HEADLINE

Aweuhan Pasundan: Bagian I Politik & Geopolitik “Demokrasi Tanpa Korupsi”

ADVERTISEMENT

Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.

Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si. (foto: pasjabar)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Demokrasi di mana pun adalah suatu proses. Dia bukan sesuatu yang taken for granted, tak terkecuali di Indonesia. Di negeri ini, demokrasi politik masih butuh waktu panjang untuk dibuktikan, terlebih jika ia dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan bangsa.

Salah satu hal yang paling krusial secara ekonomi yang pada gilirannya memengaruhi terhadap demokrasi politik, adalah korupsi. Korupsi ini telah semakin sistemi yang tak berhenti sejak pemerintahan Orba berakhir. Bahkan kini KKN bukan hanya terjadi di pemerintah pusat. Tapi sejalan dengan berjalannya era otonomi daerah, KKN menyebar ke lembaga eksekutif, swasta, legislatif dan judikatif di daerah. Meskipun diakui bahwa, terdapat kemajuan lumayan dalam pemberantasan korupsi sejak pemerintahan SBJ-JK terakhir ini, namun itupun belum bersifat sistematis dan menyentuh skala lebih luas.

Meskipun belum cukup memuaskan, ada langkah-langkah yang berarti seperti adanya buronan kakap yang diciduk, koruptor besar yang telah menghuni Nusakambangan, pelaku illegal logging yang dipenjarakan, jenderal polisi yang dipenjarakan. Sudah tak terhitung gubernur, bupati serta wali kota dan anggota DPRD yang meringkuk di penjara. Upaya ini tentu saja tidak berhenti sampai di sini beberapa kasus besar korupsi tengah dan terus diusut, khususnya olek KPK. Kasus terkahir, bahkan KPK mengeluarkan larangan memberikan parsel menjelang Lebaran ke pejabat karena dikhawatirkan mempunyai unsur sogokan.

Upaya ini justru mendapat tantangan keras dari para pengusaha parsel. Jadi, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia memang tidak mudah karena ia akan mendapatkan resistensi yang cukup kuat terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan. Terlebih, karena perilaku korupsi telah menjadi bagian dari budaya birokrasi kita sehingga sebagian pelakunya menganggap bukan lagi sebagai penyimpangan melainkan sebagai kebiasaan dan kewajaran belaka.

Oleh karena itu, upayanya bukan saja secara refresif dengan menghukum para pelakunya sehingga menimbulkan efek jera melainkan Juga harus dilakukan secara preventif dan persuasif sehingga masyarakat diajarkan untuk melakukan perilaku bersih dan tidak korup. Ini tentu saja memerlukan waktu dan sosialisasi yang intensif kepada segenap komponen masyarakat terlebih masayarakat birokrasi.

Rating korupsi

Ada beberapa kajian empiris yang dilakukan beberapa lembaga internasional seperti UNDP, World Bank, Transparency International terhadap posisi korupsi di Indonesia, khususnya setelah 8 tahun reformasi di Indonesia. Dari kajian tersebut diharapkan dapat melihat gambaran lebih objektif terhadap peristiwa sangat penting dalam proses pembentukan peradaban ke depan (demokrasi politik, pemberantasan korupsi dan kesejahteraan ekonomi) bagi bangsa Indonesia.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan di antara elite bangsa yang terkadang hanya menimbulkan overpessimism karena tanpa ada ukuran yang jelas dalam pembentukan opini, tulisan ini pada gilirannya dapat memberikan inspirasi kepada semua pihak yang peduli terhadap nasib bangsa ini di masa depan.

Dari hasil-hasil kajian tersebut, ternyata memperkuat anggapan tentang hal-hal yang telah menjadi pendapat umum selama ini. Ditambah terhadap beberapa temuan relatif baru dan menarik di antaranya.

Hubungan antara tingkat demokrasi dengan tingkat kesejahteraan ekonomi, terhadap 7 kelompok negara, (1) Ada 19 negara yang termasuk kelompok negara dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi (income pel capita (Y/capJ 22000 s/d 62000 dolar AS dan human development index (HDI) 0,86 s/d 0,96) dan tingkat demokrasi yang tinggi (Freedom index/FI 1,5 s/d 1), yakni (dari urutan paling tinggi kepada paling rendah): Luxembourg, AS, Norwegia, Irlandia, Eslandia, Swiss, Denmark, Kanada, Austria, Belgia, Jepang, Belanda, Australia, Jerman, Prancis, Finlandia, Italia, Swedia dan United Kingdom.

(2) Ada 1 negara dengan tingkat kesejahteraan tinggi (Y/kapita 23.000 dolar dan HDI 0,9) dan tingkat demokrasi menengah (partly free, F1—4,7, yakni Singapura ; (3) Ada 16 negara dengan tingkat kesejahteraan menengah (Y/kapita 9.600 s.d. 22.000 dolar dan HDI 0,86 s.d. 0,93) dan tingkat demokrasi yang tinggi (FI antara 1,5 s.d. 1), yakni: Selandia Baru, Spanyol, Israel, Portugal, Yunani, Korea Selatan, Czeck, Hongaria, Argentina, Slovakia, Cile, Mauritius, Estonia, Polandia, Afrika Selatan. (4) Ada 2 negara dengan tingkat kesejahteraan menengah (Y/cap 9.000 s.d. 9.300 dolar dan HDI 0,79 s.d. 0,81) dan tingkat demokrasi menengah (FI 4,5 s.d. 2,5), yakni: Meksiko dan Malaysia.

Kemudian (5) ada 9 negara dengan tingkat kesejahteraan rendah dan tingkat demokrasi yang tinggi (F1 s.d. 1,5) yakni: Latvia, Rumania, Bulgaria, El Savador, Filipina, Bolivia, India, Ghana, Gambia, (6) Ada 17 negara dengan tingkat kesejahteraan rendah (Y/cap 1.200 s.d. 7.500 dolar dan HDI 0,45 s.d. 0,74) dan tingkat demokrasi menengah (F1 4 s.d. 2,8), yakni: Ekuador, Brasil, Peru, Senegal, Malawi, Venezuela, Indonesia, Ukraina, Tanzania. (7) ada 6 negara dengan tingkat kesejahteraan rendah (y/cap 1.850 s.d. 6.300 dolar dan HDI 0,6 s.d. 0,72) dan tingkat demokrasi rendah (F1 s.d. 5,5,) yakni: Tunisia, Mesir, Zimbabwe, Kamerun, Cina, Vietnam.

Dengan analisis perbandingan terhadap 70 negara lain Indonesia masih berada di tingkat, di mana terdapat kemajuan menjadi tingkat menengah yang sebelumnya rendah/otoriter, namun belum ada relasinya terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi (berada di tingkat kesejahteraan ekonomi rendah). Dengan demikian, Indonesia tergolong dengan tingkat demokrasi politik menengah tapi dengan tingkat korupsi yang masih tinggi. Artinya kemajuan dalam demokrasi politik belum mampu mendorong secara signifikan terhadap pengurangan tingkat korupsi secara signifikan.

Dengan begitu, jika memasukkan faktor korupsi dalam analisis, Indonesia dalam hubungan antara tingkat kesejahteraan dengan korupsi, maka Indonesia tergolong paling buruk kedua di antara 70 negara.

Di bawah Indonesia (lebih buruk) hanya ada Nigeria. Jika memasukkan faktor demokrasi kedalam analisis, posisi Indonesia masih tergolong kelompok negara menengah bawah. Artinya masih cukup banyak negara di bawah Indonesia. Selanjutnya kalau kita menganalisa secara time series, sebenarnya untuk ketiga faktor tersebut relative terdapat kemajuan, termasuk dalam pemberantasan korupsi. (Didin Damanhuri: 2006)

Dengan demikian, posisi Indonesia berada di tengah, urutan dari yang paling demokratis Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Cina. Tampak langkah-langkah awal Habibie (1999-2001) yang paling drastis membawa dari situasi otoritarian ke proses demokratisasi dengan ditunjukkan oleh grafik sangat tajam. Sejak itu, semua pemerintahan setelahnya hingga SBY, tidak tampak perkembangan yang signifikan dengan ditunjukkan oleh grafik yang datar.

Negara kredibel

Meskipun dalam proses demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang nyata, secara kualitas masih menyisakan banyak persoalan. Dengan demikian, sepertinya terdapat lingkaran setan yang sulit diputus, yakni antara kualitas demokrasi politik yang masih bermasalah, belum mendorong kepada proses penciptaan kesejahteraan ekonomi rakyat yang menyeluruh. Di mana terdapatnya faktor variabel antara yang masih menjadi problem raksasa adalah karena korupsi sistemik yang mengganggu baik terhadap pencapaian tingkat kesejahteraan ekonomi maupun kualitas demokrasi politik.

Oleh karena itu, pemerintah SBY-JK harus mampu berinisiatif secara nyata dan berani melakukan langkah terobosan yang besar, kiranya dimulai secara ekonomi.

Pertama, agenda mobilisasi sumber-sumber daya nasional dan internasional alternatifsehingga secara sistematis bangsa ini dapat keluar dari ketergantungan utang luar negeri. Agenda penghematan (termasuk penghapusan korupsi), pengurangan utang LN, diversifikasi utang LN (Timur Tengah dengan petro dolar baru dan lainnya), debt swap (untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kelestarian lingkungan), menggali sumber keuangan alternatif (pajak, intensifikasi keuangan syariah, zakat harta, dst.).

Kedua, melunasi utang IMF sehingga pemerintah mempunyai ruang manuver dalam menyusun strategi pembangunan yang independent yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (bukan hanya stabilitas ekonomi makro) di mana proses industrialisasi lebih menekankan domestic resource base dan penciptaan kesempatan kerja penuh di mana sektor-sektor pertanian dalam arti luas (pangan, kelautan termasuk bioteknologi, dst.), energi terbarukan, UKM, dst. Bersamaan dengan industri lama yang manufacture base dan BUMN menciptakan sinergi Indonesia inc.

Ketiga, perlu ada grand design pemberantasan korupsi yang sistematis bersamaan dengan reformasi pemerintahan (pusat dan daerah) dengan action plan meningkatkan penggajian sekaligus profesionalisasi aparatnya.

Dengan kejelasan langkah-langkah tersebut, pada gilirannya content SDM dan iptek dapat mengiternalisasi dalam proses ekonomi (knowledge/creative based economy) yang gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi politik dengan proses, pelaku dan relasi terhadap kesejahteraan ekonomi bangsa semakin kuat dan kemandirian bangsa pun dapat secara bertahap dapat diraih.

Oleh karena itu, ide minimum state seperti secara implisit dituntut globalisasi menjadi tak relevan, Hal ini karena dengan agenda kompleks tersebut, bangsa Indonesia lebih memerlukan state yang credible (bebas dari korupsi, profesional dan sejahtera) yang bersinergi dengan ekonomi pasar (bebas dari monopoli/oligopoli dan monopsoni/oligopsoni serta pelaku swasta, BUMN, koperasi dan UKM yang profesional serta didukung oleh judikatif dan elite politik (pusat dan daerah) yang bersih dan profesional pula. Dengan langkah tersebut harus mampu menggunting terjadinya oligarki politik maupun ekonomi di pusat maupun daerah yang masih dominan terjadi dewasa ini.

Di samping itu, untuk membangun negara yang kredibel, setidaknya diperlukan beberapa langkah. Pertama, melakukan introspeksi ulang dan dengan jujur menerima kenyataan bahwa birokrasi kita sedang sakit karena itu diperlukan sesuatu untuk upaya penyehatan. Kedua, komitmen semua pihak tentang perlunya reformasi birokrasi. Sebab tanpa komitmen semua pihak konsep sebagus apapun tidak bisa dilaksanakan. Ketiga, perlunya seruan moral yang melibatkan masyarakat sejak proses maupun pengawasan di dalam birokrasi. Keempat, diperlukan pemimpin yang tegas tapi dapat menjadi teladan.

Semua itu dilakukan untuk melahirkan profesionalisme aparatur negara yang mampu memberikan pelayan publik yang optimal kepada masyarakatnya. Aparatur birokrasi yang profesional, transparan, dan tidak korup. Semoga. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Sustainability Bond bank bjb Oversubscribed Hingga 4,66 Kali

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Aksi korporasi bank bjb kembali mencatatkan pencapaian gemilang. Obligasi Keberlanjutan atau Sustainability…

6 jam ago

Sengit! Persib Kandaskan Borneo FC Lewat Gol Ciro Alves

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung kontra Borneo FC dalam lanjutan Liga 1 2024/2025 berangsung sengit. Tampil…

8 jam ago

Cucun Syamsurijal Laporkan Anggota DPRD Kab. Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPR RI Cucun Syamsurijal melaporkan MA anggota DPRD Kabupaten Bandung…

8 jam ago

Cucun Syamsurijal: Pilkada Ibarat Sepak Bola

KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPP PKB, Cucun Syamsurijal mengatakan jika pesta demokrasi (Pilkada)…

9 jam ago

Peluang Emil Audero di Timnas Indonesia Kata Erick Thohir

WWW.PASJABAR.COM -- Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memberikan pernyataan terkait peluang kiper Como 1907, Emil…

10 jam ago

Insting Shin Tae-yong Terbukti di Laga Kontra Arab

WWW.PASJABAR.COM -- Insting Shin Tae-yong sebagai pelatih terbukti dengan memasang Marselino Ferdinan sebagai starter saat…

11 jam ago