BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Kondisi muka air tanah di wilayah Bandung Raya semakin kritis ketersediaannya. Hal itu diungkapkan oleh Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi.
Dilansir dari ANTARA, Kepala PATGTL Badan Geologi Rita Susilawati mengatakan berdasarkan sumur pantau air, muka air tanah di Bandung turun menjadi sedalam 60-100 meter. Adapun kedalaman air tanah yang tergolong aman yakni sedalam 20-40 meter.
“Rata-rata air tanahnya turun itu menjadi (sedalam) 60-100 meter, jadi itu CAT (cekungan air tanah) Bandung Raya berkisar antara 60-100 meter, jadi ngebor sumur harus makin dalam,” ujarnya, Rabu (1/2/2023).
Rita menyebut pihaknya masih mengkaji penurunan permukaan tanah di Bandung Raya. Penurunan muka air tanah merupakan indikasi adanya penurunan permukaan tanah.
“Biasanya kalau air turun ya tanahnya turun, kita masih evaluasi data, indikasinya begitu,” katanya.
Berdasarkan analisisnya sejauh ini, wilayah yang muka air tanahnya masuk ke kategori rusak ada di wilayah Rancaekek, Leuwigajah, serta beberapa wilayah lainnya.
Penyebab Penurunan Muka Air Tanah
Dia menjelaskan, penurunan muka air itu antara lain disebabkan oleh konsumsi air masyarakat yang memanfaatkan air tanah. Selain itu, menurutnya adanya pemakaian air oleh industri di sebuah wilayah itu juga menjadi faktor muka air tanah menurun semakin dalam.
Sebelumnya, kata dia, izin memanfaatkan air tanah untuk selain kebutuhan air masyarakat ada di pemerintah daerah. Namun kini perizinan itu berada di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral yang menaungi Badan Geologi.
Sehingga ia memastikan pihaknya akan berhati-hati untuk memberikan izin pemanfaatan sumber air tanah dalam skala besar, khususnya di wilayah CAT Bandung Raya.
Dia pun mengaku bakal berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan moratorium terkait permasalahan air tanah yang semakin turun di wilayah Bandung Raya.
Rita tak menampik bahwa air merupakan kebutuhan primer untuk kehidupan masyarakat. Sehingga perlu kebijaksanaan guna mengatasi kondisi penurunan muka air tanah tersebut.
“Kalau di Jakarta kan moratoriumnya dilarang mengambil air tanah di daerah rusak, tapi di Jawa Barat itu belum dilarang karena setiap yang mengambil air tanah harus membangun sumur resapan. Cuma pembangunan sumur resapan itu belum dikaji efektivitasnya, apakah betul-betul menambah air tanah atau tidak,” pungkasnya. (ran)