
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan dpk FH Unpas (Kepemimpinan Narsistik Manipulatif)
WWW.PASJABAR.COM – Seorang pemimpin narsistik manipulatif tidak sekadar mencintai dirinya sendiri. Ia juga lihai membuat orang lain mencintai citranya.
Ia hidup dalam dua dunia: dunia yang ia percayai sendiri—penuh kehebatan, ketulusan, dan pengorbanan semu—dan dunia yang ia jual ke publik, panggung tempat setiap senyum dan isyarat telah dikalkulasi dengan cermat.
Kepemimpinan semacam ini adalah perpaduan antara hasrat untuk dikagumi dan keterampilan mengendalikan orang lain.
Dalam psikologi, tipe ini dikenal dalam konsep dark triad personality—yang terdiri atas narsisisme, machiavellianisme, dan psikopati ringan—sebagaimana dijelaskan oleh Paulhus dan Williams (2002). Ketiganya sering berkelindan dalam diri individu yang haus kekuasaan namun miskin empati.
Pemimpin narsistik manipulatif adalah aktor ulung. Ia bisa menangis di depan kamera, tersenyum di podium, memeluk rakyat di depan media, lalu memerintah dengan tangan besi di balik layar. Ia menguasai seni tertua dalam politik: menipu dengan pesona.
Ilusi
Narsisisme membuat seorang pemimpin merasa bahwa dirinya adalah pusat kebenaran. Manipulasi membuatnya memastikan orang lain percaya hal yang sama. Ketika dua hal ini bergabung, kekuasaan bukan lagi sarana pengabdian, melainkan alat kendali.
Pemimpin narsistik manipulatif menciptakan lingkungan psikologis yang menekan tetapi menenangkan. Ia memuji untuk menciptakan ketergantungan, lalu merendahkan untuk mempertahankan kendali.
Ia menebar rasa bersalah di balik senyum, membangun loyalitas dengan ancaman halus, dan menciptakan ketakutan yang dibungkus dengan kasih.
Di ruang publik, ia tampil sebagai figur penyelamat. Ia berbicara tentang rakyat dengan bahasa kasih, tentang bangsa dengan nada heroik.
Namun di balik retorika itu, setiap keputusan selalu diarahkan untuk memperkuat bayangannya sendiri. Kritik dianggap serangan pribadi, koreksi dianggap penghinaan. Sebab dalam pikirannya, dirinya dan negara adalah satu entitas yang tak terpisah.
Citra
Kepemimpinan narsistik manipulatif berakar pada obsesi citra. Ia bekerja bukan untuk rakyat, tetapi untuk terlihat bekerja. Citra menjadi komoditas utama, dan media sosial adalah panggung utamanya. Setiap unggahan, setiap pose, setiap narasi disusun untuk meneguhkan keagungan diri.
Erich Fromm dalam The Heart of Man (1964) menyebut fenomena ini sebagai narsisisme sosial—saat masyarakat jatuh cinta pada citra sendiri, dan pemimpin narsistik menjadi cerminan kolektifnya.
Ia berbicara bukan untuk menjelaskan, melainkan untuk menegaskan betapa penting dirinya. Ia bukan pelayan rakyat, melainkan pusat semesta yang harus dipuji.
Citra, pada akhirnya, adalah bentuk kendali halus. Dengan mengatur persepsi publik, ia mengatur cara berpikir masyarakat tentang kebenaran.
Dalam dunia yang riuh informasi, persepsi lebih kuat daripada fakta. Maka, ia mengatur berita, menyeleksi narasi, dan menciptakan storytelling politik agar tampak sebagai pahlawan di tengah kekacauan.
Kendali
Manipulasi dalam kepemimpinan tidak selalu dengan kekerasan. Sering kali ia bekerja lewat bahasa empati palsu.
Pemimpin narsistik manipulatif memahami psikologi massa: rakyat ingin merasa didengar, maka ia berpura-pura mendengar. Rakyat ingin melihat ketegasan, maka ia menciptakan drama ketegasan.
Inilah bentuk gaslighting dalam politik—sebuah manipulasi psikologis yang membuat orang meragukan persepsi mereka sendiri (Stern, 2007).
Kegagalan diubah menjadi pencapaian, kritik disulap menjadi kebencian, dan kontrol dijual sebagai kepedulian. Lama-kelamaan publik kehilangan kepekaan moral. Mereka mulai percaya pada kebohongan yang menenangkan dan menolak kebenaran yang menyakitkan.
Pemimpin narsistik manipulatif tidak hanya membentuk kebijakan, tetapi juga realitas psikologis bangsa.
Ia menentukan kapan rakyat harus marah, kapan harus bangga, bahkan kepada siapa mereka harus mencintai dan membenci. Ia bukan lagi pelayan rakyat, melainkan sutradara besar dalam drama politik yang tak pernah usai.
Eksploitasi
Kepemimpinan manipulatif beroperasi melalui eksploitasi emosional. Ia memelihara kesetiaan dengan pujian dan mengikat pengikutnya dengan rasa takut kehilangan posisi. Setiap hubungan politik dibangun di atas transaksi batin: “aku memberimu tempat, kau memberiku kesetiaan.”
Namun di balik itu, yang muncul adalah toxic leadership—istilah yang diperkenalkan oleh Jean Lipman-Blumen (2005)—yakni kepemimpinan yang menumbuhkan ketakutan, ketergantungan, dan kepura-puraan dalam organisasi.
Dalam situasi ini, pejabat tidak lagi berpikir kritis; mereka menyesuaikan diri dengan pola pikir sang pemimpin agar selamat secara karier.
Ketika pola ini dilembagakan, seluruh sistem ikut rusak. Partai, birokrasi, bahkan lembaga hukum berubah menjadi cermin dari kepribadian pemimpinnya: narsistik dan manipulatif. Maka negara kehilangan rasionalitasnya. Hukum tunduk pada kehendak, dan kehendak berubah menjadi kebenaran tunggal.
Dampak
Dampak psikologis kepemimpinan narsistik manipulatif sangat luas. Pada level individu, ia melahirkan rasa takut dan kehilangan jati diri. Pada level sosial, ia membunuh kreativitas dan inisiatif. Pada level politik, ia merusak norma dan merelatifkan moralitas.
Ketika pemimpin memanipulasi rakyat, ia melatih masyarakat untuk percaya pada kebohongan yang menyenangkan. Dan ketika rakyat terbiasa dengan kebohongan itu, mereka akan menolak kebenaran yang menyakitkan.
Inilah paradoks sosial yang berbahaya: bangsa yang hidup dalam kebohongan, tetapi merasa bahagia.
Pemimpin manipulatif tahu bahwa harapan lebih mudah dijual daripada realitas. Ia menciptakan janji yang tak perlu ditepati, cukup diulang agar terdengar seperti kebenaran. Dalam demokrasi yang dangkal, persepsi menjadi mata uang yang lebih berharga daripada kejujuran.
Psikodinamika
Secara psikoanalitik, kepemimpinan narsistik manipulatif lahir dari luka batin yang tak terselesaikan. Freud (1914) menyebutnya narcissistic injury—cedera ego yang membuat individu berusaha menegakkan superioritas dengan menguasai orang lain.
Kekuasaan menjadi alat penyembuh bagi luka lama yang tak pernah diakui.
Carl Jung (1951) menambahkan, mereka yang menolak melihat “bayangan” dirinya (the shadow) akan memproyeksikannya ke luar.
Pemimpin narsistik manipulatif selalu membutuhkan musuh imajiner: pengkritik, media, oposisi. Tanpa musuh, ia kehilangan alasan untuk mempertahankan topeng keperkasaannya.
Maka, yang tampak kuat sebenarnya rapuh. Yang tampak tegas sebenarnya takut. Ia memimpin bukan untuk memberi arah, tetapi untuk mengendalikan cermin tempat ia terus menatap dirinya sendiri.
Budaya Pujian
Kepemimpinan narsistik manipulatif bertahan karena budaya pujian yang mengakar dalam masyarakat. Kita hidup di zaman yang lebih menghargai kesan daripada substansi. Dalam tradisi politik kita, pujian dianggap tanda kesetiaan, sementara kritik dianggap pengkhianatan.
Media sosial memperparahnya. Di sana, setiap gestur pemimpin bisa diubah menjadi simbol kesederhanaan, setiap kalimat menjadi kutipan inspiratif, dan setiap aktivitas kecil menjadi berita besar. Padahal, sering kali yang kita saksikan bukan ketulusan, melainkan koreografi kekuasaan.
Ketika masyarakat ikut memuja, batas antara pengabdian dan pengkultusan pun kabur. Pemimpin manipulatif tidak membutuhkan rakyat yang berpikir; ia hanya membutuhkan rakyat yang bersorak. Demokrasi tanpa kritik hanyalah kediktatoran dengan wajah ramah.
Antitesis
Lawan dari kepemimpinan narsistik manipulatif bukanlah pemimpin yang lemah, melainkan pemimpin yang sadar diri. Ia tahu kapan berbicara dan kapan mendengar, kapan tampil dan kapan menepi. Ia tidak butuh citra, karena kredibilitasnya lahir dari konsistensi, bukan dari kamera.
Pemimpin yang sehat secara psikologis memiliki kecerdasan emosional, sebagaimana ditegaskan oleh Daniel Goleman (1995): kemampuan memahami diri dan orang lain untuk mengambil keputusan yang bijak. Ia tidak menjadikan rakyat sebagai alat validasi, melainkan sebagai mitra dialog.
Kepemimpinan yang sehat juga berarti kejujuran emosional. Ia tidak menipu dengan empati palsu, tidak memanipulasi dengan narasi kebangsaan, dan tidak memperjualbelikan kesederhanaan. Ia memimpin dengan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan panggung.
Refleksi
Kita hidup di era di mana narsisisme bukan lagi gangguan kepribadian, tetapi strategi bertahan. Dalam dunia digital, semua orang ingin dilihat, termasuk para pemimpin. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, yang hilang justru keheningan untuk mendengar.
Kepemimpinan narsistik manipulatif tumbuh bukan karena kekuasaan semata, tetapi karena masyarakat yang lelah berpikir dan mudah terpesona. Setiap kali kita lebih memilih menonton pertunjukan politik daripada memahami kebijakan publik, kita sedang memperkuat pola manipulasi itu.
Terapi sosial bagi pemimpin narsistik hanyalah satu: rakyat yang berani berpikir. Pers yang bebas adalah cermin yang menyembuhkan. Pendidikan yang mengajarkan empati adalah vaksin terhadap politik manipulatif.
Kepemimpinan narsistik manipulatif adalah cermin zaman: kekuasaan yang tampak memesona, tapi menipu; empati yang terdengar lembut, tapi palsu; dan citra yang bersinar, tapi kosong di dalam. Ia bukan hanya penyakit individu, tetapi juga gejala sosial dari bangsa yang kehilangan daya kritisnya.
Namun sejarah selalu memberi pilihan. Kita bisa terus hidup dalam pesona palsu, atau mulai menumbuhkan tradisi kepemimpinan yang sadar diri.
Bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin yang pandai memanipulasi cinta rakyatnya, melainkan pemimpin yang mampu mencintai rakyatnya tanpa harus memanipulasi.
Karena pada akhirnya, pemimpin sejati bukan yang pandai menipu dengan pesona, tetapi yang berani jujur meski kehilangan sorak-sorai. (han)











