BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia sejak awal 2020. Hingga kini, belum ada titik terang kapan pandemi akan berakhir. Selama perjalanan mengatasi pandemi, ada beberapa catatan yang dilakukan pemerintah. Apa saja?
Blunder Menkes
Di awal pandemi COVID-19, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terkesan meremehkan COVID-19. Hal itu menuai sorotan publik karena pada akhirnya COVID-19 masuk ke Indonesia dan mengakibatkan pandemi hingga kini. Di saat yang sama, pemerintah juga tak siap menghadapi pandemi COVID-19.
“Harus diakui kita semua gagap, panik, dan teledor. Menkes (Terawan) yang tadinya ingin menenangkan dan menghindarkan kepanikan, malah berulang kali membuat error sehingga Presiden mengangkat Ketua BNPB untuk menangani masalah pandemi COVID-19,” ujar Farhan, belum lama ini.
Tak Ada Lockdown
Berbeda dengan beberapa negara lain yang memberlakukan lockdown, Indonesia lebih memilih memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah. Indonesia lebih memilih menunggu adanya vaksin daripada menutup akses bagi warga negara asing (WNA) sejak awal kasus COVID-19 mencuat.
Lockdown tidak dilakukan pemerintah karena khawatir berdampak buruk bagi perekonomian. Ini sebuah risiko besar yang berani diambil pemerintah.
“Kenyataannya, pemerintah Indonesia memilih motivasi ekonomi dalam penanganan pandemi sehingga tidak memilih opsi lockdown dan tidak menutup perbatasan negara dari mobilitas internasional di awal pandemi hingga akhirnya di bulan Desember perbatasna pun ditutup,” ucapnya.
“Presiden Jokowi mengambil risiko menunggu sampai adanya penanganan lewat vaksin dan herd immunity (kekebalan kelompok) yang tidak akan membuat ekonomi kolaps,” ujar Farhan.
Dampak dari kebijakan itu, Indonesia dihadapkan pada kesulitan berkepanjangan. Pemerintah pun akhirnya memberikan jaminan sosial kepada masyarakat melalui beberapa tahap dan berbagai program.
Hal ini patut diapresiasi. Namun, yang jadi masalah, jaminan sosial pun menjadi lahan untuk korupsi. Bahkan, Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sampai terjaring dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kenyataannya, kebijakan menanti vaksin tanpa pengetatan mobilitas dan penutupan wilayah (lockdown) membuat kita sulit bangkit dari kontraksi pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kita bersyukur pemerintah level pusat sampai daerah sangat baik melakukan penanganan jaminan sosial, baik untuk faskes maupun kebutuhan sosial lainnya. Bahkan KPK dengan sigap menangkap Mensos ketika melakukan korupsi bansos. Ini layak diapresiasi,” jelas Farhan.
Namun, belakangan pemerintah mengambil kebijakan menutup akses WNA ke Indonesia. Langkah ini adalah tindakan terlambat. Meski begitu, hal ini diapresiasi dan diharapkan berdampak positif.
“Pernyataan tegas Menlu menutup perbatasan negara, walaupun terlambat, patut diacungi jempol. Kebijakan ini semestinya dicanangkan sejak awal pandemi. Tapi, setidaknya ini mulai membangun kepercayaan masyarakat yang sempat bingung dengan pernyataan para menteri yang gagal menerjemahkan kebijakan Presiden,” papar Farhan.
Tugas Berat Enam Menteri Baru
Di tengah pandemi COVID-19, Jokowi baru-baru ini mengambil langkah. Enam menteri diganti dengan nama-nama baru, yaitu Menteri Kesehatan, Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Sosial.
Saya melihat para menteri baru punya kapasitas sangat baik walaupun belum bisa menutupi 100 persen kelemahan kabinet kerja periode kedua Jokowi. Mereka akan menghadapi tantangan terjal.
Untuk Menteri Kesehatan, Farhan menilai Budi memberikan penjelasan transparan tentang vaksinasi yang merupakan masterplan pemerintah dalam penanganan COVID-19. Hal ini yang sangat diharapkannya sejak era Terawan Agus Putranto. Budi pun diharapkan mampu menjalankan tugasnya dengan baik, terutama dalam menangani pandemi COVID-19.
Menteri KKP dan Menteri Sosial menurutnya harus segera melakukan bersih-bersih di internal kementerian masing-masing. Sebab, dua menteri sebelumnya tersandung kasus korupsi yang dikhawatirkan akarnya masih ada di kementerian terkait.
Menteri Agama punya pekerjaan besar menghilangkan sisa-sisa dikotomi agama yang timbul karena radikalisasi dan pemanfaatannya untuk kontestasi politik. Menparekraf juga harus bersinergi dengan Menteri Perdagangan untuk membangun pasar ekspor budaya Indonesia.
“Keduanya harus bisa menciptakan ekosistem bagi tumbuhnya industri ekonomi kreatif yang berkelas dunia,” tutur Farhan.
Menkes Jangan Cuci Tangan
Secara khusus, Farhan menyoroti kinerja Mendikbud Nadiem Makarim di tengah pandemi. Sebab, Nadiem dinilai cuci tangan dengan rencana proses belajar tatap muka pada 2021.
“Bagaimana nasib jutaan anak sekolah dan mahasiswa kita? Apakah Mendikbud sudah clear tentang kebijakan kegiatan belajar dan mengajar di semua level? Atau Mendikbud masih bersembunyi di bali narasi ‘semua dikembalikan kepada kebijakan masing-masing kepala daerah’,” cetusnya.
“Pernyataan Mendikbud ini jelas-jelas cuci tangan, bukan memimpin gerbong besar sistem pendidikan keluar dari krisis akibat pandemi ini,” sindir Farhan. (ors)