CLOSE ADS
CLOSE ADS
PASJABAR
Jumat, 10 Oktober 2025
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
No Result
View All Result
PASJABAR
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home HEADLINE

Negara Hukum di Persimpangan Moral

Hanna Hanifah
2 Oktober 2025
Negara Hukum di Persimpangan Moral

ilustrasi. (foto: istockphoto)

Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT
OPini Firdaus Arifin Berburu Kursi
Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)

Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Negara Hukum di Persimpangan Moral)

WWW.PASJABAR.COM – Negara hukum selalu hidup di persimpangan. Ada jalur yang menuntunnya pada prosedur formal: pasal, ayat, tafsir, dan mekanisme yang ketat. Ada pula jalur yang membawanya pada moralitas: keadilan, kebajikan, dan nurani publik yang lebih luas daripada teks undang-undang.

Indonesia, sejak awal berdirinya, sudah memilih untuk menjadi negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen menegaskan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Tetapi kalimat ini tidak pernah sederhana. Negara hukum macam apa yang hendak kita jalani? Hukum yang tegak di atas moralitas publik, atau hukum yang menjadi alat kekuasaan semata?

Sejarah memberi banyak contoh. Nazi Jerman adalah negara hukum dalam arti positivistik: semua undang-undang disahkan secara prosedural, semua perintah dituangkan ke dalam pasal. Namun di balik formalisme itu, pembantaian massal dilakukan dengan sah. Dari tragedi itu, Gustav Radbruch bangkit dengan formulanya: hukum positif kehilangan sifatnya sebagai hukum bila ia sangat tidak adil. Itu bukan kutipan literal, melainkan pernyataan moral yang mengguncang: hukum tak bisa hanya diukur dari prosedur, tapi juga dari keadilan yang dikandungnya.

Kita pun tak lepas dari dilema yang sama.

Bayangan

Pancasila dimaksudkan sebagai fondasi moral bagi hukum. Ia bukan hanya ideologi politik, melainkan jalan etika agar hukum tak kehilangan ruh. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa kebebasan setiap orang dapat dibatasi dengan undang-undang demi pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Namun dalam praktik, bayangan kekuasaan kerap lebih kuat daripada suara moral. Hukum sering tunduk pada tekanan politik, bukan pada nilai keadilan. Kita melihat undang-undang yang dibuat demi melindungi elite, tetapi abai pada kepentingan rakyat kecil. Kita menyaksikan peraturan yang begitu detail mengatur hal-hal sepele, namun justru diam terhadap persoalan fundamental: ketimpangan ekonomi, monopoli kekuasaan, atau krisis integritas pejabat publik.

Baca juga:   Efisiensi

Bayangan itu menutupi wajah asli negara hukum: bukan lagi penjaga moral publik, melainkan perpanjangan tangan kekuasaan.

Kegamangan

Lalu muncullah pertanyaan klasik: apakah etika perlu diundang-undangkan?

Jawaban pertama: ya, karena tanpa sanksi, etika hanyalah seruan kosong. Hukum hadir untuk memberi kepastian, mengikat semua orang tanpa terkecuali. Kejujuran pejabat, akuntabilitas anggaran, perlindungan lingkungan, nondiskriminasi—semua itu terlalu penting bila hanya diserahkan pada moral pribadi. Undang-undang lahir justru karena kesadaran bahwa ada nilai etis yang harus dipaksa demi kepentingan publik.

Tetapi jawaban kedua: tidak semua etika bisa diformalkan menjadi hukum. Sopan santun pribadi, rasa syukur, sikap rendah hati—itu adalah ruang moral yang tidak bisa dipaksakan dengan undang-undang. Bila negara mengatur hingga ke wilayah itu, yang lahir bukanlah hukum yang adil, melainkan negara yang represif.

Negara hukum kita kerap gamang di antara dua jawaban itu. Ia berani mengatur detail administrasi kecil, tetapi ragu menindak kebohongan politik. Ia cepat mengeluarkan peraturan seragam sekolah, tetapi lamban membangun mekanisme hukum melawan penyalahgunaan kekuasaan.

Kegamangan inilah yang menjadikan negara hukum kita berjalan pincang.

Luka

Sejarah hukum Indonesia adalah sejarah luka. Dari masa kolonial, hukum hanyalah instrumen dominasi. Dari masa Orde Lama, hukum sering dibelokkan untuk memperkuat kekuasaan. Dari masa Orde Baru, hukum menjadi alat legitimasi negara otoriter. Setelah Reformasi, luka itu belum sembuh: praktik korupsi yudikatif, hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, serta legislasi yang sering kali oportunistik.

Hukum yang kehilangan moral adalah hukum yang kehilangan kepercayaan. Kita bisa punya ribuan pasal, puluhan ribu peraturan, tetapi bila rakyat merasa hukum bisa dibeli, maka semua itu runtuh. Yang lahir bukan negara hukum, melainkan negara dagang hukum.

Baca juga:   Pemerintahan Desa dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia

Itulah luka terbesar kita: bukan ketiadaan hukum, tetapi ketiadaan moral dalam hukum.

Bayang-Bayang Etika

Etika seharusnya menjadi jiwa hukum. Tetapi bagaimana menempatkannya?

Ada tiga prinsip seleksi yang bisa dipertimbangkan.

Pertama, etika privat cukup hidup dalam ranah nurani dan budaya. Tidak perlu ada undang-undang tentang cara menghormati orang tua atau sikap rendah hati. Itu adalah kebebasan moral yang harus dijaga.

Kedua, etika publik harus masuk ke dalam hukum. Kejujuran pejabat, transparansi anggaran, nondiskriminasi, dan perlindungan lingkungan adalah nilai publik yang wajib ditegakkan dengan sanksi. Undang-undang Tipikor, UU Perlindungan Konsumen, maupun aturan tentang gratifikasi adalah contoh ketika etika publik diformalkan menjadi hukum.

Ketiga, etika profesi yang berkaitan langsung dengan keselamatan orang banyak memang harus dilembagakan. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menegaskan kewajiban dokter mematuhi kode etik. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur advokat terikat kode etik profesinya. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan hakim wajib tunduk pada kode etik dan pedoman perilaku.

Dengan cara ini, hukum tak kehilangan basis moralnya, tetapi juga tak berubah menjadi moralistik yang mengekang kebebasan warga.

Pilihan

Kita sampai pada pilihan. Negara hukum bisa memilih untuk sekadar kaku pada teks, atau ia bisa menautkan diri dengan moral publik.

Bila ia memilih jalan positivistik murni, maka hukum akan menjadi dingin: pasal demi pasal ditegakkan tanpa peduli apakah rakyat merasakan keadilan. Bila ia memilih jalan moral, konsekuensinya jelas: legislasi harus ditulis dengan keberanian etik, hakim harus memutus dengan nurani, penegak hukum harus bekerja dengan integritas.

Baca juga:   Penyakit Mantan Pejabat

Oliver Wendell Holmes, hakim agung Amerika, menulis dalam The Common Law (1881): “The life of the law has not been logic; it has been experience.” Hukum bukan hidup dari logika belaka, tetapi dari pengalaman rakyat yang merasakan keadilan atau ketidakadilan. Kata-kata Holmes ini menegaskan: hukum yang berjarak dari moral publik hanya akan jadi teks yang kosong.

Pancasila, yang sering kita dengar hanya sebagai slogan, seharusnya kembali dihidupkan sebagai fondasi etis hukum. Ia mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar mekanisme, melainkan jalan menuju keadilan sosial.

Negara hukum di persimpangan moral adalah cermin bagi kita hari ini. Kita bisa memilih untuk melanjutkan tradisi hukum kering yang hanya mencatat perintah kekuasaan, atau kita bisa memilih jalan yang lebih sulit: hukum yang berakar pada etika, hukum yang hidup dari nurani bangsa.

Persimpangan ini tidak bisa ditunda. Karena setiap hari hukum kehilangan legitimasi ketika rakyat melihat koruptor mudah bebas, ketika pejabat bisa berbohong tanpa sanksi, ketika undang-undang dibuat bukan demi kepentingan publik tetapi demi kepentingan partai.

Negara hukum tanpa moral hanyalah gedung megah tanpa penghuni. Ia bisa berdiri, tetapi kosong. Sebaliknya, hukum yang berakar pada moral akan menjadi cahaya. Ia menuntun kita, bukan hanya dengan pasal, tetapi dengan keadilan.

Sejarah memberi kita luka, tetapi juga memberi kita pilihan. Di persimpangan ini, bangsa harus berani menentukan: apakah kita ingin menjadi negara hukum yang kering, atau negara hukum yang berjiwa.

Karena tanpa moral, hukum hanyalah garis di atas kertas. Dengan moral, hukum bisa menjadi jalan keluar dari gelap. (han)

Print Friendly, PDF & Email
Editor: Hanna Hanifah
Tags: hukummoralNegara HukumOpini


Related Posts

Prof.T. Subarsyah Meninggal Dunia
HEADLINE

Hukum Akomodif: Jejak & Tafsir Atas Pemikiran Kang Subarsyah

9 Oktober 2025
Pintar Bijak
HEADLINE

Ketika Pintar Tak Berarti Bijak

3 Oktober 2025
Hukum Menara Gading
HEADLINE

Hukum di Menara Gading, Keadilan di Jalanan

30 September 2025

Categories

  • CAHAYA PASUNDAN
  • HEADLINE
  • PASBANDUNG
  • PASBISNIS
  • PASBUDAYA
  • PASDUNIA
  • PASFINANSIAL
  • PASGALERI
  • PASHIBURAN
  • PASJABAR
  • PASKESEHATAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASOLAHRAGA
  • PASPENDIDIKAN
  • PASTV
  • PASVIRAL
  • RUANG OPINI
  • TOKOH
  • Uncategorized
No Result
View All Result

Trending

Moto G06 Power
HEADLINE

Motorola Luncurkan Moto G06 Power dengan Baterai 7.000 mAh

10 Oktober 2025

WWW.PASJABAR.COM - Motorola resmi meluncurkan ponsel pintar terbaru Moto G06 Power di Indonesia. Perangkat ini hadir dengan...

Minecraft

Warner Bros. Siapkan Sekuel “Minecraft 2”, Tayang Juli 2027

10 Oktober 2025
Sidang doktor luluh abdilah unpas

Sidang Doktor Manajemen Luluh Abdilah Kurniawan : Dukungan Organisasi Dosen dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kemampuan Inovasi dan Implikasinya pada Kinerja

10 Oktober 2025
hari kesehatan mental sedunia

Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025, Tema Darurat Kemanusiaan Global

10 Oktober 2025
Korps Infanteri

HUT ke-80 Korps Infanteri, Pussenif TNI AD Gelar Bakti Sosial

10 Oktober 2025

Highlights

Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025, Tema Darurat Kemanusiaan Global

HUT ke-80 Korps Infanteri, Pussenif TNI AD Gelar Bakti Sosial

BPKH Beri Bantuan Mobil Layanan Umat untuk Yayasan Ahmad Hidir Arifin

Pria Tanpa Identitas Tewas Tertemper Dua Kereta di Gadobangkong

bank bjb dan PT Pos Indonesia Jalin Sinergi Strategis Perkuat Layanan Keuangan dan Logistik

55 Juta Anak Indonesia Alami Gangguan Penglihatan, Kemenkes Wanti-Wanti Bahaya Kebutaan Sejak Dini

PASJABAR

© 2018 www.pasjabar.com

Navigate Site

  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
  • Alamat Redaksi & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI

© 2018 www.pasjabar.com

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.