BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Siapa yang tak kenal Abu Hurairah? Sosok yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi itu sampai saat ini dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak. Tidak kurang dari 5.374 hadis terekam baik dalam ingatannya sehingga sampai kepada zaman kita.
Secara harfiah, namanya berarti ‘bapak kucing’. Namun, sebutan itu begitu disukai Abu Hurairah sendiri, terutama sejak Rasulullah SAW memanggilnya dengan nama demikian. Dalam buku Para Sahabat Nabi SAW karya Dr Abdul Hamid as-Suhaibani, disebutkan penuturan Abu Hurairah sendiri mengenai asal muasal julukan itu.
“Dulu aku menggembala domba-domba keluargaku dan aku memiliki seekor kucing kecil. Pada malam hari, aku biasa meletakkan kucing tersebut di sebuah pohon, sedangkan pada siang hari aku membawanya pergi dan bermain-main dengannya. Maka, mereka memanggilku Abu Hurairah.”
Di antara kunci keberhasilan Abu Hurairah menuntut ilmu, adalah kedekatannya dengan Sang Mahaguru, Muhammad SAW. Rasulullah adalah sumber ilmu yang tak habis-habis tempat Abu Hurairah menimba pengetahuan dan rasa iman.
Sempat ada satu perkara yang memberatkan hati Abu Hurairah. Ibundanya tercinta masih menyembah berhala dan menolak beriman kepada Allah. Bahkan, pada suatu hari sang ibu mencerca Nabi SAW dengan kata-kata yang tidak pantas. Abu Hurairah segera menemui Rasulullah SAW dengan air mata kesedihan.
“Ada apa denganmu wahai Abu Hurairah? kata Nabi SAW. “Wahai Rasulullah, aku mengajak ibuku masuk Islam, namun beliau menolak. Ia mengucapkan kata-kata tentang dirimu yang tidak aku inginkan,” jawab Abu Hurairah.
Kemudian, Nabi SAW mengangkat kedua tangannya dan menggumamkan doa, Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah. Betapa sukacitanya Abu Hurairah dengan doa Nabi SAW. Bergegas ia kembali ke rumahnya.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Abu Hurairah menuturkan, “Aku pulang berlari. Dan, ternyata pintu rumah tertutup dan aku mendengar gemericik air. Kemudian, aku membuka pintu dan mendengar ibuku mengucapkan syahadat.”
Ucapan Nabi Muhammad SAW sering kali berbuah keberkahan. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu hari Rasulullah bersabda, Sesungguhnya tidak ada seseorang yang membentangkan kainnya di depanku hingga aku menyudahi kata-kataku, kemudian dia melipat kainnya itu kecuali dia mengingat apa yang aku katakan.
Mendengar Nabi SAW berujar demikian, Abu Hurairah membentangkan kain bergaris-garis miliknya hingga tepat ketika Nabi SAW menyelesaikan kata-katanya. Abu Hurairah melipat kainnya dan mendekapnya ke dada.
“Maka, aku tidak lupa sedikit pun dari kata-kata Rasulullah SAW tersebut,”kata Abu Hurairah mengenang.
Kedekatan yang begitu rutin dari Abu Hurairah terhadap Nabi SAW juga menjadi faktor utama di balik daya hafalnya dalam meriwayatkan ribuan hadis. Bahkan, diriwayatkan, ketika kaum Muhajirin sibuk dengan perniagaan di pasar, sementara di saat yang sama kaum Anshar sibuk bekerja di kebun-kebun, maka Abu Hurairah selalu menyertai Rasulullah SAW.
Karena itu, wajar bila Abu Hurairah mendengar apa yang belum didengar kaum Muslim dari Nabi SAW. Untuk kemudian, ia menghafal kata-kata dan tindakan Nabi SAW.
“Aku melayani beliau (Nabi SAW), berperang bersama beliau, dan menunaikan ibadah haji, maka aku adalah orang yang paling mengetahui hadis Nabi SAW. Demi Allah, sebelumku telah ada orang-orang yang menyertai Nabi SAW. Mereka mengetahui kedekatanku dengan beliau, maka mereka bertanya kepadaku tentang hadis beliau,” kata Abu Hurairah.
“Demi Allah, tidak ada satu pun hadis di Madinah yang samar bagiku. Di samping itu, Abu Hurairah juga terpantik oleh surah al-Baqarah ayat 159-160, yang secara garis besar menegaskan laknat Allah bagi mereka yang menyembunyikan kebenaran.”
Meski sebagai sahabat Nabi SAW yang berilmu luas, Abu Hurairah hidup sangat bersahaja. Bahkan, ia tidak jarang menghadapi saat-saat sulit dan kelaparan selama menimba ilmu. Abu Hurairah merupakan salah satu golongan Shuffah.
Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Shuffah adalah tempat berteduh di Masjid Nabawi yang dikhususkan bagi kaum miskin semasa Nabi SAW usai berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Mayoritas penghuninya berasal dari kaum Muhajirin. Sebagai informasi, orang-orang yang menyertai Nabi SAW berhijrah itu kebanyakan hanya pandai berdagang dan meninggalkan semua hartanya di Makkah.
Sementara, penduduk Madinah, yakni kaum Anshar, pada umumnya pandai bertani. Shuffah dimaksudkan agar kaum Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan bisa mendapatkan uluran bantuan.
Abu Hurairah menceritakan kelaparan berat yang dirasakannya pada suatu kali. Namun, ia tetap bersabar. Apalagi, Baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya juga hidup dalam kondisi yang tidak berbeda dengan golongan Shuffah.
Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar dan mengikat batu di perutku, kata Abu Hurairah seperti dikutip dari Al-Bidayah wa an-Nihayah.
Pada tahun 59 Hijriyah, Abu Hurairah wafat lantaran sakit. Seluruh umat Islam, khususnya penduduk Madinah, berdukacita atas kehilangan seorang ulama dan pengamal zuhud yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Hurairah hidup sekitar 50 tahun sesudah Rasulullah SAW.
Sebagai perawi hadis, Abu Hurairah tidak mengharapkan apa-apa selain ridha Allah Ta’ala. Dia bersikap zuhud terhadap dunia. Ia merupakan salah seorang sahabat pendidik yang berhasil menumbuhkan semangat keilmuan generasi tabiin dan tabi’-tabiin.