JAKARTA, WWW.PASJABAR.COM — Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa Amaliah mengkritisi sikap pemerintah yang dirasa ngotot dan ngebut dalam memindahkan Ibu Kota Negara dengan anggaran hampir Rp500 triliun. Sedangkan menurut Ledia, ribuan guru honorer yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun, belum mendapatkan kepastian nasib kesejahteraannya.
“Miris sekali, ribuan guru honorer masih terkatung-katung nasibnya. Tahun berganti tahun, namun kesejahteraan dan kepastian status ketenagakerjaan mereka masih terabaikan. Sementara pemerintah malah sibuk mengedepankan nafsu memindahkan Ibu Kota sesegera mungkin. Sangat memprihatinkan,” tegasnya seperti dikutip PASJABAR dari laman dpr, Rabu (19/1/2022).
Persoalan guru honorer, tambah Ledia, bak sebuah drama berseri yang tak kunjung usai. Bertahun-tahun persoalan guru honorer di sekolah negeri maupun swasta, terus mendulang isu pedih dan kritik.
“Secara kesejahteraan, nasib mereka amat memprihatinkan karena hanya mendapat kisaran gaji puluhan hingga ratusan ribu rupiah per bulan. Karena itu para guru honor ini sangat mendambakan untuk diangkat menjadi PNS demi kejelasan status dan peningkatan kesejahteraan,” imbuhnya.
Namun, di sisi lain, jelas Ledia, pemerintah kemudian menghentikan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi guru mulai 2021. Sebagai gantinya, pemerintah meminta para guru honorer untuk mengikuti seleksi calon guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Muncul kegaduhan
Dalam perjalanannya, proses seleksi ini ternyata memunculkan kegaduhan. Mulai dari janji pembukaan seleksi satu juta guru pada akhir 2019 yang direvisi, persyaratan yang mengukur rata semua kriteria di masa awal pembukaan seleksi.
Proses pelaksanaan yang memunculkan kesulitan bagi para peserta seleksi, kriteria penilaian yang dianggap tidak adil, hingga ancaman ketidakadilan bagi sekolah swasta dan guru honorer tak lolos seleksi usai pengumuman kelulusan seleksi PPPK.
“Pemerintah nampak tidak matang dalam mempersiapkan proses seleksi PPPK ini. Selain beberapa bagian proses seleksi yang dianggap menyulitkan dan tidak adil, adanya kebijakan yang berubah, direvisi, bahkan buruknya komunikasi dengan Pemda yang membuat banyak Pemda tidak mengajukan formasi guru juga menjadi satu paket masalah yang harus sesegera mungkin dievaluasi pemerintah sebelum memutuskan seleksi tahap berikut di 2022 ini.” kata politisi PKS ini. (*/ytn)