Oleh: Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Kota Bandung, seperti halnya kota-kota besar di Indonesia maupun di dunia, menghadapi masalah global perkotaan, yang menyangkut persoalan kependudukan, tata ruang, kesenjangan sosial, dan persoalan lainnya. Jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 1999 saja sudah mencapai lebih dari 2,5 juta jiwa (Data Suspenas 1999), dengan luas wilayah 16.729,65 hektare, serta dengan tingkat kependudukan sekira 149 jiwa per hektare. Sementara itu, implikasi yang ditimbulkan aktivitas penduduk comutter, yang berasal dari daerahdaerah di sekitar Kota Bandung dengan berbagai kebutuhan dan keperluannya, mengakibatkan pada siang hari jumlah penduduk Kota Bandung membengkak menjadi sekira 3 – 3,5 juta jiwa.
Bandung, dengan gambaran demografis di atas, menjadi kota yang paling cepat tingkat pertumbuhannya. Hal ini, ditandai dengan tingginya tingkat pertambahan penduduk yang diperparah dengan besarnya tingkat urbanisasi, ketersediaan aktivitas ekonomi yang berskala modal besar seperti industri, ketersediaan sarana komunikasi, dan transportasi yang lengkap dalam menunjang tingkat mobilitas sosial yang tinggi, adanya tingkat kompetisi yang mengakibatkan orang termotivasi untuk memperoleh kemajuan, serta dimilikinya sarana pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Faktor-faktor tersebut, pada akhirnya mengkonstruksi imej, bahwa Bandung memiliki pesona kota yang cukup menjanjikan. Hal tersebut, didorong pula oleh keberadaan basis sosial budaya Sunda yang memengaruhi aktivitas sosial Bandung, dengan filosofi someah hade ka semah yang sangat kuat digenggam oleh masyarakat (lokal) Bandung, menjadikan Bandung sebagai kota yang pikabitaeun kaum pendatang.
Dari sekian banyak persoalan yang melilit Kota Bandung saat ini, tampaknya yang paling serius pada tingkat kecepatan tumbuh dan berkembangnya lingkungan perkotaan, adalah bersumber pada kecepatan pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Persoalan pertambahan penduduk yang tak terkendali tersebut, ternyata lebih banyak diakibatkan oleh persoalan urbanisasi yang semakin tinggi jumlahnya dari tahun ke tahun.
Pembuatan kompleks pemukiman baru di Kota Bandung tidak lantas memecahkan persoalan pemukiman warga kota. Tetapi, terkesan seperti untuk menyiapkan warga di luar Bandung atau menyediakan fasilitas perumahan bagi kaum urban, karena mereka lebih memiliki kemampuan untuk memiliki dan mendapatkannya. Ini artinya, ada proses penegasian secara terselubung terhadap eksistensi warga kota itu sendiri, dalam konteks hak mendapatkan perumahan yang memadai.
Dengan demikian, diperlukan sebuah formulasi kebijakan yang mampu memberikan dorongan dan prioritas bagi warga kota untuk mendapatkan fasilitas perumahan, agar proses peminggiran warga asli tidak terjadi. Selanjutnya, tingkat urbanisasi yang tak terkendali, buat Kota Bandung sendiri dampaknya akan mengalami proses ruralisasi. Terminologi rural di sini, sesuatu yang menunjuk pada sikap mental dan cara pandang Individu yang berkarakter agraris (desa), yang tidak memiliki kemampuan mengikuti alur perubahan yang demikian cepat dan kesiapan mentalitas kompetisi, yang ada dalam kehidupan kota.
Adanya proses ruralisasi yang terjadi di Kota Bandung akibat over urbanisasi, mengakibatkan Kota Bandung setiap tahun mendapat beban yang makin berat. Sebab fenomena ruralisasi, menyuguhkan gambaran kian panjangnya deretan orang-orang yang “terbantai” dalam realisasi kehidupan kota yang sangat kompetitif. Sehingga solusinya, mau tak mau, Pemerintah Kota Bandung, harus melakukan antisipasi membludaknya arus urbanisasi dengan cara menerapkan seleksi secara ketat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Dalam kaitan ini, sosiolog, Robert Cook, pernah mengatakan ledakan penduduk tak kalah dahsyatnya dibanding ledakan bom atom. Populasi orang-orang yang kurang pendidikannya yang lebih besar ketimbang yang berpendidikan pada akhirnya, bagai kota yang tengah menyimpan “bom waktu” yang akan menghancurkan tatanan kota itu sendiri. Untuk mengantisipasinya, Daldjoeni (1986) mengajukan usul agar perencanaan dibuat secara.cermat. Setelah diadakan riset yang sistematis diusahakan langkah-langkah, pertama, analisis struktur penduduk, masalah pertumbuhan dan penumpukannya berdasarkan persebarannya secara geopolitis. Jika telah ditemukan penyebabnya, dapat ditentukan berapa besar jumlah penduduk yang optimal. Untuk menuju ke arah sana, penghambatan perkembangan penduduk dapat diteliti lebih lanjut.
Kedua, penelitian tentang akibat: akibat dari konsentrasi penduduk di perkotaan yang terdiri atas masalah persediaan air, pencemaran udara, sampah kota, dan akses dari kemajuan lalu lintas. Ketiga, sehubungan dua hal di atas perlu diteliti juga kemungkinan teknis dan organisatoris masyarakat untuk mengurangi, lebih baik lagi menghapuskan penderitaan manusia akibat peradaban kota.
Masalah yang tidak bisa di pandang sepele adalah kondisi sosial budaya yang memungkinkan terjadinya konflik dan kerusuhan massal. Konflik antarwarga bisa terjadi karena masalah primer sebagai berikut: pertama, merasa terdesaknya akses, kekuatan, dan sumber daya kelompok tertentu.
Kedua, keterdesakan itu lebih dirasakan karena persaiangan yang dianggap “tidak sehat”. Ketiga, penguasa baru atas akses dan sumber daya dikuasai “para pendatang”. Keempat, stereotipe negatif yang ada tentang pendatang dan penduduk asli, atau tentang satu suku, pemeluk agama terhadap suku atau pemeluk agama lain.
Adapun kondisi sosial budaya sekunder yang bisa menimbulkan konflik atau kerusuhan, yang sepintas lalu memang tidak langsung berhubungan dengan konflik komunal dan kerusuhan massal adalah, rasa keadilan masyarakat setempat yang tidak terpenuhi, aparat pemerintah yang memihak atau mengutamakan salah satu kelompok, dan kesadaran akan kesatuan bangsa yang masih lemah.
Bandung di tahun 1970-an, budaya Sunda begitu dominan dalam aktivitas sosial masyarakat Bandung, bahkan struktur sosial pada tingkat bawah hingga tingkat atas diperuntukkan bagi dan dikuasai oleh orang Sunda. Dalam kehidupan sehari-hari di pasar-pasar, di terminal, di stasiun, dan tempat-tempat umum lainnya kebudayaan Sunda adalah acuan utama dalam proses interaksi secara patuh dan diungkapkan dalam bahasa Sunda sebagai bahasa umum yang berlaku setempat.
Para pedagang dari berbagai suku bangsa yang hidup di Bandung, cenderung menjadi seperti orang Sunda atau menjadi orang Sunda, terlebih jika pendatang tersebut beragama Islam. Hal ini karena nilai-nilai budaya Sunda identik dengan ajaran Islam. .
Demikian pula dengan konsep kesundaan, orang Sunda lebih terbuka. Sunda dan kesundaan tidak harus ditentukan oleh ikatan hubungan darah -sebagaimana didefinisikan Fredick Barth, yakni bertumpu pada “rasa?” atau perasaan ethnic culture, ethnic groups, dan ethnic identity.
Mencermati fenomena melemahnya budaya dominan Bandung, dan terjadinya kasus “Cimol”, nampaknya diperlukan perangkat peraturan yang mengatur tentang interaksi sosial yang berlangsung di masyarakat. Untuk menumbuhkan daya rekat sosial Kota Bandung, maka langkah yang harus ditempuh, mau tak mau, harus melakukan revitalisasi etos budaya Sunda, dengan terus mengembangkan filsafat saling ketergantungan interdependensi (paradigma silih asih, silih asuh, dan silih asah).
Silih asih, silih asuh, dan silih asah merupakan lambang integrasi, lambang kesetaraan, dan lambang pembaruan menuju peradaban.
Bukankah kebudayaan nasional pun, dituntut dan harus mengarah kepada perwujudan seperangkat lambang yang dapat memperkuat ‘ persatuan dan kesatuan bangsa (integrative symbol), kedaulatan dan kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain (symbol of eguality), dan mampu merangsang kreativitas pembaruan menuju peradaban (symbol of modernization).
Dalam perspektif psikologi kota, secara umum pada kota-kota besar. terdapat persoalan yang sama, diakibatkan oleh pengaruh kehidupan metropolis yang menantang setiap orang untuk berpacu dengan waktu, mengejar target-target tertentu, dan upaya untuk ‘ memenangkan kompetisi yang sangat kuat, bahkan terkadang atau sering .menegasikan pertimbangan moral. Semua itu, menyebabkan manusia kota diliputi rasa was-was, tegang, gelisah, dan terus menerus dicekam kecemasan.
Bagi yang tersingkir dalam arena persaingan tersebut dan tidak mampu mengatasi masalah di lingkungan kerja atau usahanya akan sangat “mudah terkena stres, bahkan sangat mungkin terkena depresi karena proses kristalisasi beban yang harus ditanggung. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan beradaptasi dan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi setiap saat dengan sedemikian cepatnya.
Data Studi Psikiatrik Biologis (SPB) Jakarta mengungkapkan, pada saat ini ribuan eksekutif di kota-kota besar di Indonesia, memiliki kecenderungan terkena penyakit-penyakit kecemasan atau kepanikan (anxiety panic disorder). Para eksekutif ini, yang termasuk kategori kelas menengah ekonomi ke atas tidak merasakan ketenangan dari hidup yang selama ini mereka jalani, akibat berbagai kesibukan aktivitasnya, bertumpuknya pekerjaan, target-target keuntungan perusahaan yang harus dicapai, keharusan dimilikinya kemampuan menaklukkan kompetitor, dan tunggakan kredit yang harus dibayar.
Kemacetan-kemacetan lalu lintas yang harus dihadapi setiap saat, kekhawatiran di PHK atau di mutasi dari posisi kerja yang telah mapan dan sederet alasan kecemasan lainnya. Kesemuanya makin mengkristalkan kegelisahan dan ketegangan yang terus terjadi, yang dapat berujung pada terjangkitnya “penyakit” stres.
Dalam catatan WHO (World Health Organization), stres adalah galah satu penyakit kematian terbesar di dunia. Di negara-negara berkembang stres bahkan merupakan pembunuh dengan statistik mencapai angka 30-40%.
Gambaran kondisi psikologis manusia kota seperti itu, menyebabkan kota dalam kumunitas sosialnya memiliki tingkat sensitivitas emosi yang lebih tinggi, yang sangat mudah memicu gesekan sosial.
Dalam filsafat kota dikenal dengan apa yang disebut dengan “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para “pembenci kota” terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi berbagai kebobrokan kehidupan kota dan terlempar dari arena kompetisi kota yang sangat ketat. Kota akhirnya mereka pandang sebagai arena yang sangat mungkin untuk dijadikan aktualisasi sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya.
Sementara para “pencinta kota” lebih memandang kota sebagai arena strategis untuk melepaskan belenggu kemiskinan dan kebodohan serta ajang meningkatkan kualitas diri, dengan ketersediaan fasilitas yang lebih mendukung, sembari memberi aktualitas diri dengan kontribusi yang mereka berikan untuk membangun kota dan kehidupannya yang diharapkan.
Sebab itulah untuk menyembuhkan penyakit kota diperlukan tiga faktor. Pertama, secara relatif arus urbanisasi harus diantisipasi atau dihentikan. Kedua, kesadaran penduduk akan masalah-masalah kota perlu dibangun dan ditingkatkan melalui pelbagai sarana komunikasi. Dan ketiga, mengerjasamakan kemampuan berbagai ilmu dan teknologi yang mencakup riset, komputerisasi, sistem informasi, teori, simulasi, dan pengenalan komunikasi.
Dalam upaya mengoptimalkan pemberdayaan potensi lokal (nature) Kota Bandung dalam mengonstruksi pembangunan berorientasi kemuliaan, maka harus mampu mengidentifikasi potensi komunal Bandung, sesuai dengan karakteristik dan dukungan potensi yang ada.
Dalam hal ini, Ginandjar Kartasasmita (1986) mengungkapkan, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah bawa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yag dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian masyarakat itu akan punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan memotivasikan dan membangkitkan. kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau “daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain penciptaan .iklinv dan suasana. Penguatan ini melingkupi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang belaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.
Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus di lihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Konsep pemberdayaan masyarakat seperti diuraikan di atas adalah sebuah konsep yang relatif baru. Sebuah konsep yang tidak mengasumsikan pembangunan sebagai sebuah arena, yang memberikan kesempatan seluasluasnya kepada birokrasi yang biasanya lebih berorientasi pada “projek”, sehingga memosisikan secara pasif masyarakat dalam proses pembangunan, serta menciptakan ketergantungan bukan kemandirian atau merupakan sebuah konsep pembangunan yang paternalistik di mana birokrasi berfungsi sebagai tangan yang memberi (patronizing hands), melainkan menumbuhkan partisipasi dan kemandirian masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan, bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa saja yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.
Memberdayakan dapat dikatakan sebagai pembangunan power atau daya menurut pengertian Anthony Giddens, yaitu “Transformative capacity of human action : the capability of human beings to intervence in a series events so as to alter their course”.
Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan lebih besar akan kemampuan dirinya. Masyarakat akan memiliki mentalitas yang tidak lagi mudah menyerah kepada nasib, serta mengintrepretasikan kemiskinan sebagai sebuah takdir yang bisa diubah. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan warga masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaruan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya.
Melalui proses budaya itu pula keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan dengan demikian akan makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melalui proses spiral itu, akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena konstelasi kekuasaan sudah dibangun di atas landasan pemerataan dan keadilan.
Partisipasi masyarakat menjadi sangat penting karena semua potensi masyarakat akan tergali dan termanfaatkan. Kata kuncinya memang partisipasi yang nyata. Masalah Bandung harus ditampilkan dan dipikirkan sebagai masalah bersama “lintas warga”. Sebab, asumsi yang selama ini dikembangkan menangani dampak yang ditimbulkan oleh kesemrawutan Tata Umum Ruang Kota, adalah hanya warga miskin.
Semua penduduk pun terkena dampak angkutan umum yang tidak laik, baik pelayanannya maupun manajemen transportasinya, kemacetan lalu lintas yang ditemui setiap saat, atau persoalan sampah yang belum tumbuhnya kesadaran dan disiplin masyarakat dalam membuang sampah. Potensi lokal Bandung yang paling substansi, adalah terdapat pada etos sosial budaya Sunda yang harus terus menerus diberikan ruang untuk senantiasa menapasi aktivitas sosial masyarakat Bandung.
Budaya Sunda harus menjadi inspirasi budaya yang paling dominan. Secara faktual sosiologis, Bandung hingga hari ini, meskipun tidak berada dalam kondisi yang diharapkan dan diidealkan, menjadi sebuah kota yang masih terjaga harmoni sosialnya. Dari sisi ini, Bandung sesungguhnya telah memiliki nilai awal (entry point) yang sangat berarti untuk mewujudkan kota yang berorientasi kemuliaan, yang selanjutnya harus diikuti oleh ketertiban dan keteraturan pada konteks lainnya.
Dengan demikian, potensi budaya Sunda sebagai acuan etos dan interaksi sosial harus terus dipupuk. Dalam budaya Sunda, kemunculan simbol identitas kesundaan misalnya, mengonstruksi sebuah perilaku, adat-istiadat, dan tatanan sosial yang tidak membentuk eksklusifisme, namun tetap menggambarkan adanya keterbukaan dan keramahan. Pengembangan potensi lokal (nature) pembangunan Kota Bandung Insya Allah akan memantapkan masyarakat Bandung yang ramah, toleran, dan inklusif yang merupakan wajah asli Sunda.
Selamat Pak Wali Kota yang telah mengantarkan Kota Bandung menjadi lebih baik, dan selamat hari jadi ke 195 tahun Kota Bandung. (han)
KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPP PKB, Cucun Syamsurijal mengatakan jika pesta demokrasi (Pilkada)…
WWW.PASJABAR.COM -- Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memberikan pernyataan terkait peluang kiper Como 1907, Emil…
WWW.PASJABAR.COM -- Insting Shin Tae-yong sebagai pelatih terbukti dengan memasang Marselino Ferdinan sebagai starter saat…
KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Banjir kembali melanda Dayeuhkolot dan Bojongsoang meski sudah dibangun berbagai infrastruktur…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengungkapkan bahwa guru adalah pahlawan sejati dalam pidatonya…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah menyelesaikan pendistribusian logistik Pilkada Serentak…