BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Divisi Pendidikan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) sekaligus Kepala Sekolah SLB plus Raharja Mandiri Tanjungsari kabupaten Sumedang Rofiqoheni SPd., MMPd., menyampaikan bahwa PANDEMI covid-19 menyebabkan hambatan yang tidak disangka-sangka terhadap kegiatan belajar mengajar.
Sebagian besar sekolah di Indonesia saat Ini ditutup dan jutaan murid terpaksa belajar secara jarak jauh. Namun dampak penutupan sekolah terhadap setiap anak dapat berbeda-beda.
“Bagi anak dengan disabilitas, yang sudah mengalami tantangan lebih berat, hal Ini secara khusus merugikan, pada tahun 2019, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional ( SUSENAS). Terdapat hamper 140.000 anak penyandang disabilitas usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah.” Terang Rufiqoh dalam talkshow “Belajar Mengajar Selama Pandemi Bagi Disabilitas” di Radio Sonata FM, Rabu (2/6/2021).
Selain itu, sambung Rufiqoh tidak semua anak dengan disabilitas dapat memanfaatkan solusi pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Sebagian besar dari mereka tidak memiliki dukungan, akses Internet, sarana teknologi, dan materi belajar yang dibutuhkan.
“Krisis saat Ini memang menimbulkan tantangan besar bagi anak dengan disabilitas dan keluarga mereka. Namun, Inilah peluang untuk mengatasi ketimpangan sistemik yang selama in! berlangsung di sektor pendidikan dan yang diperlihatkan secara nyata oleh pandemic. Sebelum pandemic, terdapat hamper 3 dari 19 anak dengan disabilitas di Indonesia yang tidak pernah bersekolah,” imbuhnya.
Sementara Itu, mereka yang bersekolah menunjukkan kesenjangan besar dalam capaian pendidikan. Hanya 56 persen anak dengan disabilitas yang menamatkan SD. Sebagai perbandingan, tingkat tamat SD pada kelompok anak tanpa disabilitas adalah 95 persen.
“Tanpa kegiatan belajar di sekolah, para murid terpaksa mengandaikan ponsel pintar, computer. Dan Internet agar tetap dapat berinteraksi dengan guru. Namun banyak keluarga, terutama yang berpendapatan rendah. Yang tidak mampu membeli kuota internet, gawai, dan tinggal di daerah dengan keterbatasan koneksi dan karenanya tidak bisa mengikuti PJJ ataupun mendapatkan informasi penting terkait COVID-19. Jika bisa diatasi, konektivitas yang merata dapat memberikan dukungan luar biasa bagi dunia yang lebih Inklusif,” tandasnya.
Di samping itu, sambung Rufiqoh P Penyiapan dan orientasi guru Inklusi harus menjadi bagian dari pendidikan guru. Selain pedagogic yang berpusat pada murid. Pelatihan juga dapat membantu guru-guru dalam bersikap terhadap anak dengan disabilitas. Guru juga dapat disiapkan mendukung keluarga dengan mendorong orang tua agar mengupayakan anak tetap berada di sekolah serta menyampaikan potensi kepada orang tua.
“Kelangkaan sarana prasarana dan materi belajar yang mudah diakses adalah hambatan besar bagi anak dengan disabilitas fisik, intelektual ataupun belajar. Desain prasarana sekolah yang universal, termasuk sarana akses bangunan, bahan bacaan, dan sarana sanitasi. Dapat membantu memenuhi pelbagai kebutuhan anak dengan berbagai jenis disabilitas,” paparnya.
Menurut sebuah survey terbaru. Sebagian besar orang tua yakni 80 persen menyatakan siap mengirim anak kembali ke sekolah.
“Banyak orang tua, dalam hal ini 90 persen yang percaya anak-anaknya bisa mengikuti protokol kesehatan. Namun banyak pula yang menyatakan bahwa sekolah perlu memiliki kebijakan yang jelas terlebih dahulu. Dalam hal protokol kesehatan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan anak. Anak dengan disabilitas harus lebih dilibatkan secara bermakna di program-program pembangunan. Program kebijakan produk atau panduan terkait disabilitas. Yang seharusnya disusun dengan melibatkan melibatkan anak anak penyandang disabilitas,” pungkasnya. (Tiwi)