
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si., Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan (Ijtihad Dalam Islam, dalam buku Mengenal Kesempurnaan Manusia)
WWW.PASJABAR.COM – Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang utama dan pertama. Ajaran-ajarannya bersifat abadi dan universal: berlaku untuk seluruh umat manusia di setiap tempat dan zaman. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa pesan di dalam Al-Quran yang masih bersifat umum. Dan penjelasannya diuraikan dalan Sunnah. Namun, perkembangan zaman yang sangat pesat disertai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan banyak masalah baru. Yang tidak terdapat dalilnya yang eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Seperti masalah bayi tabung, cloning, cangkok kornea mata, dan cangkok organ tubuh lainnya.
Persoalan-persoalan tersebut tentu memerlukan pemecahan yang jelas dan tuntas. Maka, dalam hal ini, ulama-ulama Islam dituntut untuk dapat memecahkan persoalan-persoalan tersebut menurut konsep ajaran Islam. Upaya mereka ini kemudian disebut ijtihad. Upaya ini sangat berfungsi untuk menerangkan dan menentukan hukum terhadap berbagai persoalan yang terjadi pada masa kini. Yang tidak terdapat dalilnya secara eksplisit di dalamAl-Quran dan Sunnah Rasul.
Adanya ijtihad ini menandakan bahwa ajaran Islam senantiasa memberikan jawaban atau solusi. Terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam dari zaman ke zaman. Sehingga hukumhukumnya senantiasa aktual dan berlaku di setiap tempat dan waktu.
Sebenarnya kata ijtihad serumpun dengan kata jihad, dan mempunyai akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti “mengerahkan segala kemampuan”. Dalam wacana Islam, penggunaan kedua istilah tersebut mempunyai arah yang berbeda. Jihad berarti pengerahan kemampuan secara maksimal, dar penggunaannya lebih cenderung pada segi fisik. Sedangkan ijtihad Jebih cenderung digunakan pada segi non-fisik (akal pikiran) atau yang bersifat ilmiah. Orang yang melakukan jihad disebut mujahid. Dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Secara terminologis, ijtihad berarti “mengerahkan segala kemampuan dalam mengungkapkan kejelasan atau maksud hukum Islam. Untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul”. Mendudukkan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam tentu tidak bisa disejajarkan atau diperlakukan sama dengan dua sumber pokok lainnya. yaitu Al-Quran dan hadis. Ijtihad lebih tepat dikatakan sebagai sumber kekuatan, alat, atau cara. Untuk meneropong dua sumber pokok itu dalam kaitannya dengan fenomena-fenomena kehidupan.
Akal
Dalam ajaran Islam, akal mendapatkan tempat yang sangat berharga. Banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan penggunaan akal. Seperti dalam firman Allah berikut:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang mengunakan akal pikirannya. (Qs Ali Imran [3]: 190)
Kemudian, hadis di bawah ini merupakan bukti bahwa ijtihad pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal:
Pada waktu Rasulullah mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi bertanya kepadanya, “Dengan apakah engkau melaksanakan hukum?” Mu’adz menjawab, “Dengan Kitab Allah.” Nabi bertanya lagi, “Kalau engkau tidak mendapatkannya di sana?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunnah atau hadis Rasul.” Tanya Nabi lagi, “Kalau engkau tidak mendapatkannya juga di sana?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan akal saya dan saya tidak akan berputus asa.” Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah berkenan memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya yang direstui-Nya.” (Hr Abu Dawud, dalam Sunan Abi Dawud, 23: 11).
Ada bukti lain bahwa ijtihad juga dilakukan oleh para sahabat setelah Rasul wafat, yaitu oleh Abu Bakar ketika ia menjadi khalifah. Umar bin al-Khaththab mengusulkan kepadanya agar Al-Quran dikumpulkan dalam satu mushaf. Mengingat telah banyak para sahabat penghafal Al-Quran yang meninggal dunia dan gugur dalam peperangan. Pada mulanya, Abu Bakar menolak mengingat hal itu tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menerimanya mengingat hal tersebut merupakan suatu kebaikan. Bagi kepentingan umat Islam agar Al-Quran tetap terpelihara hingga akhir zaman.
Begitu juga halnya pada masa Umar bin al-Khaththab ketika ia menjadi khalifah. Dia tidak menjatuhkan hukum potong tangan terhadap orang yang mencuri. Hal ini dilakukan dengan penuh pertimbangan ijtihadnya yang berdasarkan pada kemanfaatan dan kemaslahatan.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ijtihad dalam Islam sangat perlu dilakukan. Sehingga keberadaannya menjadi sumber ajaran setelah Al-Quran dan Sunnah. Hal ini memilik landasan yang sangat kuat, baik dari Al-Quran maupun Sunnah atau atsar.
Masalah
Tidak semua masalah dalam ajaran Islam dapat ditetapkan hukumnya melalui ijtihad. Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya secara pasti (qath’i) dalam Al-Quran dan Sunnah tidak boleh ditetapkan melalui ijtihad. Seperti waktu shalat, hukum wajib shalat, zakat, dan puasa.
Oleh sebab itu, para ulama menetapkan wilayah-wilayah yang boleh ditetapkan hukumnya melalui ijtihad atau prinsip-prinsip bagi seseorang yang ingin malakukan ijtihad (berijtihad). Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
- Pada dasarnya, masalah yang ditetapkan melalui ijtihad tidak melahirkan keputusan atau hukum yang bersifat mutlak. Sebab, ijtihad hanya merupakan aktivitas akal manusia yang relatif dan terbatas, sehingga keputusan atau hukum yang dihasilkannya pun relatif.
- Suatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang dan tidak berlaku bagi orang lain secara umum, dan juga mungkin berlaku untuk suatu tempat atau waktu dan tidak berlaku bagi tempat atau waktu yang lain.
- Ijtihad tidak berlaku dalam masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya secara pasti dalam Al-Quran dan hadis, seperti ibadah-ibadah mahdhah. Ijtihad hanya berlaku dalam masalah-masalah yang bersifat zhanni, seperti ibadah-ibadah dalam kategori ghair mahdhah, atau masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.
- Dalam proses berijtihad, hendaklah dipertimbangkan factor-faktor motivasi, kemaslahatan dan kemanfaatan umum, serta nilai-nilai yang menjadi jiwa atau nafas Islam.
- Keputusan hukum yang ditetapkan melalui ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
Hanya Orang-Orang Tertentu
Tidak semua orang boleh melakukan ijtihad. Yang boleh melakukan ijtihad hanya orang-orang tertentu yang telah memenuhi sejumlah syarat. Oleh karena itu, di samping para ulama telah menetapkan prinsip-prinsip berijtihad (seperti tersebut di atas), mereka juga menetapkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh orang yang ingin melakukan ijtihad (mujtahid). Syarat-syarat tersebut antara lain berikut ini:
- Memiliki keimanan yang kuat terhadap syariat ilahi, berkeyakinan teguh terhadap kebenarannya, dan mempunyai tekad yang bersih untuk merealisasikannya, tanpa ada kecenderungan hati untuk mengutak-atik ketentuan dan aturan-aturannya, dan tidak mengambil dasar atau prinsip dari sumber lain.
- Menguasai bahasa Arab dengan baik beserta ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
- Mendalami ilmu Al-Quran dan Sunnah, sehingga ia mengetahui kaidah-kaidah hukum yang bersifat universal dan tujuan tujuannya yang mendasar, dan juga harus mengetahui ketetapan-ketetapan hukum yang berkaitan dengan kepentingan hidup manusia secara menyeluruh. Di samping itu, ia harus mengetahui tujuan ketetapan hukum tersebut dan kemaslahatannya dalam mengatur berbagai segi dan aspek kehidupan yang berbeda beda.
- Mengetahui produk-produk hukum ijtihad yang dihasilkan oleh para ulama atau para mujtahid terdahulu.
- Memiliki pengamatan yang cermat terhadap masalah-masalah kehidupan berikut situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sebab, dalam masalah dan kondisi itulah hukum-hukum tersebut akan diaplikasikan.
- Memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntunan Islam.
Macam-Macam Ijtihad
Dilihat dari segi metode, macam-macam ijtihad dapat dibagi ke dalam tiga bentuk berikut:
- Qiyas (reasoning by analogy), artinya mengukur atau mempertimbangkan sesuatu dengan membandingkannya.
- Istihsan (preference), yaitu menetapkan suatu hukum atas suatu persoalan ijtihadi atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan sebagainya.
- Mashlahat al-mursalah (utility), yaitu menetapkan hukum atas suatu persoalan ijtihadi atas dasar pertimbangan kegunaan da» pemanfaatan.
Sementara itu, macam ijtihad dilihat dari teknis pelaksanaannya terbagi ke dalam dua bagian:
- Ijtihad fardi, yaitu setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh kesepakatan atau persetujuan dari para mujtahid lain, atau ijtihad yang dilakukan oleh satu orang (perorangan).
- Ijtihad jama’i, yaitu setiap ijtihad yang telah mendapatkan kesepakatan atau persetujuan dari para mujtahid lain, atau ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang bersama-sama.
Berdasarkan uraian tentang ijtihad tersebut, dapat dipastikan bahwa ijtihad akan terus diperlukan sepanjang zaman, terlebih pada abad modern dengan perkembangan kehidupan yang berjalan dengan cepat. Di mana pun dan kapan pun, melalui ijtihad inilah kedua sumber pokok (Al-Quran dan Sunnah) akan mampu memberikan jawaban dan solusi atau jalan yang terbaik kepada umat manusia dalam mengantisipasi segala permasalahan yang mereka hadapi. (han)












