*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Konsumsi dalam Islam senantiasa memperhatikan halal-haram, konsisten dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran serta dampak mudarat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Adapun kaidah/prinsip dasar konsumsi Islami, menurut Al-Haritsi (2006) adalah:
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi, yang terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi sebagai sarana untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan tugas khalifah dan amanah di bumi yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu ketika akan mengonsumsi maka harus memiliki pengetahuan ihwal barang yang akan dikonsumsi dan hukum yang terkait dengannya, apakah halal atau haram, baik dari aspek zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi dari akidah dan ilmu tentang konsumsi Islami tersebut. Ketika seseorang sudah berakidah lurus dan berilmu, maka dia akan mengonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya:
a. Sederhana, yaitu mengonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan-hamburkan dan pelit, antara bermewah-mewah dan hemat.
b. Disesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam konsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan. Sehingga tidak menjadi besar pasak daripada tiang.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, dengan memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudaratan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang bersifat dharuriyyah harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan duniawinya dan agamanya, serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
b. Sekunder, atau hajjiyah, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, misalnya madu dan susu.
c. Tersier, bersifat tahsiniyyah, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitar sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi terutama bagi tokoh atau pejabat yang sering mendapat sorotan di masyarakat.
c. Tidak membahayakan oranglain, yaitu tidak merugikan dan memberikan mudarat kepada orang lain, seperti merokok.
5. Kaidah lingkungan, yaitu konsumsi harus disesuaikan dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.
6. Tidak meniru atau mengikuti cara konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi Islami, seperti untuk bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta. (*)