Oleh: U Wawan Sam Adinata, Dosen STIE Pasundan (Konflik Cina vs Amerika)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Perubahan-perubahan besar geopolitik dunia terus berlangsung semakin cepat dan curam beberapa dekade belakangan ini. Perang dagang yang rapih, santun, dan senyap sekarang terang-terangan, khususnya negara berkembang dan negara maju, yang dimotori oleh Cina – Rusia versus Amerika Serikat – Eropa.
Perubahan-perubahan tersebut tentu saja mengubah peta konflik dan berujung pada pergeseran wilayah konflik, dari kawasan Timur Tengah, Eropa Timur ke wilayah Laut Cina Selatan atau meminjam istilah Bung Karno, Lautan Teduh. Konflik mendasar adalah kepentingan nasional dua kekuatan tersebut dalam menancapkan “kuku” pengaruhnya di kawasan, baik dalam bungkus dagang ataupun dalam bentuk ideologi.
Beberapa waktu lalu, Beijing mengeluarkan pandangan yang menjelaskan situasi di kawasan tersebut yang sedang menuju konflik, bahkan konfrontasi tak terelakkan jika Washington tidak mengubah pendekatannya.
Mengutip Jubir Kemenlu China, Qin Gang, pandangan tersebut dikarenakan niatan AS yang dipandang pihaknya sedang berusaha mengalahkan China. Alih-alih konflik militer, Qin menyebut konflik yang sedang dibangun Negeri Paman Sam adalah zero-sum game, yang berarti satu pihak menang dan pihak sebelahnya mati. Artinya, Paman Sam tidak memberikan pilihan yang saling menguntungkan terhadap Cina, tapi bertarung sa “Maotna”.
Perang Dingin Versi Baru
Mencermati semakin masifnya konflik di Asia Pasifik, mengingatkan kita pada Perang Dingin di era Uni Soviet versus Amerika, khususnya di kawasan Eropa Timur. Konflik dianggap selesai dan dimenangkan Amerika dengan runtuhnya Uni Soviet, bahkan kita menyaksikan bagaimana konfrontasi pecahan Soviet hari ini, Rusia-Ukraina, yang dampaknya semakin meluas.
Perang Dingin tersebut juga tidak bisa dihindari di Indonesia. Indonesia menjadi medan perang dengan berbagai isu dukung-mendukung yang digoreng dalam wadah sentimen ras. Puncaknya tentu saja ketika perang saudara yang menyimpan luka traumatis bagi bangsa Indonesia, “PKI”. Rumus konflik jelas bisa menarik dengan mudah benang dari tragedi tersebut. Siapa yang diuntungkan? Maka jawabnya sangat jelas.
Kebangkitan Cina
Kebangkitan Cina sebagai negara super power baru tidak mengejutkan, karena semua lini mereka maju: teknologi, militer, ekonomi, budaya, dan ideologi sangat kuat. Yang mengejutkan adalah terlalu cepatnya Cina meraih semuanya di luar prediksi, dan perubahan Cina mengubah peta dunia hari ini.
Kebangkitan Cina, Rusia, dan sekutunya tentu saja menakutkan negara super power Amerika Serikat, karena Cina dan sekutunya belajar dari sejarah kekalahan pada Perang Dingin lampau. Blok Timur ini berhasil melakukan konsolidasi menjadi kekuatan penyeimbang tatanan dunia yang dimonopoli Barat, sekaligus membawa pesan bahwa Perang Dingin ternyata belum berakhir.
Dalam situasi tersebut, mau tidak mau Indonesia pasti terseret di dalamnya, tidak bisa dihindari. Tapi yang perlu ditarik garis tegasnya adalah kepentingan nasional Indonesia di atas segalanya. Dan sekarang sangat terasa sekali bagaimana kegaduhan-kegaduhan dalam negeri mulai terasa.
Apalagi Indonesia adalah negara besar dengan sumber daya alam yang melimpah, selain sebagai pasar bagi negara lain juga yang utama adalah sumber daya alam sebagai sumber ekonomi yang merangsang negara manapun. Artinya, semua negara tersebut memiliki kepentingan besar dan akan menancapkan pengaruhnya lebih besar.
Di sini jelas, Cina maupun Amerika akan menjadikan Indonesia sebagai medan perang yang keras dalam Perang Dingin lanjutan, atau istilahnya perang proxy, di mana perang dilakukan oleh pihak ketiga untuk mencapai kepentingan strategis di negara lain. Perang ini dilakukan untuk menghindari konfrontasi langsung antara dua kekuatan besar. Dalam perang proxy, pihak ketiga yang terlibat disebut sebagai pasukan proksi.
Indonesia tidak bisa menghindari dua himpitan batu besar kolonialisme era baru, Cina maupun Amerika. Mesin kolonialismenya sudah sangat tajam dan berfungsi, atau istilah kerennya, OBOR kependekan dari One Belt One Road yang kini istilahnya berubah menjadi Belt and Road Initiative (BRI), sedangkan OGOS singkatan dari One Government One System, yakni ambisi para elit AS membentuk Tata Dunia Baru (New World Order) di bawah AS lewat instrumen: 1. satu mata uang US Dollar, 2. satu agama tunggal sekuler universal, 3. satu pemerintahan global di bawah kendali AS.
One Belt One Road
One Belt One Road (OBOR) adalah proyek pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang diprakarsai oleh pemerintah Tiongkok, bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan konektivitas di antara negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa. OBOR juga dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI). Bentuk OBOR: jalur sutra ekonomi darat, jalur sutra maritim berbasis laut. Cakupan OBOR: awalnya difokuskan pada Asia, Eropa, dan Afrika, kini mencakup lebih dari 100 negara, termasuk Amerika Serikat.
Di sisi lain, Amerika memiliki hubungan yang sama panjangnya dengan kawasan Asia Pasifik, khususnya Indonesia. Sejarah perjalanan hubungan Amerika-Indonesia bukan hanya dagang dan investasi, pendidikan, budaya, dan yang utama tentu saja militer. Walaupun pasang surut layaknya hubungan antar negara, tapi Amerika dan Indonesia memiliki hubungan sejarah yang sangat istimewa.
Di kawasan Asia Pasifik, Amerika tetap menawarkan stabilitas dan keamanan. Seperti yang tertuang dalam dokumen strategi Indo-Pasifik AS, kawasan ini bukan hanya penting bagi perdagangan global. Tetapi juga untuk keamanan nasional Amerika. AS telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk memastikan kebebasan navigasi di Laut China Selatan, wilayah yang menjadi pusat sengketa antara China dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, Amerika Serikat menawarkan dukungan militer dan diplomatik, dan investasi sektor swasta juga tidak kalah menjanjikan. Melalui kemitraan militer dan latihan bersama, menahan pengaruh China di Asia-Pasifik.
Inilah kenapa kawasan Asia Pasifik ke depan akan semakin memanas, dan mau tidak mau Indonesia akan berada di pusaran tersebut. Karena dunia semakin terpolarisasi. Sebuah keadaan yang kembali terulang, karena pernah melaluinya. Tapi kini sangat berbeda, baik kepentingan nasional maupun peta geopolitik dunia yang semakin berubah begitu cepat.
Catatan Akhir
Berangkat dari fenomena tersebut, maka tidaklah heran kalau dinamika politik nasional belakangan ini memanas. Khususnya konflik-konflik yang melibatkan rakyat secara langsung, antara kepentingan rakyat dan kepentingan elite ekonomi yang berkedok kepentingan nasional.
Hal itu terjadi karena kebijakan pemerintah dalam menjalankan kepentingan nasional di bidang investasi global asing dianggap merugikan masyarakat. Karena aspek manfaatnya tidak terasa. Sedangkan dampak negatifnya terasa langsung, seperti tenaga kerja Cina, atau yang lagi ramai sekarang, pemagaran laut yang merugikan nelayan.
Ramainya “pagar laut” adalah teori gunung es dari perseteruan tersebut. Walaupun sejatinya kepentingan nasional “yang tanda kutip sulit dipahami”, tapi prosesnya dirasa melahirkan polemik yang merugikan masyarakat. Setidaknya melahirkan konflik yang mengkhawatirkan di arus bawah.
Bagi elite, situasi tersebut mudah dipahami, dan mungkin banyak cara untuk menyikapinya. Tapi bagi rakyat perlu edukasi yang mencerahkan, bahwa proyek-proyek tersebut untuk kepentingan nasional dan kemakmuran rakyat. Tanpa merugikan negara apalagi rakyat.
Dan yang utama, tentu saja konsolidasi elite bangsa dan harapan rakyat harus berada di titik temu yang saling menguntungkan, terbuka, dan tanpa manipulasi apalagi korupsi. Insyaallah, Indonesia pasti bisa melewatinya. (han)