CLOSE ADS
CLOSE ADS
PASJABAR
Jumat, 10 Oktober 2025
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
No Result
View All Result
PASJABAR
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home HEADLINE

Hukum Akomodif: Jejak & Tafsir Atas Pemikiran Kang Subarsyah

Hanna Hanifah
9 Oktober 2025
Prof.T. Subarsyah Meninggal Dunia

Alm Prof.T. Subarsyah saat menjadi host di Pastv untuk program NgopiPas, beliau salah satu perintis program tersebut. (Foto : ist Pastv)

Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT
Adang, Dosen STIE Pasundan Bandung

Oleh: Adang, Dosen STIE Pasundan Bandung (Hukum Akomodif: Jejak & Tafsir Atas Pemikiran Kang Subarsyah)

WWW.PASJABAR.COM – Setiap ilmu pada dasarnya memiliki arwahnya sendiri. Dan arwah ilmu hukum—bagi saya—pernah menjelma dalam sosok seorang guru bernama Kang Subarsyah. Panggilan itu bukan sekadar sapaan. “Akang” adalah bentuk penghormatan yang hidup dalam budaya Sunda: lembut tapi dalam, akrab tapi tetap menjaga jarak etis.

Ia menolak jarak formal antara dosen dan mahasiswa, seakan ingin mengatakan bahwa ilmu itu tumbuh dari dialog, bukan dari podium. Jauh sebelum panggilan “Kang” melekat pada figur-figur politik seperti Dedi Mulyadi atau KDM, Kang Subarsyah telah lebih dulu menempatkan sebutan itu pada tingkat yang luhur—sebagai simbol kehangatan seorang intelektual yang memuliakan kemanusiaan.

Pertemuan pertama kami terjadi pada tahun 2004 di Fakultas Hukum Universitas Pasundan. Saya angkatan tahun 2001 dan sempat menjadi mahasiswa beliau, walaupun hanya tiga kali perkuliahan, dalam mata kuliah Metode Penelitian Hukum (MPH), sebelum akhirnya saya memutuskan pindah ke kelas Pak Anthon F. Susanto karena jadwal yang bentrok. Tapi tiga kali bersama beliau cukup meninggalkan kesan yang dalam.

Dari cara beliau berbicara, menatap, dan menata kalimat, saya mengerti bahwa hukum bukanlah sekadar pasal, bukan pula teks yang kaku menunggu tafsir. Hukum, bagi beliau, adalah napas kehidupan—ia hidup bersama manusia, bergerak bersama zaman, dan selalu mencari bentuk terbaiknya dalam kenyataan.

Kang Subarsyah memulai pendekatan berpikir hukumnya dengan gaya yang, saya kira, sangat dipengaruhi oleh dua figur besar: Soerjono Soekanto dan Otje Salman. Dari Soerjono, ia menyerap semangat metodologis yang rapi dan sistematis.

Dari Otje Salman, ia belajar melihat hukum sebagai bagian dari kebudayaan, bukan semata sistem norma. Namun di alam pikir Kang Subarsyah, dua aliran itu tidak berhenti sebagai kutipan; beliau meramunya menjadi cara berpikir yang lentur—tidak kaku pada teori, tetapi juga tidak lepas dari akar keilmuan.

Di ruang kelas, beliau tidak pernah mengajar hukum sebagai sesuatu yang beku.

Ia berbicara tentang kehidupan hukum, bukan sekadar hukum dalam kehidupan. Ia menaruh perhatian pada bagaimana nilai-nilai sosial, agama, dan budaya ikut membentuk struktur hukum yang hidup di masyarakat.

Di situlah saya melihat benih awal dari apa yang kelak disebutnya sebagai hukum akomodatif—yakni hukum yang memberi tempat bagi kenyataan, bukan hukum yang menindih kenyataan dengan teks.

Kang Subarsyah percaya bahwa teori boleh lahir di ruang akademik, tetapi makna hukum sesungguhnya tumbuh di tengah manusia. Dalam kesederhanaannya, beliau pernah berkata, “Lamun hukum teu bisa ngadangukeun sora kahirupan, éta lain hukum deui.”

Kalimat itu terus terngiang, seolah menjadi pintu kecil menuju pemahaman besar: bahwa hukum, bila ia ingin hidup, harus belajar mendengarkan, merasakan, dan bersatu dalam satu alunan algoritma masyarakat.

Dari Asisten Berbelok ke Disiplin Ilmu Manajemen

Tahun 2007, kami bertemu lagi. Kali ini saya bukan lagi mahasiswa, melainkan dosen magang yang menjadi asisten beliau di mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum (MPH).

Dari ruang kuliah yang sederhana itu, saya menyadari bahwa mengajar bagi Kang Subarsyah bukanlah soal menyampaikan teori, melainkan membuka ruang untuk percakapan yang tak pernah selesai. Beliau tidak sekadar menjelaskan, tapi mengundang kita berpikir, mempertanyakan, dan menafsirkan. Hukum di tangan beliau terasa hidup—seperti sesuatu yang terus bergerak mencari bentuk terbaiknya.

Saya hanya sempat menemani beliau satu semester. Setelah itu, jalan saya berbelok. Tahun 2009 hingga 2010, saya berpindah ke disiplin ilmu manajemen. Peralihan itu tidak mudah. Ada rasa ragu, bahkan sedikit bersalah, seolah saya meninggalkan rumah intelektual pertama saya: hukum. Tapi Akang menatap saya dengan tenang. Ia tidak menasihati, apalagi menyalahkan.

Ia hanya berkata, “Ilmu itu teu boga pager.” Ilmu tidak punya pagar.

Kalimat itu pelan, tapi tajam. Dan seperti banyak kata yang keluar dari mulutnya, kalimat itu tidak berhenti di telinga; ia meresap, mengendap, lalu hidup dalam pikiran.

Dari situ saya paham bahwa bagi Akang, hukum tidaklah berdiri sendiri. Ia bukan bangunan batu yang kaku, tapi organisme yang hidup, yang bisa berdialog dengan kenyataan dan disiplin ilmu lain. Ia percaya bahwa memahami manusia tidak bisa dibatasi oleh tembok fakultas. Hukum dan manajemen, bagi beliau, hanyalah dua cara berbeda untuk menata kehidupan.

Belakangan saya tahu, Akang pun menempuh Magister Manajemen. Ada jejak yang sama di sana. Mungkin karena itu, beliau tidak pernah melihat langkah saya sebagai pengkhianatan, melainkan sebagai bagian dari perjalanan memahami keteraturan hidup dari sisi lain. Dari sana saya belajar bahwa ilmu pengetahuan yang sejati tidak pernah iri pada cabang-cabangnya.

Dalam setiap pertemuan kami setelah itu—kadang singkat, kadang hanya sebatas pesan pendek—selalu ada ruang kecil untuk berdialog. Tentang hukum, tentu saja, tapi juga tentang hidup. Dan mungkin sejak saat itu, dialektika kami tidak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya berpindah tempat: dari kelas ke kafe, dari teks ke pengalaman, dari teori ke kehidupan.

Menulis Buku Bersama

Kami menulis sebuah buku untuk kalangan terbatas: Metodologi Penelitian Hukum: Mengurai, Menyusun Kembali, Membedah dari Penelitian Yuridis Normatif hingga Sosiologi Kualitatif.

Tapi buku itu tidak pernah kami niatkan sebagai kitab metodologi. Ia lebih seperti fragmen dialog yang tidak pernah selesai—semacam percakapan panjang di antara dua kesadaran yang sama-sama gelisah: bagaimana mungkin hukum yang kaku itu bisa bicara tentang manusia yang cair?

Baca juga:   Gratis Tapi Aman: Menjaga Program MBG dari Ancaman Keracunan

Kami menulis dengan ritme yang tidak akademik. Kadang berdebat, kadang diam lama. Di sela kopi dan tumpukan kertas, kami berbincang tentang ilmu pengetahuan dan logika, tentang kajian sosial dalam hukum, tentang format metode penelitian hukum normatif dan sosiologis—bukan sebagai daftar isi, melainkan sebagai jejak pikiran. Buku itu tebal, bukan karena banyak teori, tapi karena banyak percakapan yang tak bisa disingkat.

Kami membaca ulang Ronny Hanitijo Soemitro (1983), menyusuri gagasan Soerjono Soekanto (1981), dan mengintip logika metodologis Johny Ibrahim & Peter Mahmud Marzuki (2005). Tapi kami tidak ingin jadi pengikut siapa pun. Kami ingin meramu ulang semuanya, dengan rasa ingin tahu yang lebih bebas, lebih nakal.

Kami menulis dengan keyakinan bahwa metodologi bukan “cara meneliti”, tapi cara manusia memahami kenyataan. Kang Subarsyah sering berkata pelan, “Metode itu bukan alat. Ia jalan. Tapi jalan itu tidak pernah netral.” Kalimat itu menempel di kepala saya sampai sekarang. Sebab dari situ saya tahu, yang beliau ajarkan bukan teknik penelitian, tapi etika berpikir—bagaimana hukum harus mendengarkan dunia, bukan sekadar mengaturnya.

Buku itu, bagi saya, bukan karya ilmiah yang suci. Ia semacam manifesto diam-diam tentang cara berpikir hukum yang hidup. Kami tidak menulisnya untuk menjawab pertanyaan, tapi untuk menunda kepastian. Karena bagi Kang Subarsyah, berpikir itu bukan menemukan ujung, melainkan menelusuri belokan-belokan makna yang terus berubah, mengalir mengikuti arus ke mana masyarakat hendak berlabuh.

Perubahan itu pasti, dan hukum tidak boleh berdiam pada kepastian; hukum harus terus berubah. Ini adalah kritik tajam terhadap positivisme hukum.

Berdialektika dengan Filsafat Ilmu

Saya kembali dipanggil untuk menemuinya, kali ini bukan sebagai murid atau asisten, melainkan diminta bantuan untuk mengedit kata demi kata dari buku beliau Pengantar Filsafat Ilmu. Kami sudah berada di dua fakultas yang berbeda—saya di Manajemen, beliau tetap di Fakultas Hukum—namun jarak itu justru menjadi ruang resonansi.

Kami berdialog bukan tentang pasal, tapi tentang nalar; bukan tentang hukum, tapi tentang cara manusia memahami dirinya sendiri. Seolah kami sedang merancang ulang peta berpikir hukum dan ilmu, dengan kompas yang tak lagi menunjuk ke utara, melainkan ke dalam diri, menyatukan hati, nalar, dan keyakinan.

Buku itu berisi gagasan-gagasan dasar filsafat ilmu. Namun, di dalamnya ada satu kalimat yang menancap dalam, seperti mata air yang terus memantulkan wajah penulisnya:

“Filsafat merupakan suatu ajaran, sebagai petunjuk hidup dengan jalan refleksi (perenungan) untuk menangkap makna gejala-gejala pengalaman manusia dengan sedalam-dalamnya untuk sampai pada kebijaksanaan. Ajaran dalam kerangka berpikir filsafat tidak terbatas pada salah satu bidang kehidupan, melainkan hendak memberikan suatu pandangan hidup yang menyeluruh. Karenanya, filsafat mengenai arti hidup yang sebenarnya, yaitu makna hakiki dari hidup.” (Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, 1995, hlm. 11–15).

Kutipan itu beliau jadikan dasar untuk menulis kesimpulan yang terasa sederhana, tapi mengguncang:

bahwa filsafat adalah ajaran yang metodis dan sistematis, yang melalui jalan refleksi hendak menangkap makna hakiki dari hidup dan dari gejala-gejala kehidupan sebagai bagian daripadanya.

Dan di titik itu, saya paham—bahwa bagi Kang Subarsyah, ilmu bukan sistem, melainkan kesadaran. Ia tidak sedang mengajarkan logika berpikir, tapi menghidupkan kembali kemampuan manusia untuk merenung. Ia tidak sibuk membedakan antara hukum, manajemen, atau filsafat; sebab bagi beliau, semua disiplin hanyalah kulit dari satu tubuh yang sama: pencarian makna hidup.

Sejak saat itu saya mulai membaca hukum dengan cara yang berbeda—lebih lambat, lebih batiniah, lebih terbuka terhadap absurditas. Kang Subarsyah tidak pernah mengajarkan cara berpikir yang lurus; beliau justru menunjukkan bahwa kehidupan berpikir itu sendiri bersifat bengkok, berkelok, dan karena itu—manusiawi.

2015–2017: Jejak yang Menyatu dalam Hukum Akomodatif

Kadang, ide tidak lahir dari ruang seminar, tapi dari jeda antara dua cangkir kopi. Begitu juga dengan hukum akomodatif. Ia tidak pernah kami rancang; ia tumbuh perlahan di antara percakapan yang tidak punya target.

Sejak 2015, saya kembali sering berjumpa dengan Kang Subarsyah. Tidak lagi sebagai murid, bukan pula sebagai editor, tapi sebagai teman dialog yang sedang belajar membaca ulang hukum. Kami tidak membahas pasal, kami membicarakan nada di balik hukum—sesuatu yang tidak tertulis tapi selalu menggetarkan.

Suatu malam, di sela obrolan ringan selepas bangun untuk tahajud, ia melempar kalimat: “Lamun Akang mikir aya Hukum Akomodatif, kumaha?” Saya tertawa, tapi diam-diam merasa ditantang. Kata akomodatif terdengar lembut, bahkan rapuh. Namun mungkin justru di situlah kekuatannya.

Hukum yang sejati, kata Kang Subarsyah, tidak perlu keras untuk menjadi tegas, tidak perlu mendominasi untuk bisa berfungsi. Ia hanya perlu mendengar.

Dari situlah percakapan kami berubah menjadi semacam ritual intelektual.

Kami berbicara tentang Satjipto Rahardjo dan hukum progresifnya yang hangat, tentang Mochtar Kusumaatmadja dan keyakinannya pada hukum pembangunan, juga tentang Romli Atmasasmita yang mencoba menenun kembali serpihan sistem hukum ke dalam teori integratif. Kami mengagumi mereka, tapi juga merasa ada yang belum selesai: setiap teori besar tampak sibuk menjelaskan dunia, namun lupa mendengarkan dunia itu sendiri.

Baca juga:   Makna Pemilu Setiap Lima Tahun Sekali

Maka kami menyebut gagasan kami Model Pemikiran Hukum Akomodatif: Menyatukan Gagasan untuk Pengembangan Berpikir Hukum Sistematik yang Progresif dan Responsif terhadap Kenyataan. Bukan untuk menandingi siapa pun, tapi untuk memberi ruang bagi kemungkinan lain—bahwa hukum dapat menjadi wadah, bukan pagar; dapat mengikat tanpa harus mengeras.

Diskusi kami antara 2015 hingga 2017 lebih mirip laboratorium sunyi daripada riset formal. Kami berdebat lewat pesan singkat, menulis di atas tisu kafe, menghapus, menulis lagi. Kami tahu, istilah akomodatif akan dianggap kabur, bahkan sentimentil. Tapi kami membiarkannya begitu. Dalam kabur itu ada ruang bagi tafsir; dan tafsir, bagi kami, adalah bentuk tertinggi dari penghormatan terhadap kompleksitas hidup.

Kang Subarsyah pernah berkata dengan nada separuh bercanda, separuh bijak: “Ketika orang berbicara tentang alam, itu pertanyaan lama. Tapi banyak juga yang menjawabnya dengan cara-cara baru.” Mungkin itu cara beliau mengatakan bahwa berpikir hukum bukan lagi tentang menemukan kebenaran tunggal, tetapi tentang menyambung percakapan panjang antara hukum dan kenyataan.

3 Oktober 2025

Jumat malam, sekitar pukul 22.00, saya menerima pesan dari Mang Dhea Perdana—teman dekat sekaligus sahabat lama di kampus yang selalu menyapa dengan cara hangat dan egaliter.
Pesan itu singkat: “Kang… Prof… Tedy ngantunkeun?”

Saya terdiam. Ada sesuatu yang menolak percaya. Rasanya seperti membaca kabar bohong yang terlalu absurd untuk diterima akal. Tapi waktu terus bergerak, dan dalam satu jam berikutnya berbagai pesan mulai berdatangan di grup WhatsApp. Semua mengabarkan hal yang sama: Kang Subarsyah telah berpulang.

Tepat pukul 00.00, saya bergegas menuju Rumah Sakit Salamun di Ciumbuleuit, Bandung. Malam itu dingin, tapi tidak sedingin ruang duka yang saya masuki. Di sana, tubuh yang pernah menjadi sumber percakapan panjang tentang hukum, filsafat, dan kehidupan kini terbujur diam, sedang dipulasara.

Banyak orang datang, wajah-wajah yang dulu sering saya temui di kelas, di ruang diskusi, di sudut kampus yang penuh tawa dan debat. Saya tidak sempat menemui almarhum dari dekat; ada rasa sungkan terhadap keluarga yang tengah larut dalam kesedihan. Saya hanya berdiri di belakang, menunduk, dan membisikkan doa—seolah-olah suara saya bisa menembus diamnya waktu.

Hari Sabtu, pemakamannya berlangsung. Saya tidak hadir. Ada pelantikan mahasiswa baru di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pasundan. Saya yakin, beliau akan memaafkan. Saya tahu, beliau tidak pernah menuntut kehadiran fisik; yang beliau ajarkan adalah kehadiran makna.

Warisan Kang Subarsyah

Setelah Kang Subarsyah meninggalkan dunia fana ini, sesuatu di dalam diri saya tiba-tiba bergetar—sebuah kesadaran yang datang pelan tapi menghunjam: ada pekerjaan besar yang belum selesai. Bukan pekerjaan administratif, bukan pula proyek akademik yang bisa diukur lewat angka kredit atau portofolio penelitian.

Ini pekerjaan yang hanya bisa dijalankan oleh hati—menjaga warisan pikirannya agar tidak larut ditelan kesibukan zaman, menjaga nyala kecil yang dulu kami nyalakan di antara diskusi panjang, tawa lirih di kantin, dan pesan-pesan dini hari yang membangunkan tahajud.

Semasa hidupnya ia tak pernah berkata, “Lanjutkan,” atau “Teruskan idenya.” Namun diamnya justru menjadi amanat paling dalam. Sebab ada jenis pesan yang tak memerlukan kata—ia hidup di udara, berembus dalam keheningan, merayap di ruang batin murid yang mengerti bahwa setiap guru sejati tidak meninggalkan doktrin, melainkan arah.

Dan pada malam itu, saya sadar: hukum akomodatif bukan teori yang ditinggalkan untuk disempurnakan. Ia adalah napas yang berdenyut di antara celah-celah kenyataan—keberanian untuk menampung yang berbeda tanpa kehilangan bentuk, dan kesediaan untuk membiarkan dunia menafsir dirinya sendiri.

Saya tidak ingin menyempurnakannya, karena justru dalam ketidaksempurnaannya hukum akomodatif menemukan kehidupan. Ia lentur, cair, tidak dogmatis—seperti air yang menyesuaikan wadah tanpa kehilangan makna.

Waktu, ternyata, tidak memisahkan kami. Ia hanya memindahkan peran. Kini saya bukan lagi murid yang duduk di hadapan guru, melainkan pejalan yang melanjutkan percakapan sunyi yang belum selesai. Melanjutkan proyek akomodatif yang sempat tertunda, bukan karena ambisi akademik, tetapi karena rasa tanggung jawab pada kehidupan yang pernah kami bicarakan begitu lama—tentang bagaimana hukum seharusnya memihak yang lemah, dan bagaimana pengetahuan seharusnya tidak kehilangan kemanusiaannya.

Kini saya paham, tahajud baginya bukan sekadar ibadah, tetapi metodologi berpikir—sebuah cara untuk menautkan rasio dengan sunyi, agar ilmu tidak tercerabut dari akar spiritualnya.

Dan di situlah, saya kira, hukum akomodatif menemukan bentuk paling sejatinya:

Hukum yang bernapas bersama manusia, hukum yang mau mendengar, hukum yang tidak memaksa kenyataan tunduk, tapi bersedia menafsir bersama.

Malam itu—ketika kabar duka datang lewat pesan singkat dari Mang Dhea—saya tahu, sesuatu telah berubah. Namun tidak ada yang benar-benar pergi. Sebab setiap ide besar, sebagaimana setiap doa yang terucap dalam kesunyian tahajud, tidak mati. Ia hanya berganti wujud: dari pikiran menjadi tanggung jawab, dari kehadiran menjadi kenangan yang terus bekerja di dalam diri kita.

Baca juga:   FOTO : PENERTIBAN ALAT PERAGA KAMPANYE

Dan mungkin, di situlah Kang Subarsyah kini tinggal—bukan di ruang makam, melainkan di ruang kesadaran yang terus mengingatkan kita semua bahwa manusia tidak pernah kekal.

Kematian adalah kepastian yang tak dapat ditolak; apa pun jalannya, bagaimana pun caranya, ia akan datang menjemput kita sebagai makhluk fana. Setiap jiwa yang hidup pasti akan mengalami kematian—itulah hukum paling hakiki dari keberadaan.

Namun kematian bukanlah akhir dari perjalanan; ia adalah awal dari kehidupan yang lain—kehidupan yang menuntut bekal dari segala kebaikan yang pernah kita tabur di dunia. Dalam ruang kesadaran itu, saya melihat kembali arti berpikir bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi laku spiritual: cara manusia mengingat asal dan tujuannya, cara kita menata hidup agar pantas dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pemilik Kehidupan.

Kini, setelah beliau tiada, saya menyadari: hukum akomodatif bukan warisan dalam bentuk konsep, melainkan sikap epistemik—keberanian untuk menampung yang berbeda, kesediaan untuk membiarkan realitas menafsir dirinya sendiri. Itu sebabnya saya tidak ingin “menyempurnakan” idenya, karena dalam ketidaksempurnaan itulah hukum akomodatif bernapas.

Saya hanya akan menafsirkan ulang gagasan-gagasan awalnya: mengapa model hukum akomodatif terlahir, dan untuk apa.

Penelusuran Ide Hukum Akomodatif

Setelah wafatnya beliau, saya menelusuri jejak tulisannya. Ternyata pendekatan hukum akomodatif sudah pernah digunakan dalam karya yang ia tulis bersama Dr. Drs. H. Achmad Ridwan Tentowi, S.H., M.H., dan Dr. Roely Panggabean, S.H., M.H., pada salah satu judul babnya Konsep Hukum Akomodatif untuk Mewujudkan Usaha Kepelabuhanan Nasional yang Sinergi (halaman 209).

Di situ saya temukan: hukum akomodatif bukan lagi utopia gagasan, melainkan langkah awal menuju praksis.

Puncaknya, pada Orasi Ilmiah Guru Besar 2023 di Universitas Pasundan berjudul Reposisi Orientasi Penegakan Hukum di Indonesia, beliau menulis:

“Hukum akomodatif yang dimaksudkan bukan sebuah teori atau kritik pada teori yang lama. Hukum akomodatif lebih disebut model pendekatan untuk memaksimalkan berfungsinya teori-teori hukum yang sangat berharga, misalnya teori hukum positivistik, teori hukum responsif, teori hukum progresif, teori hukum pembangunan, teori hukum integratif.”

Membaca bagian itu, saya nyaris tak percaya. Inilah gema dari percakapan 2015 yang dulu hanya berputar di ruang kopi kecil dan layar ponsel. Ia akhirnya menjelma orasi akademik, menjadi teks publik yang menandai lahirnya sebuah cara pandang baru.

Kini, setelah beliau berpulang, saya tahu: tugas saya belum selesai.

Warisan beliau bukan jabatan, bukan harta, bukan gelar—melainkan cara berpikir yang terbuka, yang menolak keangkuhan teori, dan berani memeluk kenyataan.

Harta bukanlah segalanya. Ia hanya bayangan dari hasrat yang lekas pudar ketika tubuh tak lagi bernapas. Jabatan pun bukan segalanya; ia sekadar topeng waktu yang akan dikenakan orang lain setelah kita tiada.

Namun ada satu yang tak dapat digantikan: ilmu yang berjiwa. Ilmu yang tidak lahir dari ambisi, tetapi dari kasih. Ilmu yang tumbuh bukan untuk menguasai, tetapi untuk mengasihi; bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk memahami.

Ilmu semacam ini menembus batas kematian, menitis dalam pikiran mereka yang datang kemudian, menjelma menjadi cahaya di ruang kesadaran manusia.

Begitulah yang dilakukan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka tidak meninggalkan harta, tetapi meninggalkan cara berpikir yang menghidupkan zaman.

Dan dari Kang Subarsyah, saya belajar sesuatu yang tak tertulis di pasal mana pun, tetapi hidup di antara napas dan sikapnya: bahwa hukum tidak perlu menggertak untuk dihormati, tidak perlu disakralkan untuk dimaknai.

Hukum hanya perlu menjadi manusiawi—lembut tetapi teguh, rasional tetapi berhati. Karena pada akhirnya, hukum yang sejati bukan yang berdiri di atas kekuasaan, melainkan yang bersujud kepada kehidupan.

Selamat Jalan Kang Subarsyah

Segala yang datang akan pergi, segala yang hidup akan kembali. Tidak ada yang abadi, kecuali kasih dan kebaikan yang pernah engkau tanamkan di hati manusia.

Kini engkau telah menuntaskan perjalanan di dunia fana ini—tempat di mana segala ambisi berhenti, dan keheningan menjadi bahasa paling jujur dari kehidupan.

Beristirahatlah dengan tenang di alam yang menunggu hari akhir; alam di mana waktu tak lagi bergerak, dan setiap kenangan menjelma doa.

Kita semua akan menyusul, entah kapan dan bagaimana caranya. Hidup ini hanyalah persinggahan singkat—perjalanan menuju kehidupan yang lebih sempurna, menuju hari di mana segala rahasia dibuka, dan setiap amal dipertemukan dengan maknanya.

Kita dilahirkan di bumi, dimatikan di bumi, dan kelak akan dibangkitkan kembali di bumi.

Surah Al-A’raf (Ayat 25): Qāla fīhā taḥyau¬na wa fīhā tamūtūna wa minhā tukhrajūn.
Dia (Allah) berfirman: “Di sanalah kamu hidup, di sanalah kamu mati, dan dari sanalah (pula) kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan).”

Ayat itu menegaskan segalanya: manusia tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah wujud—dari jasad menjadi makna, dari kehidupan menjadi kesadaran.

Maka sungguh, segala yang fana bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju keabadian.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Selamat jalan, teman berpikir… Mulih kajati, mulang ka asal.

Print Friendly, PDF & Email
Editor: Hanna Hanifah
Tags: hukumHukum AkomodifKang SubarsyahOpini


Related Posts

Pintar Bijak
HEADLINE

Ketika Pintar Tak Berarti Bijak

3 Oktober 2025
Negara Hukum di Persimpangan Moral
HEADLINE

Negara Hukum di Persimpangan Moral

2 Oktober 2025
Hukum Menara Gading
HEADLINE

Hukum di Menara Gading, Keadilan di Jalanan

30 September 2025

Categories

  • CAHAYA PASUNDAN
  • HEADLINE
  • PASBANDUNG
  • PASBISNIS
  • PASBUDAYA
  • PASDUNIA
  • PASFINANSIAL
  • PASGALERI
  • PASHIBURAN
  • PASJABAR
  • PASKESEHATAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASOLAHRAGA
  • PASPENDIDIKAN
  • PASTV
  • PASVIRAL
  • RUANG OPINI
  • TOKOH
  • Uncategorized
No Result
View All Result

Trending

BPKH
HEADLINE

BPKH Beri Bantuan Mobil Layanan Umat untuk Yayasan Ahmad Hidir Arifin

10 Oktober 2025

WWW.PASJABAR.COM - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam memperluas manfaat program kemaslahatan....

bank bjb menandatangani MoU dengan PT Pos Indonesia untuk memperkuat layanan keuangan dan logistik terintegrasi, wujud sinergi digital dan efisiensi bisnis. (Ist)

bank bjb dan PT Pos Indonesia Jalin Sinergi Strategis Perkuat Layanan Keuangan dan Logistik

10 Oktober 2025
Lebih dari 55 juta anak Indonesia mengalami gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi. Kemenkes luncurkan Peta Jalan Kesehatan Penglihatan 2025–2030 untuk cegah kebutaan dan perluas layanan Vision Center di seluruh Indonesia. (Uby)

55 Juta Anak Indonesia Alami Gangguan Penglihatan, Kemenkes Wanti-Wanti Bahaya Kebutaan Sejak Dini

9 Oktober 2025
bank bjb berperan aktif dalam Launching Program KUMITRA di Sukabumi, mendukung pelaku UMKM termasuk penyandang disabilitas dengan pembiayaan KUR, pendampingan usaha, dan literasi keuangan. (Ist)

bank bjb Dorong UMKM Daerah Tumbuh Lewat Program KUMITRA Sukabumi

9 Oktober 2025
bank bjb resmi menandatangani MoU dengan IPDN untuk memperkuat sinergi sektor keuangan dan pendidikan. Kolaborasi ini mencakup pengelolaan dana, layanan digital, hingga fasilitas pembiayaan ASN. (Ist)

bank bjb Perkuat Dukungan untuk Pendidikan Berkualitas melalui Kerja Sama Strategis dengan IPDN

9 Oktober 2025

Highlights

bank bjb Dorong UMKM Daerah Tumbuh Lewat Program KUMITRA Sukabumi

bank bjb Perkuat Dukungan untuk Pendidikan Berkualitas melalui Kerja Sama Strategis dengan IPDN

Hukum Akomodif: Jejak & Tafsir Atas Pemikiran Kang Subarsyah

RRI dan Unpas Gelar Dialog Publik Bahas Kuliah dan Karier Mahasiswa

Good Boy: Ketakutan dari Sudut Pandang Seekor Anjing

Pemprov Jabar Evaluasi 2.500 SPPG Usai Kasus Keracunan Massal

PASJABAR

© 2018 www.pasjabar.com

Navigate Site

  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
  • Alamat Redaksi & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI

© 2018 www.pasjabar.com

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.