Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH UNPAS (Megalomania Politik)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Megalomania dalam politik bukanlah fenomena baru. Dalam sejarah, pemimpin-pemimpin besar, bahkan mereka yang awalnya dipuja sebagai pembawa perubahan, kerap terjerumus dalam sikap otoriter dan memandang diri mereka sebagai pusat dari segalanya. Megalomania politik, yang berarti ambisi berlebihan dan delusi akan kehebatan pribadi dalam lingkup kekuasaan, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Betz (1994) mencatat bahwa gejala megalomania dalam kepemimpinan sering kali terkait dengan populisme ekstrem, di mana pemimpin membangun narasi diri sebagai penyelamat bangsa di tengah krisis yang dianggapnya mengancam negara. Pada tataran ini, kita perlu bertanya: apakah demokrasi kita semakin terjebak dalam jebakan pemimpin megalomania?
Fenomena ini jelas tampak dalam beberapa pemimpin dunia, termasuk di Indonesia. Pemimpin-pemimpin yang menguasai wacana politik kerap merendahkan institusi demokrasi dan aturan hukum, menggantinya dengan otoritas pribadi yang semakin mutlak. Narasi seperti ini berbahaya karena menyandarkan keputusan publik kepada keinginan segelintir orang, bukan kepada aspirasi rakyat yang seharusnya diwakili oleh lembaga-lembaga demokratis. Schedler (2006) berpendapat bahwa megalomania politik mengikis mekanisme checks and balances dan menyebabkan demokrasi berjalan dalam bentuk semu, di mana hanya ada satu aktor dominan.
Otoritarianisme Terselubung
Dalam kasus Indonesia, megalomania politik bisa muncul melalui beberapa mekanisme. Pertama, ada kecenderungan pemimpin untuk mengonsolidasi kekuasaan dengan mengatur lembaga-lembaga negara dan menyingkirkan oposisi. Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam buku How Democracies Die mengungkapkan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi bukan lagi kudeta militer, melainkan konsolidasi kekuasaan eksekutif yang mengaburkan batas antara demokrasi dan otoritarianisme. Ketika lembaga legislatif dan yudikatif semakin terkooptasi oleh eksekutif, maka mekanisme check and balances melemah. Pemimpin, yang mungkin awalnya datang dengan mandat demokrasi, pada akhirnya mendikte jalannya pemerintahan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dalam situasi seperti ini, suara rakyat seringkali hanya menjadi sekadar formalitas.
Contoh nyata dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan aspirasi publik secara luas. Diamond (2021) menjelaskan bahwa dalam demokrasi yang tergerus oleh megalomania, institusi negara perlahan-lahan kehilangan independensi dan beralih menjadi alat legitimasi pemimpin. RUU Cipta Kerja, misalnya, menjadi simbol bagaimana suara rakyat dimarginalisasi dalam proses legislasi yang cepat dan minim diskusi substantif. Pemimpin yang terlalu percaya diri dengan kekuatannya merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah mutlak benar, dan kritik menjadi musuh yang harus dilawan, bukan suara yang perlu didengar.
Politik Simbol dan Kultus Pribadi
Megalomania politik juga kerap diiringi dengan penciptaan kultus pribadi. Pemimpin megalomania sering membangun narasi bahwa hanya mereka yang mampu membawa negara menuju kejayaan. Simbolisme dan pencitraan menjadi senjata utama untuk mempertahankan kekuasaan. Pemimpin bukan lagi hanya bagian dari sistem, tetapi menjadi pusat dari segala keputusan. Mény dan Surel (2002) mencatat bahwa kultus pribadi dalam politik sering kali didorong oleh populisme, di mana pemimpin berhasil memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem demokrasi yang dianggap lamban dan korup.
Di era informasi dan media sosial, pencitraan ini semakin mudah dibentuk dan disebarluaskan. Bergmann (2018) dalam tulisannya Populism and the Crisis of Democracy menjelaskan bahwa pemimpin populis sering kali memanfaatkan platform digital untuk menciptakan narasi heroik tentang diri mereka, sembari membungkam kritik yang dianggap mengancam status quo kekuasaan. Narasi tunggal diciptakan dan kritik atau alternatif dianggap sebagai ancaman yang harus dibungkam.
Dalam konteks Pemilukada serentak 2024 yang semakin mendekat, kita bisa melihat tanda-tanda megalomania dalam berbagai tindakan politik. Politik pencitraan semakin mendominasi, sementara substansi program dan gagasan untuk kemajuan bangsa justru semakin terpinggirkan. Müller (2016) dalam bukunya What is Populism? berargumen bahwa pemimpin yang terjebak dalam megalomania cenderung menggiring wacana politik menjadi sekadar ajang pamer kekuasaan, di mana kebijakan dan kepentingan publik menjadi kurang diperhatikan.
Bahaya bagi Demokrasi
Megalomania politik menghadirkan ancaman nyata bagi demokrasi. Ketika pemimpin mulai percaya bahwa mereka adalah sumber kebenaran dan kekuasaan, mereka cenderung mengabaikan institusi-institusi yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi. Freedom House (2021) melaporkan bahwa negara-negara dengan pemimpin megalomania sering kali mengalami penurunan indeks demokrasi secara signifikan karena melemahnya independensi lembaga negara. Dalam keadaan seperti ini, hukum bisa digunakan sebagai alat untuk menekan lawan politik dan meneguhkan kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan. Demokrasi yang seharusnya inklusif dan berbasis partisipasi warga, menjadi oligarki terselubung yang hanya melayani kepentingan segelintir elit politik.
Megalomania juga berbahaya karena mendorong pola pikir bahwa negara ada untuk pemimpin, bukan sebaliknya. Fukuyama (2014) berpendapat bahwa pemimpin megalomania memiliki kecenderungan untuk memperpanjang masa kekuasaan mereka, baik melalui jalur legal maupun ilegal, dengan tujuan mempertahankan dominasi pribadi. Ketika pemimpin merasa dirinya tak tergantikan, mereka akan terus-menerus mencari cara untuk mempertahankan kekuasaannya, meskipun itu berarti harus mengorbankan nilai-nilai demokrasi.
Kepemimpinan Inklusif
Di tengah ancaman megalomania politik, penting bagi masyarakat dan pemimpin untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi. Demokrasi bukanlah tentang satu figur, melainkan tentang bagaimana kekuasaan dikelola secara kolektif, dengan akuntabilitas dan transparansi. Dahl (1998) menekankan bahwa kepemimpinan demokratis harus didasarkan pada keterlibatan publik yang luas, dengan penghormatan terhadap pluralitas suara dan pandangan yang berbeda. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mendengarkan rakyat, menerima kritik, dan tidak takut membagikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga demokrasi yang ada.
Dalam konteks Indonesia, upaya penguatan kembali lembaga-lembaga demokrasi harus menjadi prioritas utama. Fish (2006) menyatakan bahwa salah satu cara mencegah megalomania politik adalah dengan memperkuat otonomi lembaga-lembaga demokratis, seperti parlemen dan pengadilan, sehingga mereka dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif harus diperkuat, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik harus diperluas.
Megalomania politik adalah fenomena yang perlu diwaspadai di setiap negara demokrasi, termasuk Indonesia. Pemimpin yang mulai melihat dirinya sebagai sosok tak tergantikan bukanlah simbol kekuatan, melainkan tanda dari kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Schmitter dan Karl (1991) menekankan bahwa untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup, masyarakat dan pemimpin harus menolak segala bentuk kultus pribadi dan kembali kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menekankan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Megalomania politik, jika dibiarkan, akan merusak fondasi demokrasi yang sudah susah payah dibangun selama bertahun-tahun. (han)