukan: apakah kita ingin menjadi negara hukum yang kering, atau negara hukum yang berjiwa.
Karena tanpa moral, hukum hanyalah garis di atas kertas. Dengan moral, hukum bisa menjadi jalan keluar dari gelap. (han)