Oleh: Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sulit bagi suatu perusahaan media untuk mampu mencapai eksistensi yang melekat kuat dan bahkan menjadi bagian integral dari entitas kultural. Barangkali, Harian Umum Pikiran Rakyat adalah salah satu —untuk tidak menyatakan satu-satunya— dari segelintir media yang kemudian terkait erat kehadirannya dengan ”keberadaan” identitas budaya wilayah geografis yang merepresentasikan etnis tertentu.
Dalam usia mencapai 50 tahun pada 24 Maret 2016, Pikiran Rakyat atau cukup disebut “PR” saja, telah, masih, dan akan terus menjadi bagian dari identitas masyarakat Provinsi Jawa Barat. Ibarat memakan nasi bagi masyarakat kita, walaupun sudah memakan apa pun kalau belum terisi nasi ya bukan makan namanya. Pun begitu tatkala kita membaca koran ”PR” dan menjadi kebiasaan yang melekat setiap hari selama tahunan, belasan, hingga puluhan tahun, membuat kita merasa belum membaca koran walaupun sudah menghabiskan waktu membaca koran lain.
Sampai saat ini, kami sekeluarga mengutamakan Harian ”PR” sebagai sumber bacaan. Memang, anak-anak saya yang muda kelihatannya sudah jarang menyentuh koran. Akan tetapi, dalam benak mereka tetap melekat brand kuat bahwa surat kabar keluarga mereka adalah Pikiran Rakyat. Ini karena mereka yang berusia 40 tahun ke atas pastilah memiliki keterikatan kuat dengan surat kabar ini yang meneruskan “tradisi” membaca ”PR” dari orangtua sebelumnya.
Bagi saya, tanpa harus meninggalkan jati diri dan nilai-nilai kultural yang sudah sedemikian melekat, “PR” tetap bisa mengupayakan diri agar dapat diterima oleh pasar anak muda. Kuncinya adalah mau mengikuti tren teknologi dan menyinergikannya dengan budaya korporasi yang sudah lama terbentuk. Nilai-nilai kearifan lokal yang terus-menerus direvitalisasi agar cara penyampaiannya menyesuaiakan dengan kondisi zaman.
Ikatan kuat antara ”PR” dan saya dimulai sejak 1980-an ketika saya mulai berinisiatif menulis artikel di surat kabar yang pada tahun-tahun tersebut begitu digdaya di Provinsi Jawa Barat. Awal mengirim artikel ke ”PR” tidak langsung bisa dimuat, beberapa ada yang dikirimkan kembali dengan catatan di sana-sini. Tak membuat saya berhenti dan kurang semangat. Saya mencoba mengirimkan dulu ke surat kabar yang juga sempat ”dibina” oleh “PR” yakni Mandala dan ternyata dimuat. Hal ini membuat saya semakin tertantang.
Masuk tahun 1990-an seiring dengan kompetensi akademik yang juga meningkat saya pun mencoba menulis artikel di Pikiran Rakyat. Alhamdulillah, gayung bersambut, sejak pertama kali dimuat ke sananya terasa jauh lebih mudah. Tulisan atau artikel saya kemudian sering “nampang” di Pikiran Rakyat. Saya akui, peran besar mendiang Setia Permana (salah seorang dosen Unpas, Ketua KPU, dan anggota DPR) juga berkontribusi pada keterikatan saya dengan ”PR”. Lewat beliaulah saya tertantang menulis dan kemudian berkenalan dengan girang rumpaka (redaksi) Harian Pikiran Rakyat.
Bagi saya bukan perkara dapat honorarium dari menulis di Pikiran Rakyat tetapi justru salah satunya berkat tulisan saya di koran terbesar di Jawa Barat ini saya pun jadi ikut beken. Yang paling membanggakan dan membahagiakan adalah saya mampu dengan efektif menyosialisasikan ide dan pemikiran saya bagi warga Jawa Barat dari berbagai tulisan yang saya buat. Saya pun jadi banyak ”bersilaturahmi” dengan banyak tokoh karena artikel-artikel saya itu. Salah satunya, misalnya, dengan mantan Bupati Kuningan Bapak Aang Hamid Suganda. Ketika pertama kali bertemu beliau mengatakan, ”Biasa sok tepang di ‘PR’.” Maknanya adalah beliau terbiasa “bertemu” saya karena sering membaca tulisan saya di “PR”.
Memang, banyak media massa bahkan dengan jenisnya masingmasing. Selain media cetak ada juga media elektronik seperti televisi. Akan tetapi, salah satu keunggulan media cetak adalah halaman yang terdokumentasikan lebih lama. Walaupun mungkin saya juga pernah tampil dalam pemberitaan di televisi tapi karena karakternya yang sekilas orang akan lama mengenali. Berbeda dengan tulisan di koran, jauh setelah waktu terbitnya kita masih dapat membaca dan menyimak isinya yang telah terdokumentasikan.
Bagaimanapun, “PR” memang tidak akan akan dapat dipisahkan dari denyut nadi dan batin masyarakat Jawa Barat. Teknologi informasi betul akan semakin berkembang dan kita memang harus dapat mengadopsinya, termasuk ketika kita masuk ke era serba digital saat ini. Namun, tetap saja, tanpa ikatan batin antara media dan pembacanya, tidak akan tercipta sinergi yang harmonis dan merentang dari zaman ke zaman.
Kalaupun saya diizinkan memberi sumbangsih secuil saran, Pikiran Rakyat diharapkan meningkatkan kepedulian dalam kaitannya dengan pemberitaan ataupun tulisan opini yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat Sunda. Bukan dalam arti menghidupkan primordialisme, tetapi justru keniscayaan bagi surat kabar yang besar dan berkembang di wilayah geografis dengan dukungan mayoritas masyarakatnya. Ke depan semoga ””PR” semakin berkiprah dan memberikan kontribusi nyata bagi pencerahan berpikir masyarakat serta kian menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat. (han)