WWW.PASJABAR.COM — Kesehatan mental bukan lagi isu baru di era digital. Kini, setiap 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) sebagai momen untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya merawat pikiran dan emosi.
Peringatan ini pertama kali digagas oleh World Federation for Mental Health (WFMH) pada tahun 1992, dengan tujuan memperluas advokasi kesehatan jiwa di seluruh dunia. Sejak 1994, WFMH menetapkan tema berbeda setiap tahunnya sesuai dengan tantangan global yang dihadapi masyarakat.
Tema 2025: Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan
Tahun 2025, WFMH mengusung tema “Mental Health in Humanitarian Emergencies” atau Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan. Tema ini menyoroti pentingnya dukungan psikologis bagi masyarakat yang terdampak bencana alam, konflik, maupun krisis sosial dan ekonomi.
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari lima individu mengalami gangguan kesehatan mental dalam situasi darurat. Dukungan psikososial yang cepat dan tepat dapat membantu mereka pulih, bertahan, serta membangun kembali kehidupan.
WHO juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor — dari pemerintah, tenaga medis, pendidik, hingga komunitas — untuk memastikan kelompok rentan memiliki akses terhadap bantuan psikologis yang aman dan berkelanjutan.
Kolaborasi dan Pemerataan Layanan Psikologi
Di Indonesia, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) berperan aktif menyuarakan pentingnya akses layanan kesehatan mental yang merata.
HIMPSI bekerja sama dengan pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi sosial untuk menggelar konseling gratis, workshop, serta edukasi publik agar masyarakat lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan mental.
Salah satu contohnya adalah kampanye edukasi kesehatan mental di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menyasar masyarakat di daerah terpencil. Upaya ini menjadi langkah penting untuk memastikan layanan psikologi tidak hanya tersedia di kota besar.
Akhiri Stigma dan Self-Diagnose
Meski kesadaran meningkat, masih banyak masyarakat yang melakukan self-diagnose atau menganggap enteng gangguan mental. Padahal, kondisi tersebut membutuhkan penanganan profesional agar tidak berkembang menjadi gangguan yang lebih serius.
Melalui momentum ini, para ahli mengajak masyarakat berani mencari bantuan psikologis, tanpa takut dihakimi atau distigma. Kesehatan mental, sama halnya dengan kesehatan fisik, adalah hak setiap individu untuk hidup seimbang, produktif, dan bahagia.
Momentum Refleksi Global
Hari Kesehatan Mental Sedunia menjadi momentum penting untuk menyatukan aksi global dalam memperjuangkan layanan kesehatan mental yang inklusif dan terjangkau.
Dukungan komunitas, edukasi publik, serta investasi kebijakan menjadi kunci untuk menciptakan dunia yang lebih peduli terhadap kesejahteraan psikologis manusia.
Mari kita jadikan peringatan ini sebagai pengingat bahwa menjaga kesehatan mental adalah bentuk cinta pada diri sendiri dan sesama. (han)











