YOGYAKARTA, WWW.PASJABAR.COM — Peneliti dari FKKMK UGM, dr. Gunadi, PhD, Sp.BA., mengatakan subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki kemungkinan menyebar lebih cepat dibanding BA.1 dan BA.2. Subvarian baru ini pun tidak ada indikasi yang menyebabkan kesakitan lebih parah dibanding varian Omicron lainnya.
Subvarian BA.4 dan BA.5, dinilai, memiliki penurunan kemampuan terhadap terapi beberapa jenis antibody monklonal. Ia juga memiliki kemungkinan lolos dari perlindungan kekebalan yang disebabkan oleh infeksi varian Omicron.
Disebutnya, Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki banyak mutasi yang sama dengan varian Omicron asli tetapi memiliki lebih banyak kesamaan dengan varian BA.2. Kedua varian mengandung substitusi asam amino L452R, F486V, dan R493Q dalam spike receptor binding domain dibandingkan dengan BA.2.
“Mutasi L452R, yang juga terdeteksi pada varian Delta diperkirakan membuat virus lebih menular dan menghindari penghancuran sebagian oleh sel-sel imun. Mutasi F486V juga membantu menghindari pengenalan sistem imun,” katanya seperti dikutip PASJABAR dari laman ugm, Jumat (17/6/2022).
Lebih lanjut ia menjelaskan karakteristik varian Omicron rata-rata memiliki tanda-tanda gejala awal seperti batuk (89 persen), fatigue (65 persen), dan hidung tersumbat atau rinore (59 persen). Gejala lainnya demam (38 persen), mual atau muntah (22 persen), sesak napas (16 persen), diare (11 persen) dan anosmia atau ageusia 8 (persen).
“Saat ini terdapat sejumlah kecil kasus BA.4 dan BA.5. Karenanya masih terlalu dini untuk mengetahui secara pasti apakah ada gejala baru yang terkait dengan garis keturunan ini. Namun, mengingat bahwa garis keturunan masih diklasifikasikan sebagai Omicron, dan bahwa sebagian besar mutasi (terutama dalam protein lonjakan) adalah sama, kemungkinan gejalanya akan serupa,” ucapnya.
Penanganan
Oleh karenanya untuk tata laksana farmakologis sebagaimana penanganan pada Covid-19, pada umumnya jika tanpa gejala cukup diberikan vitamin C, D, pengobatan suportif, pengobatan komorbid dan komplikasi. Ringan diberikan vitamin C, D, Favipiravir atau Molnupiravir atau Nirmatrelvir/Ritonavir, pengobatan simtomatis, pengobatan suportif, pengobatan komorbid dan komplikasi.
Sementara untuk gejala sedang diberikan vitamin C, D, remdesivir atau alternatifnya: Favipiravir, Molnupiravir, atau Nirmatrelvir/Ritonavir, antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP, pengobatan simtomatis, pengobatan komorbid dan komplikasi. Untuk yang berat atau Kritis maka akan diberikan vitamin C, B1, D, remdesivir atau alternatifnya: Favipiravir, Molnupiravir, atau Nirmatrelvir/Ritonavir, kortikosteroid, anti IL-6 (Tocilizumab/Sarilumab), antibiotik (pada suspek koinfeksi bakteri), antikoagulan LMWH/UFH/OAC berdasarkan evaluasi DPJP, tata laksana syok (bila terjadi) dan pengobatan komorbid dan komplikasi.
“Apakah harus rawat rumah sakit atau isolasi mandiri, saya kira untuk yang tanpa gejala cukup dengan obat-obatan oral dan oksigen dan pemantauan bisa dilakukan sendiri atau tenaga medis secara tidak langsung. Beda dengan yang sedang, berat atau bahkan kritis, disamping obat-obatan oral, obat-obatan injeksi, oksigen dan lain-lain perlu kiranya dirawat di rumah sakit dan dipantau langsung oleh tenaga medis,” terangnya.
Sebagai antisipasi, katanya, banyak pihak segera tingkatkan booster. Tetap pakai masker di dalam ruangan, kendaraan umum, kerumunan, dan bila merasa tidak enak badan. Selain itu, tidak terburu-buru untuk mencabut kebijakan bermasker.
“Pokoknya tetap patuhi protokol kesehatan. Protokol kesehatan akan selalu diperbaharui dan tetap menjadi acuan dalam kegiatan sehari-hari,” tutupnya. (*ytn)