BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Berita seputar korupsi menjadi makanan sehari-hari di media. Selalu menjadi perbincangan hangat yang tidak pernah mengalami kedaluarsa.
Selalu ada yang baru, Sehingga menyimpan tanya, mengapa korupsi terus terjadi di Indonesia? Apakah ada sistem yang salah atau hukumannya yang salah?
Pemerhati Komunikasi Publik Universitas Pasundan (Unpas), Dr H. Deden Ramdan MSi.CICP.DBA. menyampaikan bahwa hukuman tindak pidana korupsi diatur dalam UU No 31 tahun 1999.
Adapun Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 menyatakan, bahwa
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”
Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Kemudian penjelasan Pasal 2 Ayat (2) menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
“Hukuman maksimal bagi seorang koruptor bisa sampai hukuman mati, problemnya adalah berkaitan dengan subjektifitas dari para penegak hukum sendiri,” ujar Deden kepada PASJABAR, Rabu (5/8/2021)
Deden memberi contoh seperti adanya keputusan banding dan atau kasasi yang malah membuat narapidana tipikor mendapatkan pemotongan masa hukuman, dan hal ini sambung Deden menorehkan luka yang dalam bagi rasa keadilan publik
“Di satu sisi, korupsi ini menyengsarakan rakyat, karena dana yang semestinya untuk kebutuhan rakyat seperti dana bansos, dana untuk fasilitas publik dan lain-lain malah dikorupsi,” imbuhnya.
Maka dari itu, sambung Deden perlu ada efek jera, jangan sampai malah pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) mendapatkan hukuman yang ringan bahkan masih bisa hidup dengan nyaman di penjara dengan berbagai fasilitas seperti telepon genggam, laptop, kamar pribadi dan lain sebagainya.
“Harus ada efek jera, yakni memaksimalkan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dan yang ke dua dimiskinkan. Penegak hukum harus menelusuri kekayaan dari pelaku tipikor, seperti aset, rumah, mobil, jika memang hasil korupsi bisa langsung disita saja,” urainya.
“Jangan sampai, karena ada koneksivitas politik dan lain-lain, hukuman jadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, apalagi sampai menjadi komoditas permainan,” sambungnya.
Deden mengutarakan bahwa negara Indonesia bisa berkaca dari China yang sukses meredam korupsi dengan hukuman mati.
“Jika pemerintah Indonesia tidak mampu bersikap ajeg dalam menegaskan aturan yang dibuat. Maka masalah korupsi di Indonesia tidak akan pernah selesai,” tandasnya.
“Di Indonesia, pelaku tindak pidana korupsi banyak yang tidak melakukannya sendiri, dalam artian mengajak orang lain disekitarnya untuk melakukan korupsi istilahnya korupsi berjamaah,” tambah Deden.
Di sisi lain, terang Deden, saat ini dengan UU yang baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami pemangkasan kewenangan seperti misalnya untuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). harus mendapat izin dari Dewan Pengawas serta Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan
“Kalau dulu KPK berasal dari unsur NGO, tetapi sekarang KPK menjadi ASN. Sehingga menurut saya geraknya juga tidak leluasa. Peraturan-peraturan terkait KPK seakan terbatas,” tambahnya.
Deden mengungkapkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah seperti memasuki senjakala, yaitu aturan dan situasi tidak mendukung agar korupsi ini bisa diberantas dengan maksimal.
“Benar-benar langsung menghilangkan korupsi itu memang tidak mungkin, hal yang sulit namun yang paling penting bagaimana menekan angka tindak pidana korupsi tersebut,” ucapnya.
Terakhir Deden berharap bahwa Indonesia akan bebas korupsi, apalagi di tengah pandemi saat ini.
“Semoga Indonesia bebas korupsi, dan untuk mencapai hal itu, masyarakat harus memiliki kesadaran kolektif dan pengetahuan betapa jahatnya perilaku korupsi,” pungkas Deden. (tiwi)