Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – “Toleransi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “tolerance” yang artinya memberi kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain. Dalam bahasa Arab “toleransi” diistilahkan dengan “tasamuh” yang berarti membiarkan sesuatu atau membolehkan, mengizinkan, dan saling memudahkan. Toleransi pada dasarnya merupakan sikap lapang dada terhadap prinsip yang dipegang atau dianut orang lain, tanpa mengorbankan prinsip sendiri.
Ada beberapa kemugkinan bentuk toleransi yang harus ditegakkan, di antaranya adalah toleransi agama, dan toleransi sosial.
a. Toleransi agama. Bentuk toleransi ini menyangkut keyakinan atau akidah. Loyalitas dan keyakinan terhadap agama melahirkan dogmadogma yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat sekalipun bertentangan dengan rasio atau logika. Orang sering menganggap bahwa apa saja yang datang dari agama bersifat mutlak, dan kebenaran itu harus disampaikan kepada orang lain agar mereka tidak sesat. Dari anggapan inilah, lahir anggapan bahwa keyakinan di luar keyakinan dirinya adalah salah dan sesat.
Agama sebagai institusi yang berkaitan dengan keyakinan sangat rentan terhadap intoleransi. Sebab, setiap pemeluk agama merasa dirinya berkewajiban untuk menyiarkan agamanya kepada seluruh manusia. Keyakinan bahwa agamanyalah yang benar sedangkan agama yang lain salah. Karena itu, ia memberikas petunjuk kepada orang lain sehingga timbullah usaha-usaha untuk menunjukkan kesalahan agama orang lain sambil menyatakas kebenaran agamanya sendiri. Selanjutnya timbul usaha-usaha agar menarik pemeluk agama lain untuk masuk agamanya.
Usaha-usaha ini dapat menimbulkan ketegangan antarpemeluk agama. Bahkan, di kalangan intern pemeluk agama itu sendiri, usaha tersebut dapat menimbulkan intoleransi karena adanya perbedaan aliran atau madzhab.
Masalah toleransi agama bukanlah masalah baru karena telah menjadi masalah sejak awal perkembangan suatu agama. Biasanya ketika para nabi dan pencetus agama itu masih ada, umatnya dapat bersatu dan kompak. Akan tetapi, setelah pembawa agama itu meninggal dan pemeluk agama itu semakin berkembang, kelompok itu pecah dalam beberapa kelompok yang berbeda-beda. Masingmasing kelompok merasa bahwa kelompoknyalah yang paling sesuai dengan kehendak sang pembawanya, sedangkan yang lainnya diklaim telah menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya.
Demikianlah, toleransi terjadi bukan hanya antarkelompok agama, melainkan pula intern suatu penganut agama. Intoleransi agama menjadi salah satu bagian yang sangat rentan dalam masyarakat yang mudah sekali memicu pertentangan dan perselisihan masyarakat.
Toleransi intern umat beragama, khususnya di kalangan umat Islam, sampai saat ini masih menjadi masalah. Ouraisy Syihab menyebutkan tiga aspek keagamaan yang perlu disadari umat Islam guna menghindarkan terjadinya intoleransi.
- Konsep keragaman cara beribadah (tanawwu’ al ibadah). Konsep ini mengisyaratkan adanya keragaman dalam praktik pelaksanaan ibadah oleh Nabi. Keragaman cara beribadah merupakan hasil interpretasi umat terhadap tata cara ibadah Nabi yang diperoleh dari hadis dan riwayat Nabi. Keragaman ini diperkenankan sepanjang merujuk pada Rasulullah SAW. Perbedaan dalam cara ibadah tidak harus menjadi sebab perpecahan umat. Di sini diperlukan adanya toleransi dari pihak – pihak yang saling berbeda.
- Konsep ijtihad yang memungkinkan hasilnya berbeda. Ijtihad, adalah proses penetapan hukum yang belum ditetapkan secara pasti atau eksplisit dalam Al-Ouran dan As-Sunnah. Adanya kebolehan ijtihad melahirkan keragaman hasil ijtihad yang memicu adanya konflik di antara orang atau kelompok yang berbeda pendapat. Tingkat kebenaran ijtihad, sebagai proses pencarian kebenaran rendah dan bersifat relatif dibandingkan kebenaran Al-Guran dan As-Sunnah. Kendatipun demikian, ia merupakan wahana yang sangat pcnting untuk menjawah bersoalan baru yang dihadapi umat yang belum terjawab secara eksplisit dalam dua hal di atas. Nabi SAW bersabda:
“Apabila seorang hakim bertjtihad kemudian dapat mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijlihaa kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhan dan Muslim)
- Tidak ada hukum sebelum mujtahid berijtihad (Ja hukma illa gobla ijtihad al-mujtahid). Hal ini berarti ijtihad dibolehkan urttuk masalah-masalah yang belum ada ketetapan pasti di dalam Al-Ouran dan As-Sunnah, artinya Allah SWT belum menetapkan ketetapan hukumnya. Dalam hal ini para mujtahid dituntut untuk melakukan ijtihad dan hasilnya merupakan hukum bagi masing-masing mujtahid walaupun berbeda-beda. Hasil ijtihad yang berbeda-beda memungkinkan terjadinya intoleransi di kalangan umatnya.
b. Toleransi sosial. Dalam hal-hal yang berkenaan dengan kebaikap hidup bersama di dunia ini, Islam menganjurkan para penganutnya untuk mengadakan toleransi sosial atau toleransi kemasyarakatan Dalam urusan kemasyarakatan ini, Allah SWT tidak melarang umat Islam untuk hidup bermasyarakat dengan mereka yang tidak seiman dan seagama. Hal ini didasarkan kepada firman-Nya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (O.S. Al-Mumtahanah [60] : 8)
Mengenai toleransi sosial ini dalam masyarakat yang serba beranekaragam, baik ras, tradisi, keyakinan maupun agama, ajaran Islam menegakkan kedamaian hidup bersama dan melakukan kerja sama dalam batas-batas tertentu. Hal tersebut dilakukan tanpa harus mengorbankan akidah dan ibadah yang telah diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas dalam ajaran Islam. (han)