BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Gunung selalu punya cara sendiri untuk berbicara, kadang lewat udara dingin yang menusuk, kadang lewat diam yang panjang di antara kabut dan jurang. Dalam diam itulah, seorang pemuda asal Makassar bernama Syahril Amaliah S menemukan banyak hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Melalui bukunya Elevasi 3726, Syahril membawa kita ikut menapak dari kaki Rinjani hingga puncaknya, bukan sekadar dengan napas dan langkah, tapi juga dengan hati. Bersama delapan temannya, ia memulai pendakian yang tak hanya menguji fisik, tapi juga perasaan—tentang lelah, rindu, kehilangan, dan keberanian untuk terus berjalan.
Kisah ini dibedah dalam KamSara | Bedah Buku #14 yang digelar pada Kamis, (2/10/2025) bersama narasumber Syahril Amaliah S dan host Siti Nuzulia A. P. Dalam sesi yang hangat dan penuh refleksi ini, Syahril menceritakan bagaimana Elevasi 3726 lahir dari perjalanan yang bukan hanya mengandalkan tenaga, tetapi juga ketulusan untuk memahami diri sendiri.
“Lelah dan keluhan itu wajar,” ungkap Syahril saat sesi berlangsung. Ia tak menutupi rasa ingin menyerah yang sempat datang. Namun di setiap titik nyaris berhenti, selalu ada pengingat: niat awal dan teman-teman yang melangkah bersamanya. Dari situlah Syahril belajar, bahwa kebersamaan mampu menyalakan semangat di tengah lelah yang menumpuk.
Namun, Elevasi 3726 bukan hanya catatan pendakian. Ia adalah cermin perjalanan batin. Di ketinggian, Syahril justru menemukan bahwa “jauh” tak selalu soal kilometer yang memisahkan. Kadang jarak justru terasa saat komunikasi terputus, saat hati kehilangan arah untuk bicara. Rindu, katanya, bisa lahir dari hal-hal paling sederhana—seekor kucing yang menunggu di rumah, kamar yang berantakan, atau masakan ibu yang kini terasa jauh.
Setelah turun dari gunung, Syahril memberi jeda. Ia tak langsung menulis, menunggu tubuh pulih dan hati tenang. Ia ingin menulis dengan jujur, tanpa tergesa.
“Tulisan yang baik lahir dari hati, bukan paksaan,” ujarnya dalam sesi KamSara itu. Maka setiap kalimat dalam bukunya terasa apa adanya—hangat, jernih, tanpa banyak hiasan, tapi sarat makna.
Agar kisahnya tetap utuh, Syahril punya trik tersendiri. Ia selalu meniatkan perjalanan sebagai bahan karya, mendokumentasikan sebanyak mungkin, dan melakukan cross-check kepada teman seperjalanan. Seolah membuka kembali album kenangan, tiap detail dihidupkan lagi agar tak ada yang terlupakan.
Meski begitu, proses menulis tak selalu mulus. Ide bagi Syahril adalah tamu tak terduga—datang kapan saja dan tak bisa dipaksa. Suatu kali, ide muncul ketika ia sedang berkendara. Tanpa pikir panjang, ia menepi dan mencatatnya di ponsel.
“Kalau dibiarkan, ide bisa hilang begitu saja,” katanya sambil tersenyum.
Dari pengalaman mendaki, Syahril menegaskan bahwa gunung menuntut tanggung jawab. Bukan hanya kekuatan fisik, tapi juga kesiapan mental dan sosial. Ia mengingatkan para pendaki pemula agar tidak mendaki hanya karena tren. “Persiapkan diri. Jangan sampai perjalanan yang seharusnya indah justru membawa masalah,” pesannya.
Pada akhirnya, Elevasi 3726 bukan sekadar kisah tentang puncak Rinjani, tapi tentang menemukan makna dalam setiap langkah. Tentang keberanian mencoba hal baru, dan tentang bagaimana alam bisa menjadi guru paling jujur.
“Pada sebuah perjalanan kau tak benar-benar sendiri,” tulis Syahril di penghujung bukunya. “Pada setiap langkah yang kau tempuh, akan selalu ada sosok yang baru.”
Gunung, pada akhirnya, bukan tempat untuk menaklukkan—melainkan tempat untuk menemukan diri sendiri. (tiwi)












