BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Wacana revisi Undang-Undang atau UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau TNI bakal bergulir di DPR.
Revisi UU TNI ini tercantum dalam jadwal acara rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR masa sidang V tahun sidang 2023-2024 periode 14 Mei-11 Juli 2024.
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin menjelaskan ada empat poin penting yang bakal dibahas dalam revisi UU TNI tersebut, yakni status TNI, usia dinas atau masa pensiun, status hubungan TNI dengan Kementerian Pertahanan dan soal anggaran TNI.
“Perihal substansi revisi pasal 47 ayat 2. Dalam pasal tersebut, dari yang semula prajurit aktif hanya dapat di tugaskan di 10 lembaga yaitu : Kemenkopolhukam, Sekretaris Militer, Kemenhan, Sandi Negara, Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Basarnas , Wantanas, Lemhanas dan Mahkamah Agung, kemudiani ditambah frasa kementrian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden,” beber Hasanuddin, saat dikonfirmasi media, Minggu (2/6/2024).
Hasanuddin mengatakan frasa tambahan diatas sebetulnya sudah sesuai dengan aturan perundang undangan yang ada.
Yakni, pertama, presiden adalah kepala negara dan juga kepala pemerintahan plus sebagai penguasa tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dan ini diatur dalam Pasal 10 UUD 1945.
“Karenanya, penempatan prajurit TNI aktif di Kementerian/lembaga mana saja oleh presiden harus dimaknai sebagai pelaksanaan wewenang konstitusional yang sah. Selain itu, kemampuan akademik para prajurit TNI saat ini juga sudah jauh berbeda jika dibandingkan 20-30 tahun yang lalu sejak UU no 34 / 2004 itu dibentuk,” ucap politisi PDI Perjuangan ini.
Kedua, lanjut Hasanuddin, wewenang presiden sesuai pasal 14 UU no 3 tahun 2002 tentang pertahanan adalah pengguna kekuatan (gun kuat).
“Artinya, kebijakan presiden untuk menempatkan prajurit TNI aktif di manapun guna memperkuat pertahanan negara melalui penguatan lembaga lembaga pemerintahan adalah hal yang sah,” jelasnya.
Terkait kecurigaan akan bangkitnya Dwi Fungsi ABRI, menurut Hasanuddin, sudah ada beragam aturan perundang-undangan yang membatasi bangkitnya kembali Dwi Fungsi ABRI.
Dalam UU no 34/2004 tentang TNI pasal 2 secara jelas disebutkan bahwa TNI dilarang berpolitik praktis.
“Di era orde baru prajurit TNI aktif bahkan dapat di tempatkan sebagai ketua partai tertentu. Saat ini sudah tidak boleh, aturannya jelas, TNI aktif tidak boleh berpolitik praktis,” cetusnya.
Lalu, kedua, dalam UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu beserta peraturan KPU yang menjadi turunannya menyebutkan bahwa prajurit TNI aktif yang akan ikut pemilu legislatif atau pilkada diwajibkan untuk mundur terlebih dahulu sebagai prajurit TNI dan tidak bisa kembali ke TNI.
Keberadaan peraturan ini tidak memberikan celah lagi seperti di era orde baru, ketika prajurit TNI aktif dapat di tempatkan di lembaga legislatif dan eksekutif dengan penunjukan.
“Di era orba , sebanyak 100 orang prajurit ABRI aktif ditempatkan oleh pemerintah sebagai anggota Fraksi ABRI di DPR RI. Kemudian posisi menteri, dirjen, gubernur , bupati dan walikota dapat dijabat oleh TNI aktif juga dengan mekanisme penunjukan. Dengan UU yang ada sekarang, praktek dwifungsi sudah tak bisa dilakukan lagi,” ujar Hasanuddin.
Ketiga, dalam pasal 47 juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan dalam butir 3 dan 4, yang isinya menyebutkan bahwa penempatan prajurit TNI aktif wajib harus berdasarkan permintaan kementerian/lembaga yang membutuhkan dan tunduk pada aturan yang berlaku di Kementerian/lembaga tersebut.
Artinya, imbuh Hasanuddin, aturan penempatan prajurit TNI sangat ketat dan tidak sembarangan.
“Harus ada permintaan dari pimpinan Kementerian/lembaga dahulu kemudian Ketika ditempatkan maka prajurit TNI harus tunduk pada aturan yang berlaku di Kementerian tersebut,” bebernya.
Lebih lanjut Hasanuddin mengatakan perihal revisi UU TNI pasal 53 ayat 1 mengenai usia dalam dinas keprajuritan.
Untuk para perwira maksimum semula 58 tahun diubah menjadi 60 tahun, sedangkan untuk bintara dan tamtama maksimum menjadi 58 tahun. “Menurut saya, hal ini sudah sesuai kebutuhan dan aturan perundang-undangan lain tentang usia aparatur negara dalam pasal 55 UU no 20 tahun 2023 tentang aparatur negara,” tuturnya.
Secara strategis, kata Hasanuddin, batasan usia diatas juga masih kompatibel dengan perkembangan teknologi alut sista yang semakin canggih.
Selain itu, lanjutnya lagi, satuan di TNI juga berbeda beda, ada satuan teritorial, satuan tempur, staf, pendidikan dan lain lain.
“Sehingga penempatan nya dapat disesuaikan dengan umur dan kesehatan prajurit yang bersangkutan,” ujarnya
Meski begitu, Hasanuddin menyoroti perihal revisi pasal 53 ayat 2.
Ia menegaskan, untuk jabatan fungsional sampai usia 65 tahun sebaiknya dipertimbangkan ulang.
“Bila tenaga prajurit ini masih di butuhkan sebaiknya dialihfungsikan menjadi apartur sipil negara, contoh apabila tenaganya masih dibutuhkan sebagai tenaga pengajar di lingkungan Perguruan Tinggi , atau peneliti/analis utama di lembaga tertentu sebaiknya alih status saja dan ini sudah ada aturan perundang undangannya,” pungkasnya. (tie)