Oleh: Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Langkah nyata pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas), sudah cukup terlihat nyata. Namun, di sisi lain dunia pendidikan Indonesia masih menyisakan kompleksitas di jenjang perguruan tinggi (PT). Jalur penerimaan mandiri di perguruan tinggi negeri (PTN), membuat biaya pendidikan melonjak. Sementara kemampuan masyarakat semakin menurun akibat kondisi ekonomi yang ada. Berikut pandangan pakar pendidikan dari Paguyuban Pasundan, Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. dalam wawancaranya bersama ”PR”.
Bagaimana peta persaingan masuk PTN sekarang ini?
Persaingan akan semakin berat dengan adanya perundangan baru, Badan Hukum Pendidikan yang berlaku sejak 1 Januari 2009. PTN hanya dibiayai 2090 oleh pemerintah, sisanya mencari sendiri. Kondisi dan kebijakan ini, memaksa PTN mencari berbagai jalan untuk mendapatkan Sumber dana. Dampaknya ke masyarakat, karena mencari dana yang paling mudah adalah dari calon mahasiswa melalui pembukaan jalur Penerimaan mandiri. Hal ini semakin memperkecil peluang masuk PTN lewat jalur nasional yang lebih murah.
Seberapa penting jalur penerimaan mandiri bagi satu PTN?
Dengan berkurangnya pembiayaan dari pemerintah, PTN jelas harus mampu menutupi kebutuhan biaya operasionalnya sendiri. Mereka juga aruS menyiapkan sumber daya manusia (SDM), yang lebih baik serta fasilitas lebih memadai untuk menjaga kualitas pendidikan mereka. Terlebih lagi, sekarang semua perguruan tinggi di negara kita diarahkan agar memilik daya saing World Class University. Dibandingkan dengan perguruan tinggi di luar negeri, dari segi apa pun kita masih jauh ketinggalan. Jika tidak mengejar dari sekarang, kita akan terus tertinggal dan sulit bersaing.
Dampak penerimaan mandiri tersebut di masyarakat seperti apa dan kesulitan apa saja yang mereka hadapi sekarang?
Jelas yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah persaingan semakin ketat dan biaya pendidikan semakin mahal. Ini jelas kendala berat, mengingat kemampuan ekonomi masyarakat juga semakin ambruk. Namun, bila disikapi dengan bijak, kesulitan itu sebenarnya tidak hanya ketika akan masuk perguruan tinggi. Namun, ketika keluar dari jenjang SMA, mereka juga mengalami kesulitan dengan adanya standar kelulusan yang semakin ditingkatkan. Jika tidak lulus Ujian Nasional (UN), jelas tidak bisa ikut diterima di perguruan tinggi. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin UN akan dijadikan alat ukur masuk PTN, walaupun sekarang belum.
Mereka yang tidak lolos dalam seleksi nasional, mungkin lebih berkualitas daripada yang masuk lewat seleksi mandiri. Namun, bagaimana mereka bisa masuk lewat jalur mandiri jika tidak ada biaya?
Harus diakui memang, jalur penerimaan mandiri adalah tempat PTN mencari dana untuk pengembangan kampus. Bagi PTN sendiri tidak ada pilihan, karena tanpa dana mereka tidak dapat berkembang dan bersaing. Yang akan eksis adalah mereka yang siap dari segi SDM, fasilitas, manajerial, keuangan, dll. Namun, dengan alokasi anggaran pendidikan yang sudah 2096 sekarang, sebenarnya masyarakat tidak mampu yang berprestasi bisa terbantu. Dengan dana yang ada, seharusnya pemerintah pusat dan daerah punya anggaran khusus untuk membiayai mereka.
Sejauh ini langkah tersebut sudah terlihat atau belum?
Kita harus mengakui bahwa secara riil harus belum ada mata anggaran untuk menyerap calon mahasiswa dengan kemampuan tinggi, tetapi tidak mampu secara ekonomi. Kalaupun ada, hanya sebagian kecil pemda saja yang sudah melakukannya. Kita lihat di Malaysia sejak 1968, anggaran pendidikan mereka sudah 2200, waktu itu kita masih 6.8P0. Sementara kita baru memulai sekarang dan masih gonjang-ganjing antara masuk gaji atau tidak.
Seberapa penting penyediaan anggaran tersebut bagi pemda?
Dalam era otonomi, setiap pemda wajib menyiapkan SDM yang baik untuk membangun daerahnya masing-masing. Untuk menyiapkannya hanya bisa lewat pendidikan. Di sini, pemerintah harus serius menyiapkan bibit unggul dan anggaran 2000 sudah ada dari pusat, tinggal diikuti masing-masing pemda. Kalau perlu tidak hanya menyerap mereka di dalam negeri dalam negeri, tetapi keluar negeri juga.
Kalau pemda mendanai calon mahasiswa berpotensi ke luar negeri, lantas apa imbasnya bagi perguruan tinggi dalam negeri?
Bila kondisinya seperti itu, jelas akan terjadi persaingan sehat antara perguruan tinggi di dalam negeri. Mereka akan menyiapkan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik, untuk melayani mereka yang didanai pemerintah tersebut. Jika tidak bisa bersaing, pasti ditinggalkan dan bukan tidak mungkin mengalami kebangkrutan. (han)