PASPENDIDIKAN

Perspektif Konflik Buaya dan Manusia Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat Bangka

ADVERTISEMENT

BANGKA, WWW.PASJABAR.COM– Bangka Belitung adalah Provinsi yang dikenal dengan penghasil timah terbesar di Indonesia.

Aktifitas tambang timah di Bangka Belitung sudah dimulai dari masa lampau dan memiliki peran penting dalam tersedianya lapangan pekerjaan oleh banyak masyarakat di Bangka Belitung. Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka dimulai tahun 1711, di Pulau Singkep tahun 1812 dan di Pulau Belitung tahun 1852(Suryadi 2016).

Khususnya Masyarakat Pulau Bangka yang memanfaatkan sumber daya timah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Dengan semakin banyaknya kawasan yang dialih fungsikan menjadi lahan pertambangan timah.

Hal ini menyebabkan semakin banyaknya lahan dan aliran sungai yang rusak di pulau Bangka. Data menunjukkan bahwa sebagian besar sungai di Bangka dalam kondisi rusak dan kritis (Bangkapos, 19 April 2011).

Daerah aliran sungai merupakan salah satu tempat habitat dari berbagai macam spesies satwa liar. Salah satunya adalah satwa liar jenis Buaya Muara (Crocodilus porosus ) yang dimana sekarang ini habitatnya telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan timah masyarakat yang merusak ekosistem perairan tawar terutama ekosistem sungai.

Kerusakan habitat ini tidak hanya berdampak pada keanekaragaman jenis yang ada di ekosistem sungai namun juga berdampak kepada masyarakat yang berada dekat dengan aliran sungai. Karena rusaknya habitat satwa, memicu terjadinya konflik antara satwa liar dan manusia. Konflik satwa liar dan manusia merupakan suatu permasalahan yang kompleks, dimana dalam hal ini bukan hanya keselamatan manusia yang diutamakan tetapi juga keselamatan satwa liar itu sendiri (Lestari et al, 2020).

Akrivatas pertambangan timah tentunya menyebabkan ekosistem sungai menjadi rusak yang mengakibatkan hilangnya pakan alami buaya seperti ikan-ikan dan sebagainya.

Kerusakan habitat dan hilangnya sumber pakan alami satwa menyebabkan satwa menjadi terdesak dan mencari area jelajah baru.

Area jelajah buaya muara cukup luas, meliputi wilayah perairan seperti sungai, laut serta muara hingga beberapa ratus kilometer ke wilayah daratan (Ardiantiono et al, 2015).

Daerah aliran sungai ini merupakan sumber kehidupan bagi mayoritas masyarakat daerah karena banyaknya aktivitas masyarakat yang dilakukan di kawasan aliran sungai.

Aktivitas seperti mandi, mencuci, memancing dan menjaring ikan, hingga menambang umum dilakukan masyarakat di kawasan aliran sungai. Hal ini menjadi pemicu terjadinya konflik antara buaya dan masyarakat.

Maraknya konflik antara Buaya dan manusia tentunya harus ditanggulangi dengan diadakannya Mitigasi di kawasan yang telah terjadi konflik maupun kawasan yang berpotensi terjadinya konflik buaya dan manusia. Di beberapa Daerah yang ada di Pulau Bangka untuk mitigasi itu sendiri, masyarakat punya cara sendiri dalam menanggulangi konflik antara manusia dan buaya. Walaupun kearifan lokal yang dipercayai masyarakat belum bisa dikatakan sepenuhnya tepat dalam penanggulangan konflik yang terjadi, karena sifatnya yang normatif atau tidak tertulis, diduga banyak sekali kearifan lokal masyarakat yang belum diketahui, terutama dalam konteks ilmiah (Muslih et al, 2014).

Seperti Kearifan lokal yang ada di Desa Kayu Besi Kecamatan Sungailiat, upaya mitigasi yang dilakukan berupa kearifan lokal desa yang harus dipatuhi agar tidak menimbulkan terjadinya konflik.

Kearifan lokal tersebut berupa pantangan dan penangkapan hingga membunuh buaya yang mengganggu dan memangsa manusia yang mana hal-hal tersebut masih dipercaya dan dilakukan masyarakat desa hingga saat ini.

Namun tidak jarang juga ada beberapa oknum masyarakat yang melanggar pantangan tersebut.

Kearifan lokal yang ada di Desa Kayu Besi yaitu, pantangan membawa pisang dan telur ke kawasan perairan seperti sungai, kulong, dan muara, dan proses penangkapan dan membunuh buaya yang telah mengganggu dan memangsa manusia dilakukan oleh orang ahli buaya di desa yang disebut “Pawang”.

Pawang adalah orang yang memang turun temurunnya telah ahli dalam menangani buaya.

Dalam proses membunuh buaya pawang yang dipercayai masyarakat punya ritual tersendiri, dimana buaya yang terlibat dalam konflik akan dibunuh dengan cara memotong kepala buaya , untuk bagian kepala dan badan dipisahkan.

Setelah itu bagian kepala dan badan dikuburkan di tempat yang berbeda , hal ini dipercayai jika buaya tersebut adalah makhluk gaib yang menjaga sungai kawasan mereka.

Jika dikuburkan di tempat yang sama maka buaya tersebut bisa hidup kembali dan akan membalaskan dendamnya kembali.

Kearifan lokal yang dibuat dan dipatuhi oleh masyarakat desa tentu saja bertujuan untuk menghindarkan masyarakat desa dari gangguan dan serangan buaya yang dapat menyebabkan terjadinya konflik.

Namun, upaya tersebut belum tepat dan kurang optimal dikarenakan belum adanya kesadaran dari masyarakat untuk tidak merusak ekosistem perairan dan habitat buaya. Berdasarkan data hasil survei dan wawancara, belum adanya upaya mitigasi konflik yang tegas seperti pemetaan habitat buaya dan pemasangan tanda bahaya di habitat buaya.

Selain itu juga belum adanya upaya edukasi masyarakat terkait konflik satwa liar dan manusia di desa tersebut sehingga masyarakat belum terbuka tentang kondisi konflik buaya dan manusia serta upaya mitigasi yang dilakukan.

Walaupun dari segi kearifan lokal masyarakat sudah membuat peraturan yang harus diikuti dan memiliki tujuan untuk menghindari dari keganasan gangguan buaya yang menyebabkan konflik.

Namun seharusnya upaya Mitigasi yang sesuai dengan prosedur bisa diberikan kepada masyarkat.

Misalnya seperti pemasangan papan peringatan tentang kawasan yang didiami predator buaya. Hal ini perlu menjadi perhatian aparatur pemerintahan desa dan daerah agar dapat melakukan upaya-upaya pencegahan agar konflik antara buaya dan manusia bisa terminimalisir dengan baik.

Ditulis oleh Mahasiswa Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam
Fakultas Teknik dan Sains
Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Heri.

(*/tiwi)

Tiwi Kasavela

Recent Posts

Kalahkan Jakarta, Jawa Barat Kumpulkan 538 Medali di PON XXI Aceh – Sumut

WWW.PASJABAR.COM -- Jawa Barat resmi menyabet status sebagai juara umum di Pekan Olahraga Nasional (PON)…

8 jam ago

Mapag Hujan: Aksi Bersih Sungai Menyambut Musim Hujan di Kota Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Pemerintah Kota Bandung mengadakan kegiatan Mapag Hujan (Maraton Bebersih Walungan dan Susukan)…

9 jam ago

Jangan Sembarang Gula! Ini Jenis Gula yang Baik untuk Penderita Diabetes

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Dokter spesialis gizi klinik dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr.…

10 jam ago

Landak Jawa Ditemukan Berkeliaran di Jalan Padjadjaran Kota Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Seekor Landak Jawa ditemukan berkeliaran di kawasan Jalan Pajadjaran Kota Bandung. Hewan…

11 jam ago

Puluhan Pengungsi Gempa di Kertasari Mengeluh Sakit, Tim Medis Dikerahkan

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Akibat cuaca dingin, puluhan pengungsi di tenda pengungsian gempa Kertasari mengeluh sakit.…

11 jam ago

Dedi Mulyadi Ajak Paguyuban Pasundan Lakukan Ini di Jabar

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Politikus yang juga Calon Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, mengajak Paguyuban Pasundan…

11 jam ago