CLOSE ADS
CLOSE ADS
PASJABAR
Selasa, 20 Mei 2025
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI
No Result
View All Result
PASJABAR
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home HEADLINE

Megalomania Politik

Hanna Hanifah
15 Oktober 2024
megalomania politik

enam partai politik (parpol) dari sembilan parpol di verifikasi oleh KPU Provinsi Jawa Barat pada Senin (17/10/2022). (Foto: Instagram @kpuprovinsijabar)

Share on FacebookShare on Twitter
ADVERTISEMENT
Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)

Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH UNPAS (Megalomania Politik)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Megalomania dalam politik bukanlah fenomena baru. Dalam sejarah, pemimpin-pemimpin besar, bahkan mereka yang awalnya dipuja sebagai pembawa perubahan, kerap terjerumus dalam sikap otoriter dan memandang diri mereka sebagai pusat dari segalanya. Megalomania politik, yang berarti ambisi berlebihan dan delusi akan kehebatan pribadi dalam lingkup kekuasaan, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat.

Betz (1994) mencatat bahwa gejala megalomania dalam kepemimpinan sering kali terkait dengan populisme ekstrem, di mana pemimpin membangun narasi diri sebagai penyelamat bangsa di tengah krisis yang dianggapnya mengancam negara. Pada tataran ini, kita perlu bertanya: apakah demokrasi kita semakin terjebak dalam jebakan pemimpin megalomania?

Fenomena ini jelas tampak dalam beberapa pemimpin dunia, termasuk di Indonesia. Pemimpin-pemimpin yang menguasai wacana politik kerap merendahkan institusi demokrasi dan aturan hukum, menggantinya dengan otoritas pribadi yang semakin mutlak. Narasi seperti ini berbahaya karena menyandarkan keputusan publik kepada keinginan segelintir orang, bukan kepada aspirasi rakyat yang seharusnya diwakili oleh lembaga-lembaga demokratis. Schedler (2006) berpendapat bahwa megalomania politik mengikis mekanisme checks and balances dan menyebabkan demokrasi berjalan dalam bentuk semu, di mana hanya ada satu aktor dominan.

Otoritarianisme Terselubung

Dalam kasus Indonesia, megalomania politik bisa muncul melalui beberapa mekanisme. Pertama, ada kecenderungan pemimpin untuk mengonsolidasi kekuasaan dengan mengatur lembaga-lembaga negara dan menyingkirkan oposisi. Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam buku How Democracies Die mengungkapkan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi bukan lagi kudeta militer, melainkan konsolidasi kekuasaan eksekutif yang mengaburkan batas antara demokrasi dan otoritarianisme. Ketika lembaga legislatif dan yudikatif semakin terkooptasi oleh eksekutif, maka mekanisme check and balances melemah. Pemimpin, yang mungkin awalnya datang dengan mandat demokrasi, pada akhirnya mendikte jalannya pemerintahan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dalam situasi seperti ini, suara rakyat seringkali hanya menjadi sekadar formalitas.

Baca juga:   Mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional, Danlanud Husein Sastranegara Resmikan Lahan Ketahanan Pangan

Contoh nyata dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan tanpa mempertimbangkan aspirasi publik secara luas. Diamond (2021) menjelaskan bahwa dalam demokrasi yang tergerus oleh megalomania, institusi negara perlahan-lahan kehilangan independensi dan beralih menjadi alat legitimasi pemimpin. RUU Cipta Kerja, misalnya, menjadi simbol bagaimana suara rakyat dimarginalisasi dalam proses legislasi yang cepat dan minim diskusi substantif. Pemimpin yang terlalu percaya diri dengan kekuatannya merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah mutlak benar, dan kritik menjadi musuh yang harus dilawan, bukan suara yang perlu didengar.

Politik Simbol dan Kultus Pribadi

Megalomania politik juga kerap diiringi dengan penciptaan kultus pribadi. Pemimpin megalomania sering membangun narasi bahwa hanya mereka yang mampu membawa negara menuju kejayaan. Simbolisme dan pencitraan menjadi senjata utama untuk mempertahankan kekuasaan. Pemimpin bukan lagi hanya bagian dari sistem, tetapi menjadi pusat dari segala keputusan. Mény dan Surel (2002) mencatat bahwa kultus pribadi dalam politik sering kali didorong oleh populisme, di mana pemimpin berhasil memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap sistem demokrasi yang dianggap lamban dan korup.

Di era informasi dan media sosial, pencitraan ini semakin mudah dibentuk dan disebarluaskan. Bergmann (2018) dalam tulisannya Populism and the Crisis of Democracy menjelaskan bahwa pemimpin populis sering kali memanfaatkan platform digital untuk menciptakan narasi heroik tentang diri mereka, sembari membungkam kritik yang dianggap mengancam status quo kekuasaan. Narasi tunggal diciptakan dan kritik atau alternatif dianggap sebagai ancaman yang harus dibungkam.

Baca juga:   Dari 23 Pengajuan Disperindah Hanya Akan Ijinkan 6 Mall Dibuka di Bandung

Dalam konteks Pemilukada serentak 2024 yang semakin mendekat, kita bisa melihat tanda-tanda megalomania dalam berbagai tindakan politik. Politik pencitraan semakin mendominasi, sementara substansi program dan gagasan untuk kemajuan bangsa justru semakin terpinggirkan. Müller (2016) dalam bukunya What is Populism? berargumen bahwa pemimpin yang terjebak dalam megalomania cenderung menggiring wacana politik menjadi sekadar ajang pamer kekuasaan, di mana kebijakan dan kepentingan publik menjadi kurang diperhatikan.

Bahaya bagi Demokrasi

Megalomania politik menghadirkan ancaman nyata bagi demokrasi. Ketika pemimpin mulai percaya bahwa mereka adalah sumber kebenaran dan kekuasaan, mereka cenderung mengabaikan institusi-institusi yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi. Freedom House (2021) melaporkan bahwa negara-negara dengan pemimpin megalomania sering kali mengalami penurunan indeks demokrasi secara signifikan karena melemahnya independensi lembaga negara. Dalam keadaan seperti ini, hukum bisa digunakan sebagai alat untuk menekan lawan politik dan meneguhkan kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan. Demokrasi yang seharusnya inklusif dan berbasis partisipasi warga, menjadi oligarki terselubung yang hanya melayani kepentingan segelintir elit politik.

Megalomania juga berbahaya karena mendorong pola pikir bahwa negara ada untuk pemimpin, bukan sebaliknya. Fukuyama (2014) berpendapat bahwa pemimpin megalomania memiliki kecenderungan untuk memperpanjang masa kekuasaan mereka, baik melalui jalur legal maupun ilegal, dengan tujuan mempertahankan dominasi pribadi. Ketika pemimpin merasa dirinya tak tergantikan, mereka akan terus-menerus mencari cara untuk mempertahankan kekuasaannya, meskipun itu berarti harus mengorbankan nilai-nilai demokrasi.

Baca juga:   Rivaldo Pakpahan Siap Gantikan Peran Marselino Ferdinan

Kepemimpinan Inklusif

Di tengah ancaman megalomania politik, penting bagi masyarakat dan pemimpin untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi. Demokrasi bukanlah tentang satu figur, melainkan tentang bagaimana kekuasaan dikelola secara kolektif, dengan akuntabilitas dan transparansi. Dahl (1998) menekankan bahwa kepemimpinan demokratis harus didasarkan pada keterlibatan publik yang luas, dengan penghormatan terhadap pluralitas suara dan pandangan yang berbeda. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mendengarkan rakyat, menerima kritik, dan tidak takut membagikan kekuasaan kepada lembaga-lembaga demokrasi yang ada.

Dalam konteks Indonesia, upaya penguatan kembali lembaga-lembaga demokrasi harus menjadi prioritas utama. Fish (2006) menyatakan bahwa salah satu cara mencegah megalomania politik adalah dengan memperkuat otonomi lembaga-lembaga demokratis, seperti parlemen dan pengadilan, sehingga mereka dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan. Pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif harus diperkuat, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik harus diperluas.

Megalomania politik adalah fenomena yang perlu diwaspadai di setiap negara demokrasi, termasuk Indonesia. Pemimpin yang mulai melihat dirinya sebagai sosok tak tergantikan bukanlah simbol kekuatan, melainkan tanda dari kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Schmitter dan Karl (1991) menekankan bahwa untuk menjaga agar demokrasi tetap hidup, masyarakat dan pemimpin harus menolak segala bentuk kultus pribadi dan kembali kepada prinsip-prinsip dasar demokrasi yang menekankan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Megalomania politik, jika dibiarkan, akan merusak fondasi demokrasi yang sudah susah payah dibangun selama bertahun-tahun. (han)

Print Friendly, PDF & Email
Editor:
Tags: megalomania politikpolitikunpas


Related Posts

MPBSI Pascasarjana Unpas
HEADLINE

MPBSI Pascasarjana Unpas Tingkatkan Kompetensi Guru Lewat Pelatihan

17 Mei 2025
unpas
PASPENDIDIKAN

Dosen FEB Unpas: Investasi Emas Tetap Menarik, Tapi Perlu Diversifikasi

15 Mei 2025
Mendikti Paguyuban Pasundan
HEADLINE

Mendikti Ajak Paguyuban Pasundan dan Unpas Majukan Teknologi Industri

13 Mei 2025

Recommended

Menaker Ungkap Kunci Hadapi Tantangan Ketenagakerjaan Industri 4.0

Menaker Ungkap Kunci Hadapi Tantangan Ketenagakerjaan Industri 4.0

2 tahun yang lalu
Mantan Wali Kota Bandung, Dada Rosada.

Dada Rosada Masuk ke Rumah dengan Diiringi Sholawat

3 tahun yang lalu
Masuk Bulan Ramadan, Mendag Pastikan Harga Pangan Pokok Stabil

Masuk Bulan Ramadan, Mendag Pastikan Harga Pangan Pokok Stabil

2 tahun yang lalu
Begini Bobot Pemain Persib Usai 4 Bulan Libur

Hadapi Madura United, Persib Terancam Kehilangan Dua Pemain

5 tahun yang lalu

Categories

  • CAHAYA PASUNDAN
  • HEADLINE
  • PASBANDUNG
  • PASBISNIS
  • PASBUDAYA
  • PASDUNIA
  • PASFINANSIAL
  • PASGALERI
  • PASHIBURAN
  • PASJABAR
  • PASKESEHATAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASOLAHRAGA
  • PASPENDIDIKAN
  • PASTV
  • PASVIRAL
  • RUANG OPINI
  • TOKOH
  • Uncategorized
No Result
View All Result

Trending

Bagnaia Tantang Marquez di MotoGP Thailand 2025
HEADLINE

Pernat: Bagnaia Masih Aman di Ducati

19 Mei 2025

www.pasjabar.com -- Kehadiran Marc Marquez di tim pabrikan Ducati pada MotoGP 2025 memang jadi sorotan besar. Namun...

Arsenal Siap Beri Guard of Honour untuk Liverpool

Arsenal Runner-Up Lagi, Arteta: Mimpi Belum Padam!

19 Mei 2025
AC Milan Gagal Tampil di Eropa, Musim Suram Terulang

AC Milan Gagal Tampil di Eropa, Musim Suram Terulang

19 Mei 2025
Duel Scudetto: Napoli dan Inter Berebut Gelar Hingga Akhir

Duel Scudetto: Napoli dan Inter Berebut Gelar Hingga Akhir

19 Mei 2025
Wamenparekraf Apresiasi Program Bandung Punya Cerita

Wamenparekraf Apresiasi Program Bandung Punya Cerita

19 Mei 2025

Highlights

Duel Scudetto: Napoli dan Inter Berebut Gelar Hingga Akhir

Wamenparekraf Apresiasi Program Bandung Punya Cerita

Guru Besar FK Unpad Kritik Menkes Lewat Maklumat Padjadjaran

Inter Gagal Menang, Juara Serie A Bisa Ditentukan Lewat Playoff

DPKP Bandung Pangkas Pohon Antisipasi Musim Hujan

Gol Telat Villarreal Akhiri Rekor Tak Terkalahkan Barcelona

PASJABAR

© 2018 www.pasjabar.com

Navigate Site

  • REDAKSI
  • Pedoman Media Siber
  • Alamat Redaksi & Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • PASJABAR
  • PASBANDUNG
  • PASPENDIDIKAN
  • PASKREATIF
  • PASNUSANTARA
  • PASBISNIS
  • PASHIBURAN
  • PASOLAHRAGA
  • CAHAYA PASUNDAN
  • RUANG OPINI

© 2018 www.pasjabar.com

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.