BANDUNG, PASJABAR.COM — Pemerintah yang sedang berkuasa (rezim) tidak berpihak pada pemeliharaan Bahasa daerah. Hal tersebut diungkapkan dalam desertasi disampaikan Eriyanti Nurmala Dewi, yang berjudul “Implementasi Kebijakan Bahasa Daerah di Provinsi Jawa Barat, di hadapan sidang Promosi Doktor Ilmu Pemerintahan, Universitas Padjadjaran, kemarin (26/2/2019).
Dalam siaran persnya kepada Pasjabar, Rabu (27/2/2019), disebutkan jika Peraturan Daerah (Perda) bahasa daerah yang telah ditetapkan sebagai peraturan pemerintah diabaikan.
“ Dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat hanya empat kab/kota yang menindaklanjuti perda tersebut. Sementara provinsi selaku pelaksana perda, kedudukannya kurang powerful terhadap kabupaten/kota karena sama-sama berstatus daerah otonom. Kedudukan ini menyulitkan provinsi untuk mendesak pelaksanaan kebijakan pelestarian bahasa daerah di tingkat kabupaten/kota.” Ujar Eriyanti.
Sidang Promosi Doktor yang dipimpin Ketua Sidang Dr Wahyu Gunawan, Tim Oponen Ahli Prof. Cece Sobarna, MS, Dr. Rahman Mulyawan, MSi, dan Represnetasi Guru Besar Prof. Dr. Drs. H. Opan Suwartapradja, MSi, di laksanakan di Gedung A Lt 2 Pascasarjana Fisip Unpad.
Menurutnya, ada dua leading sector pelaksana perda di tingkat provinsi, yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat dan Badann Pengembangan Bahasa Daeran dan Kesenin (BPBDK) Jawa Barat yang berada di bawah Dinas Pendidikan Jawa Barat.
“Alih – alih kedua lembaga ini melaksanakan amanat perda, Pemprov Jabar malah menutup BPDK Jabar. Padahal, lembaga ini merupakan lembaga yang concern memberikan pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk guru-guru bahasa bahasa daerah yang jumlahnya masih sangat kurang,” tuturnya.
Dalam aspek penyusunan program pun, Eriyanti menilai, pelaksanaan perda belum efektif dan belum terarah. Selain belum sepenuhnya melibatkan masyarakat pencinta bahasa, hubungan intra organisasi pelaksana yakni BPBDK Disdik dan Disbudpar Provinsi Jawa Barat kurang berkoordinasi satu sama lain sehingga sering terjadi tumpang tindih pelaksanaan program yang mengakibatkan pelaksanaan program dan penggunaan anggaran kurang tepat sasaran.
Dengan kondisi seperti itu, lanjut Eriyanti, banyak dampak yang tidak mendukung terhadap upaya-upaya pemeliharaan bahasa daerah.
Seperti bahasa daerah belum menjadi bahasa pengantar dalam institusi pendidikan, belum terbentuknya badan pemeliharaan, penelitian, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah, belum terealisasinya pemasyarakatan aksara daerah, belum tercapainya pemberdayaan dan pemanfaatan media masa cetak maupun elektronik berbahasa daerah, serta belum terealisasikannya pengelolaan sistem komunikasi, dokumentasi, dan informasi tentang bahasa, sastra, dan aksara daerah.
“Jadi, alih-alih perda ini ingin memelihara bahasa daerah dari kepunana, malah belummampu menjadi pemecahan masalah bahasa daerah karena kebijakan belum mampumeningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahasa daerah sehingga tidak meningkatkan jumlah penuturnya,” ujarnya.
Atas dasar itu, penelitian ini menyarankan tiga hal yaitu, pertama Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu menyiapkan kebijakan hingga peraturan teknis pelaksanaan, agar kebijakan mudah dioperasionalisasikan, kedua faktor kapasitas SDM dalam kemampuan teknis dan manajerial harus ditingkatkan terus menerus sehingga dapat menentukan langkah – langkah strategis implementasi kebijakan.
Selain itu, perlu dibentuk kembali badan yang menangani pelestarian budaya dan bahasa yang bertugas menyusun perencanaan program dan anggaran dengan melibatkan berbagai unsur mulai dari komunitas pecinta budaya, para pendidik budaya dan bahasa daerah dan perwakilan masyarakat penutur bahasa daerah yang ada di Jawa Barat.
“Dan ketiga, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu melakukan identifikasi dan melakukan evaluasi secara periodik untuk memahami permasalahan dan mencari solusi perbaikan pelaksanaan kebijakan serta mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diinginkan.” paparnya.
Untuk pengembangan Ilmu Pemerintahan, Eriyanti menyarankan tiga hal, yakni perlu dirumuskan kembali kekuatan kedudukan organisasi berdasarkan hierarkhi sehingga implementasi kebijakan yang diterbitkan Pemerintah Provinsi dapat dipatuhi dan ditindaklanjuti pemerintah kabupaten/kota dalam wilayah administrasinya; perlu dikembangkan konsep manajemen implementasi kebijakan sebagai pedoman pemerintah dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang dikeluarkan, termasuk kebijakan bahasa daerah; dan perlu dirumuskan standar-standar baku sebagai dasar evaluasi dan ukuran keberhasilan kinerja pelaksanaan kebijakan.
Dalam penelitian ini, Eriyanti menggunakan model baru analisis kebijakan dengan menggabungkan beberapa teori dari para teoritisi. Model baru ini mengusung 5 faktor utama yang mempengaruhi kebehasilan implementasi kebijakan, yaitu policy substance, implementor, resource, envoriment policy, dan target group. Hasil sidang menobatkan Eriyanti dengan yudisium sangat memuaskan. (*/tie)