Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) – Masalah Kenegaraan dalam Buku Wawasan Islam
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Di kalangan umat Islam (cendekiawan), terjadi perbedaan paham mengenai konsep Islam dalam hubungannya dengan masalah kenegaraan.
- Integralistik, faham ini beranggapan bahwa ajaran Islam bersifat universal; mencakup seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah kenegaraan dan ketatanegaraan. Faham ini melahirkan atau menghendaki pemerintahan yang Islami atau negara yang berdasarkan syariat Islam.
- Sekularistik, faham ini beranggapan bahwa Islam sebagai agama harus dipisahkan dari persoalan-persoalan keduniaan, termasuk masalah kenegaraan, atau istilah Nurcholish Madjid, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat profan dengan yang nonprofan.
- Substantifisik, faham ini seolah-olah menafikan bentuk-bentuk lahiriah (formalistik) tanpa menghilangkan nilai-nilai atau pesan-pesan Islam yang terdapat di dalamnya. Faham ini tidak banyak mempersoalkan bentuk suatu negara selama di dalamnya mengandung nilai-nilai keislaman.
Konsep Negara
Terlepas dari ketiga faham tersebut, dalam pembahasan ini penulis beranjak dari konsep kebutuhan manusia akan negara yang didasarkan pada dalil aqli (akal/rasional) dan dalil naqli (Al-Ouran dan As-Sunnah). Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerja sama, dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa memedulikan apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Argumen rasional itu juga diperkuat dengan argumen naqli dari hadis Rasul, di antaranya: Hadis pertama, “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, salah seorang di antara mereka selayaknya menjadi pemimpin.” Hadis kedua. “Enam puluh tahun berada di bawah firani lebih baik daripada satu malam tanpa pemerintahan.” Hadis ketiga: “Sungguh Allah pasti suka jika tiga hal ini dapat terwujud, kamu menyembah kepada Allah dan tidak pernah menyekutukan-Nya. kamu mengikatkan diri erat-erat kepada Allah, dan kamu memberikan saran atau nasihat kepada siapa pun yang ditunjuk Allah untuk memimpinmu.” (Hadis-hadis tersebut diriwayatkan olch Abu Hurairah).
Ketiga hadis tersebut menekankan perlunya pemimpin, nasihat bagi para pemumpin politik, dan kepatuhan pada aturan-aturannya sebagai kewajiban agama. Di samping itu, praktik pengukuhan sebuah pemerintahan harus dianggap sebagai tugas agama yang harus dipatuhi oleh setiap umat Islam, di samping sebagai sarana agar manusia lebih banvak mendekatkan diri kepada Allah SWT. F irman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu, maka sekiranya di antara kaum berbantaban dalam suatu perkara hendaklah kamu kembalikan kepada Alkab dan RasulNya.” (O.S An-Nisa [4] : 59)
Negara dalam Al-Quran
Istilah negara (daulah) tidak disebutkan secara eksphsit dalam AlOuran dan As-Sunnah. Tetapi unsur-unsur esensial yang meryadi dasar negara dapat ditemukan dalam Al-Ouran. Misalnya tentang seperangkat fungsi atau prinsip yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik atau segenap perlengkapan bagi tegaknya sebuah negara. Termasuk di dalamnya adalah keadilan, persaudaraan, ketahanan, kehakiman, dan kepatuhan. Dalam Al-Ourun juga dapat ditemukan yang bersifat umum atau hukum-hukum yang secara langsung menyinggung masalah pembagian harta rampasan perang (ghanimah) atau upaya untuk menciptakan perdamaian.
Subjek-subjek yang beragam, hukum maupun petunjuk-petunjuk ditujukan bagi umat Islam, yang disyaratkan Al-Ouran sebagai kesatuan umat yang paripurna. Dengan kata lain, umat Islam berbeda dengan masyarakat lain karena kebajikan dan kebijakan yang mereka miliki. Ringkasnya, umat Islam adalah suatu masyarakat politik yang sanggup mencukupi diri sendiri.
Lebih dari itu, berbagai tugas keagamaan penting yang ditentukan dalam Al-Ouran dan As-Sunnah. Seperti mengumpulkan zakat, menghukum pelaku tindakan kriminal, dan organisasi-organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna. Tanpa intervensi penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional negara inilah yang sering ditekankan oleh para ilmuwan atau pengkaji Islam dalam berbagai pandangannya tentang negara.
Dengan demikian, penegakan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama dan secara vertikal. Merupakan salah satu perangkat bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Negara dan agama (Islam) saling berkelindan. Tanpa disiplin agama (wahu), negara pasti menjadi organisasi yang tirani. (han)