BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Berdiri sejak tahun 2001, Ekowisata Alam Santosa yang terletak di Jalan Pasir Impun Atas No. 5 A Kampung Sekebalimbing, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat terus konsisten menjadi pusat budaya dan lingkungan.
Eksistensinya bukan hanya terkenal di Jawa Barat tapi juga seluruh nusantara bahkan mancanegara. Tercatat sudah lebih dari 7 negara eropa yang berkunjung, dan pada tahun 2015 lalu, Ekowisata Alam Santosa pun sempat menerima kunjungan mahasiswa dari Asia dan Afrika.
Owner sekaligus Duta sawala atau Sekjen Dewan Kesepuhan Masyarakat Adat, Eka Santosa mengungkapkan bahwa ia menemukan Ekowisata Alam Santosa pada awalnya bermula saat dulu rumahnya yang terletak di Arcamanik pernah mengalami banjir, dengan karakter banjir yang mengandung kerikil dan tanah berwarna merah.
“Banjir tersebut membuat saya mencari apa yang yang menjadi sumbernya, hingga akhirnya saya menelusuri ke daerah atas dan menemukan lahan kritis, yang gundul dari pepohonan,” jelas Eka.
Dari sana, Ketua Umum Gerakan Hejo ini pun tergerak untuk merecovery alam tersebut, ia mulai dengan menanam berbagai tanaman dan pohon seperti Dukuh, Naranti, Ganitri, Cempaka, Mala, Damar dan lain sebagainya, untuk kembali menghutankan kawasan tersebut.
“Selain membuat hutan sebanyak 80% di lahan seluas 5 Hektar, 20% lainnya pun dipakai untuk parkiran, sawah, kolam yang diisi berbagai jenis ikan seperti Subang lalawa, Betok dan sebagainya. Kami juga membuat bangunan untuk menjaga kearifan lokal seperti Bumi alit, dapur lokal dengan menggunakan hawu, warung gebyok, bale kambang, julang ngapak dan kawasan bermain,” paparnya.
Eka menambahkan bahwa penataan Ekowisata Alam Santosa mengangkat tema “Nyoreang alam katukang, nyawang alam anu bakal datang,” yang bermakna mempelajari Kejeniusan masyarakat tempo dulu untuk melihat kedepan. Dimana warisan karuhun Sunda yang sangat luar biasa dijaga untuk dihidupkan kembali.
“konsep yang diangkat adalah “Go green” dimana mengusung keseimbangan sebagaimana ajaran sunda antara flora, fauna maupun manusia yang harus dijaga karena semuanya saling berinteraksi sebagai bagian dari mahluk Tuhan,” jelasnya.
Selain menjaga lingkungan, ditanam juga pohon kopi sebagai sumber pemberdayaan lebih lanjut, dimana kawasan tersebut dapat menjadi wisata kopi, edukasi kopi dan tempat minum kopi yang saling memberikan manfaat juga untuk para petani yang merawatnya.
“Kami pun kerap mengadakan Festival budaya masyarakat adat sunda seperti pinton ajen karancagean yang sudah dilaksanakan beberapa kali. Adanya greenschool, yang menjadi tempat untuk berdiskusi, menjadi pusat pengembangan budaya dan lingkungan. Bahkan juga kerap dijadikan acara rapat atau wedding,” terangnya.
Terakhir Eka bercerita bahwa Saat ini Jawa Barat dihadapkan dengan pokok krisis lingkungan yang luar biasa dengan beberapa titik yang membahayakan hutan dan sungai, 90 persen hutan sudah rusak, 50 persen sungai-sungai sudah tercemar, pesisir utaranya abrasi, sehingga perlu membangkitkan kembali kesadaran, agar cepat terpulihkan dengan pendekatan budaya dan humanisasi.
“Tingginya eksploitasi, akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan menurunnya produksi. Hal ini diakibatkan oleh krisis kesadaran untuk merawat lingkungan dari hal terkecil seperti membuang sampah,” lanjutnya.
Eka berharap kedepannya, bahwa negara Indonesia akan dapat melahirkan generasi yang tidak melupakan budaya dan lingkungan. Sebab negara hebat itu bukan hanya memiliki SDM yang kompetitif, berfikir global, mapan dalam teknologi, tapi juga kemampuan dalam mempertahankan budaya serta memahami dan menjiwai nilai leluhur dan lokalnya sendiri. (Tan)