Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH UNPAS (Pendidikan Tinggi Hukum)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pendidikan tinggi hukum seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi calon-calon penegak hukum di Indonesia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan ini semakin memperlihatkan kelemahannya dalam melahirkan lulusan yang mampu menjaga integritas profesi hukum. Di tengah derasnya kritik publik terhadap carut-marutnya penegakan hukum, pertanyaan mendasar pun muncul. Apakah institusi pendidikan hukum telah cukup siap menjadi penjaga moral dan etika lulusan, ataukah sekadar menjadi pabrik gelar?
Kasus korupsi yang melibatkan hakim dan jaksa, serta skandal penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian, menimbulkan kekecewaan besar di masyarakat. Seperti disebutkan oleh Friedman (1975), “hukum tidak dapat dipisahkan dari perilaku aktor-aktornya.” Ketika aktor hukum, seperti hakim dan jaksa, terlibat dalam praktik korupsi. Ini menunjukkan lemahnya integritas yang tertanam sejak pendidikan.
Beberapa kasus menonjol, seperti penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar karena korupsi dalam sengketa pemilu kepala daerah. Mengungkapkan betapa mudahnya aparat yang seharusnya menjadi penjaga keadilan tergoda oleh godaan uang. Akil Mochtar, sebagai hakim konstitusi, memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi proses demokrasi. Tetapi justru menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pribadi. Hal ini mencerminkan kegagalan pendidikan hukum dalam membentuk karakter moral lulusan hukum (Hart, 1961).
Kasus lain, yaitu operasi tangkap tangan (OTT) terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap untuk memuluskan kepentingan seorang terpidana. Memperlihatkan bagaimana aparat yang seharusnya menjadi simbol penegakan hukum justru terlibat dalam jaringan korupsi yang kompleks. Dalam konteks ini, Bandura (1999) menyebutkan bahwa “mekanisme moral disengagement memungkinkan individu untuk membenarkan tindakan amoral demi keuntungan pribadi.” Kasus Pinangki memperlihatkan kegagalan pembentukan integritas pada aparat hukum yang berpendidikan tinggi, yang justru terlibat dalam upaya mengaburkan proses keadilan demi keuntungan finansial.
Di lingkungan kepolisian, skandal yang melibatkan Ferdy Sambo—seorang perwira tinggi polisi yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan penyalahgunaan kekuasaan—menunjukkan dengan gamblang betapa lemahnya pengawasan moral di institusi penegak hukum. Menurut Ginting (2018), “integritas adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum.” Kasus ini tidak hanya menggambarkan pelanggaran kriminal. Tetapi juga memperlihatkan bagaimana aparat yang berpendidikan tinggi dapat menyalahgunakan kekuasaannya dengan cara-cara yang brutal dan tidak etis.
Kasus terbaru yang menambah daftar panjang keprihatinan publik adalah dugaan keterlibatan Zarof Ricar dalam praktik makelar kasus di lingkungan hukum. Zarof, yang seharusnya menjalankan tugas sebagai aparat penegak hukum, diduga melakukan negosiasi atas perkara hukum tertentu demi keuntungan pribadi. Praktik makelar kasus ini menggambarkan betapa lemahnya pendidikan tinggi hukum dalam membentuk integritas aparat hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Kohlberg (1984), “pendidikan moral yang kokoh adalah kunci dalam mencegah perilaku korup.” Kasus ini memperlihatkan betapa rentannya aparat hukum kita terhadap kepentingan pribadi di tengah tugas melayani keadilan.
Kurikulum hukum di Indonesia pada kenyataannya masih sangat formalistik dan kurang peka terhadap konteks sosial-politik yang dinamis. Dalam pandangan Fuller (1964), “hukum yang efektif harus mengakui dan beradaptasi dengan kompleksitas masyarakatnya.” Namun, kenyataannya, kurikulum saat ini menciptakan jurang antara teori dan praktik di lapangan. Kurikulum yang kaku dan terlalu teoritis membuat lulusan hukum tidak siap menghadapi kenyataan di lapangan yang penuh dengan kompromi, godaan, dan dilema moral.
Pendidikan tinggi hukum perlu mengadopsi pendekatan yang lebih interdisipliner, memasukkan dimensi etika, HAM, dan aspek-aspek sosial lainnya yang selama ini dianggap periferal. Sebagaimana dinyatakan oleh Rhode (2000), “pendidikan hukum yang komprehensif harus mencakup aspek moral dan etika.” Kurikulum harus menekankan pendidikan etika hukum, bukan sekadar sebagai mata kuliah pelengkap, tetapi sebagai inti pembentukan karakter.
Studi kasus merupakan metode yang efektif untuk mengajarkan etika hukum secara praktis. Dengan menganalisis kasus-kasus nyata, mahasiswa dapat memahami kompleksitas dilema moral yang mungkin mereka hadapi. Namun, ironisnya, metode ini masih jarang diterapkan secara optimal di banyak fakultas hukum di Indonesia. Lickona (1991) menggarisbawahi bahwa “pengajaran berbasis kasus nyata memungkinkan siswa memahami dampak moral dari keputusan hukum.”
Studi kasus seharusnya bukan sekadar ilustrasi, tetapi menjadi alat kritis yang membuat mahasiswa berani mempertanyakan norma-norma yang selama ini dianggap baku. Jika mahasiswa hanya dididik untuk menghafal tanpa mempertanyakan moralitas dan dampak dari penerapan hukum, mereka akan menjadi lulusan yang kaku dan tidak memiliki sensitivitas etis ketika menghadapi tantangan di lapangan.
Program magang atau kerja praktik di lembaga penegak hukum sebenarnya merupakan bagian penting dalam pendidikan hukum. Namun, sering kali program ini hanya menjadi formalitas belaka, tanpa ada pengawasan atau panduan yang jelas untuk menanamkan nilai-nilai etis. Menurut Rest (1986), “pendidikan moral harus melibatkan pengalaman nyata untuk membangun kesadaran etis.” Penting bagi fakultas hukum dan lembaga penegak hukum untuk membangun sinergi yang nyata. Bukan sekadar kerjasama administratif.
Seiring meningkatnya kritik masyarakat terhadap praktik penegakan hukum yang korup dan diskriminatif, pendidikan hukum seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan malah menambah masalah. Pertanyaannya, apakah pendidikan hukum di Indonesia berkontribusi pada reformasi hukum, atau justru melestarikan praktik-praktik yang tidak transparan dan tidak akuntabel?
Menurut Rosenberg (1991), “pendidikan hukum yang baik harus mampu menjadi agen perubahan.” Realitasnya, banyak lulusan hukum yang terjebak dalam sistem yang korup karena lemahnya integritas yang ditanamkan sejak pendidikan. Ini bukan hanya kegagalan individu. Tetapi kegagalan sistem yang secara kolektif belum memiliki komitmen untuk membangun profesi hukum yang bersih dan berintegritas.
Pada akhirnya, jika pendidikan tinggi hukum tidak segera berbenah, maka jangan heran jika lembaga penegak hukum akan terus dicemari. Oleh praktik-praktik yang jauh dari prinsip keadilan. Pendidikan tinggi hukum harus mulai merumuskan kembali tujuan utamanya. Apakah sekadar mencetak lulusan yang mahir secara teknis, ataukah lulusan yang memiliki komitmen kuat pada keadilan dan kebenaran?
Sebagaimana dinyatakan oleh Dewey (1938), “pendidikan harus mampu menyiapkan individu untuk menghadapi tantangan kehidupan nyata.” Reformasi pendidikan hukum adalah langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Sebagai bangsa yang mengedepankan prinsip keadilan, pendidikan tinggi hukum harus menjadi mercusuar yang membimbing calon-calon penegak hukum agar tidak hanya mengetahui hukum. Tetapi juga memahami makna keadilan. (han)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Cawalkot Farhan berkomentar mengenai jenjang Pendidikan di Kota Bandung yang masih kurang.…
WWW.PASJABAR.COM -- Eliano Reijnders, beri penjelasan menohok kepada jurnalis Jepang soal alasannya mau pindah kewarganegaraan…
WWW.PASJABAR.COM -- Dito Ariotedjo, Menteri Pemuda dan Olahraga mengatakan pemerintah akan memberikan bonus berupa pembinaan…
WWW.PASJABAR.COM -- Timnas Futsal Indonesia berhasil mengalahkan Vietnam, Minggu (10/11/2024) dan menjadi juara Piala AFF…
WWW.PASJABAR.COM -- Walaupun kehilangan Mees Hilgers, pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong berjanji akan memainkan penuh…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Tiga pasangan cawalkot (calon Wali dan Wakil Kota Bandung), adu gagasan tentang…