Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia berada di titik kritis. Dengan jumlah yang jauh melampaui Perguruan Tinggi Negeri (PTN), PTS seharusnya menjadi tulang punggung sistem pendidikan tinggi nasional. Namun, kenyataan yang dihadapi justru sebaliknya. PTS kini berada di ambang krisis eksistensi, yang diperparah oleh dominasi PTN yang semakin menguat. Krisis ini memerlukan perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat, dan pengelola PTS itu sendiri.
Realitas PTS di Indonesia
Secara kuantitatif, PTS mendominasi peta pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, dominasi ini lebih mencerminkan kuantitas daripada kualitas. Banyak PTS yang mengalami kesulitan dalam berbagai aspek, mulai dari rekrutmen mahasiswa, pendanaan, hingga pengembangan akademik. Di sisi lain, PTN, yang jumlahnya lebih sedikit, memiliki daya tarik yang lebih kuat, baik dari sisi prestise, fasilitas, maupun dukungan pemerintah. Kondisi ini menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara PTN dan PTS.
Dari sudut pandang sejarah, PTS di Indonesia memiliki peran penting dalam menyediakan akses pendidikan tinggi bagi masyarakat luas. Ketika PTN belum mampu menampung seluruh lulusan SMA, PTS hadir sebagai solusi alternatif. Namun, seiring berjalannya waktu, peran ini mulai tergerus oleh berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal.
Daya Saing dan Manajemen
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi PTS adalah masalah daya saing. Banyak PTS yang tidak mampu bersaing dengan PTN dalam hal kualitas pendidikan, fasilitas, dan sumber daya manusia. Hal ini tidak lepas dari keterbatasan dana yang dimiliki oleh PTS. Sebagian besar PTS mengandalkan biaya kuliah sebagai sumber pendapatan utama, yang pada akhirnya membatasi kemampuan mereka untuk melakukan inovasi dan pengembangan.
Masalah manajemen juga menjadi faktor yang krusial. Tidak sedikit PTS yang dikelola dengan pendekatan bisnis semata, tanpa mempertimbangkan aspek akademik dan pengembangan mutu. Padahal, pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya menjadi tempat untuk transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan riset. Sayangnya, banyak PTS yang justru terjebak dalam lingkaran komersialisasi, yang pada akhirnya mengorbankan kualitas akademik.
Hegemoni PTN
Di sisi lain, hegemoni PTN menjadi tantangan eksternal yang tak kalah berat bagi PTS. PTN memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya lebih menarik bagi calon mahasiswa, seperti biaya kuliah yang relatif lebih rendah karena disubsidi oleh pemerintah, serta berbagai program beasiswa yang ditawarkan. Selain itu, PTN juga seringkali dianggap lebih prestisius dan memiliki prospek karir yang lebih baik bagi lulusannya.
Pemerintah, sebagai pemegang otoritas pendidikan, juga cenderung memberikan perhatian lebih pada PTN. Hal ini tercermin dari besarnya anggaran yang dialokasikan untuk PTN, serta berbagai kebijakan yang lebih menguntungkan PTN, seperti penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN yang hanya bisa diikuti oleh PTN. Di sisi lain, PTS harus bersaing memperebutkan mahasiswa di jalur seleksi mandiri, yang pada akhirnya menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan.
Upaya PTS untuk Bertahan
Meski menghadapi berbagai tantangan, PTS tidak tinggal diam. Beberapa PTS telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saingnya. Salah satu strategi yang diambil adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan yang diberikan kepada mahasiswa. PTS yang memiliki reputasi baik biasanya memiliki program studi yang unggul dan terakreditasi, serta memiliki kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri.
Selain itu, PTS juga mulai mengadopsi teknologi dalam proses pembelajaran. Pandemi COVID-19 telah mempercepat adopsi teknologi digital di berbagai sektor, termasuk pendidikan. PTS yang mampu memanfaatkan teknologi dengan baik dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih fleksibel dan inovatif bagi mahasiswanya. Hal ini dapat menjadi nilai tambah yang tidak dimiliki oleh PTN.
Kolaborasi juga menjadi kunci bagi PTS untuk bertahan. Beberapa PTS telah menjalin kerja sama dengan industri, baik dalam bentuk magang, penelitian, maupun program pengembangan karir. Kerja sama semacam ini tidak hanya memberikan manfaat bagi mahasiswa, tetapi juga meningkatkan reputasi dan daya tarik PTS di mata calon mahasiswa dan orang tua.
Reformasi Kebijakan: Peran Pemerintah
Namun, upaya PTS untuk bertahan tidak akan cukup tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan yang lebih berpihak pada PTS, terutama dalam hal pendanaan dan pengawasan. Saat ini, PTS harus mengandalkan biaya kuliah sebagai sumber pendapatan utama, yang menyebabkan banyak PTS berada dalam tekanan finansial. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan subsidi atau insentif bagi PTS, terutama bagi PTS yang berada di daerah terpencil atau memiliki program studi yang strategis bagi pembangunan nasional.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap PTS. Pengawasan yang lebih ketat dapat mendorong PTS untuk terus meningkatkan kualitasnya. Namun, pengawasan ini tidak boleh bersifat represif, melainkan harus didukung dengan kebijakan yang mendukung pengembangan PTS, seperti program bantuan peningkatan mutu dan akreditasi.
Masa Depan PTS: Kolaborasi dan Inovasi
Di tengah tantangan yang dihadapi, masa depan PTS tetap memiliki harapan. Kunci untuk bertahan dan berkembang terletak pada kemampuan PTS untuk berkolaborasi dan berinovasi. PTS perlu mengubah paradigma pengelolaannya, dari sekadar lembaga pendidikan yang berorientasi pada keuntungan, menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada kualitas dan keberlanjutan.
Kolaborasi dengan berbagai pihak, baik dengan PTN, industri, maupun lembaga internasional, dapat membuka peluang baru bagi PTS untuk meningkatkan kualitas dan daya saingnya. Sementara itu, inovasi dalam proses pembelajaran, kurikulum, dan manajemen juga dapat memberikan nilai tambah yang unik bagi PTS.
Inovasi dalam hal ini tidak hanya terbatas pada penggunaan teknologi, tetapi juga mencakup pendekatan baru dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. PTS yang mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan akan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan dan berkembang di masa depan.
Menuju Pendidikan Tinggi yang Berkeadilan
Nasib PTS di Indonesia tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi nasional, PTS memiliki peran yang sangat penting dalam menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat luas. Pemerintah, masyarakat, dan PTS itu sendiri perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa PTS dapat bertahan dan berkembang di tengah berbagai tantangan yang dihadapi.
Pendidikan tinggi yang berkeadilan adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau geografis. Untuk mencapai hal ini, PTS harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Dengan kebijakan yang tepat, manajemen yang baik, dan komitmen terhadap kualitas, PTS dapat memainkan perannya dengan lebih baik dalam memajukan pendidikan tinggi di Indonesia.
Inilah saatnya bagi PTS untuk bangkit dan membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pilihan kedua, tetapi merupakan bagian integral dari masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Di tengah hegemoni PTN, PTS harus menemukan kekuatannya sendiri dan berani bertransformasi untuk tetap relevan dan kompetitif di era yang penuh dengan ketidakpastian ini. (*)