![Prof Didi Turmudzi](https://pasjabar.com/wp-content/uploads/2024/07/1461763_845929432113946_3164744364373354182_n-225x300.jpg)
Oleh: Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi M.Si (Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan) – Fasisme
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Saat mendengar kata “fasisme”, kita mungkin langsung teringat pada sosok seperti Adolf Hitler atau Benito Mussolini, dua pemimpin yang membawa dunia ke dalam kegelapan dengan ideologi mereka yang kejam dan penuh kebencian. Namun, apa yang terjadi jika fasisme, yang kita kira sudah terkubur dalam sejarah, tiba-tiba muncul kembali di abad ke-21? Apakah itu mungkin? Sayangnya, jawabannya adalah ya.
Fasisme tidak selalu tampil dalam bentuk yang sama seperti di masa lalu. Saat ini, ia sering kali bersembunyi di balik topeng kebijakan negara yang tampak sah, atau bahkan melalui pemimpin karismatik yang mampu memanipulasi rasa takut dan ketidakpuasan masyarakat. Salah satu contoh yang nyata adalah kebijakan imigrasi ketat yang diterapkan di beberapa negara, di mana kelompok-kelompok tertentu dijadikan kambing hitam atas masalah sosial dan ekonomi.
Di beberapa negara Eropa, misalnya, partai-partai politik dengan pandangan ekstrem kanan mendapatkan dukungan yang semakin besar. Mereka seringkali menggunakan retorika yang mempromosikan “kemurnian nasional” dan “perlindungan budaya” untuk membenarkan diskriminasi terhadap imigran dan minoritas. Dengan memanfaatkan ketakutan masyarakat akan perubahan dan krisis ekonomi, mereka berhasil membangkitkan kembali sentimen nasionalisme ekstrem yang mirip dengan fasisme di masa lalu.
Salah satu contoh kebijakan yang mengkhawatirkan adalah penerapan undang-undang yang membatasi hak-hak kebebasan berbicara dan berpendapat. Di beberapa negara, pemerintah menggunakan alasan keamanan nasional untuk membungkam para kritikus dan membatasi media. Langkah-langkah ini sangat mirip dengan taktik yang digunakan oleh rezim fasis di masa lalu, di mana kontrol terhadap informasi dan represi terhadap perbedaan pendapat menjadi kunci untuk mempertahankan kekuasaan.
Di Asia, ada pula negara-negara yang mulai mengadopsi kebijakan “penataran ulang” atau “pendidikan ulang” terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap berbahaya bagi stabilitas negara. Ini mengingatkan kita pada kamp-kamp konsentrasi yang digunakan oleh rezim fasis untuk menghilangkan mereka yang dianggap sebagai ancaman terhadap “kemurnian” bangsa.
Fasisme Baru
Bangkitnya fasisme baru ini tidak hanya mengancam individu-individu tertentu, tetapi juga menghancurkan fondasi demokrasi itu sendiri. Kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia, yang seharusnya menjadi dasar dari setiap negara yang maju, mulai terkikis. Contoh nyata bisa dilihat dalam meningkatnya kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, baik secara verbal maupun fisik.
Selain itu, dengan munculnya kembali ideologi fasis, ada risiko bahwa dunia akan kembali terpecah seperti pada masa sebelum Perang Dunia II, di mana kebencian dan ketakutan menjadi bahan bakar utama konflik global. Ketidakpedulian kita terhadap tanda-tanda awal ini bisa membuat kita terjebak dalam lingkaran sejarah yang kelam.
Untuk mencegah kembalinya fasisme dalam bentuk apa pun, penting bagi kita untuk selalu waspada terhadap tanda-tanda yang muncul. Mengedukasi diri kita sendiri tentang sejarah dan memahami bagaimana fasisme bekerja adalah langkah pertama. Kita juga harus berani melawan retorika kebencian dan diskriminasi, serta mendukung kebijakan yang mempromosikan inklusivitas dan keadilan sosial.
Sejarah mengajarkan kita bahwa ideologi berbahaya bisa muncul kapan saja dan di mana saja, terutama ketika kita tidak siap atau tidak peduli. Dengan bersatu dan berdiri teguh melawan kebangkitan fasisme, kita bisa memastikan bahwa bayangan gelap ini tidak akan kembali menghantui dunia. (han)