Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas dan Sekretaris APHTN-HAN Jawa Barat (Hasto dan Bung Karno)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Ketika Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, menyebut nama Bung Karno dalam merespons statusnya sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kita dihadapkan pada fenomena klasik dalam politik Indonesia: penggunaan simbol besar untuk membingkai persoalan kecil. Nama Bung Karno, yang identik dengan perjuangan nasionalisme dan kemerdekaan, kini ditarik ke pusaran masalah hukum seorang elite politik. Ini bukan sekadar pengalihan isu, tetapi sebuah upaya manipulasi simbol yang mengaburkan esensi moral dan hukum.
Bung Karno adalah tokoh sejarah yang melampaui sekadar sosok individu; ia adalah simbol bangsa. Ketika nama sebesar itu dimanfaatkan untuk membela seseorang yang tersangkut kasus korupsi, kita tidak hanya sedang menyaksikan distorsi politik, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh sang proklamator. Dalam artikel ini, saya akan membedah fenomena ini dari perspektif politik, hukum, dan moral, serta mengulas implikasinya terhadap demokrasi dan ruang publik di Indonesia.
Dalam politik, simbol memiliki daya tarik yang luar biasa. Bung Karno bukan hanya nama, tetapi sebuah narasi besar yang mewakili perjuangan melawan penjajahan, pendirian bangsa, dan cita-cita keadilan sosial. Dalam tradisi PDI Perjuangan, Bung Karno adalah jangkar ideologis yang menjadi sumber legitimasi politik. Namun, membawa namanya untuk membingkai kasus suap Hasto adalah tindakan yang mencerminkan dua hal: pertama, upaya untuk mengalihkan fokus publik dari persoalan hukum; kedua, eksploitasi simbol besar untuk kepentingan pragmatis.
Ini bukan fenomena baru. Dalam sejarah politik, elite kerap menggunakan narasi besar untuk membela atau membenarkan tindakan mereka. Strategi ini bekerja karena simbol besar memiliki daya emosional yang kuat, mengaburkan perdebatan rasional, dan menciptakan ilusi bahwa persoalan hukum hanyalah bagian dari konspirasi politik yang lebih besar.
Namun, apa yang terjadi ketika simbol besar digunakan untuk melindungi seseorang yang diduga melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diwakilinya? Bung Karno adalah simbol nasionalisme dan kemandirian, sementara korupsi adalah ekspresi paling nyata dari pengkhianatan terhadap nilai-nilai itu. Dengan demikian, tindakan Hasto tidak hanya mencemarkan nama Bung Karno, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap PDI Perjuangan sebagai partai yang mengklaim dirinya sebagai penerus ideologi Soekarnoisme.
Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno sering kali mengecam apa yang ia sebut sebagai “mental inlander”—mentalitas yang tunduk pada kepentingan pribadi atau asing, mengabaikan kepentingan bangsa. Korupsi adalah manifestasi paling nyata dari mental inlander ini, di mana individu menggunakan posisi kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri di atas penderitaan rakyat.
Kasus yang menimpa Hasto menjadi paradoks besar. Bagaimana mungkin seseorang yang tersangkut kasus suap mencoba berlindung di balik nama Bung Karno? Jika kita benar-benar memahami ajaran Soekarnoisme, maka tindakan korupsi adalah bentuk pengkhianatan terbesar terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh sang proklamator.
Lebih jauh, tindakan ini mengungkap hipokrisi dalam praktik politik modern. Di satu sisi, elite politik sering mengutip ajarannya untuk menjustifikasi langkah mereka. Namun, di sisi lain, mereka justru melakukan tindakan yang bertentangan secara langsung dengan semangat perjuangan Bung Karno. Ketika nama besar seperti Bung Karno digunakan untuk melindungi seseorang dari persoalan hukum, nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Bung Karno tidak lagi menjadi substansi, melainkan sekadar alat manipulasi.
Kasus ini juga menyoroti hubungan yang problematis antara politik dan hukum di Indonesia. Dalam demokrasi, hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali dipolitisasi, sementara politik digunakan untuk mengaburkan proses hukum.
Dengan membawa nama Bung Karno, Hasto mencoba membingkai dirinya sebagai korban konspirasi politik. Narasi ini bertujuan untuk menciptakan simpati di kalangan pendukung ideologi Soekarnoisme dan mengalihkan perhatian dari inti persoalan: apakah Hasto terlibat dalam suap?.
Tindakan ini tidak hanya merusak integritas hukum, tetapi juga merugikan ruang publik yang seharusnya menjadi arena diskursus rasional. Dalam pandangan Jürgen Habermas, ruang publik adalah tempat di mana warga negara dapat mendiskusikan isu-isu bersama secara kritis dan rasional. Namun, ketika simbol besar seperti Bung Karno dimanfaatkan untuk membingkai isu hukum, ruang publik berubah menjadi arena manipulasi emosi. Publik tidak lagi diajak untuk mempertimbangkan fakta dan argumen, tetapi diarahkan untuk terjebak dalam debat emosional yang tidak relevan dengan substansi kasus.
Manipulasi simbol besar seperti ini juga memperkuat polarisasi politik di Indonesia. Ketika elite politik menggunakan narasi besar untuk membela diri, mereka menciptakan persepsi bahwa kasus hukum adalah bagian dari konflik ideologi atau kepentingan politik. Ini tidak hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga memperburuk polarisasi di kalangan masyarakat.
Polarisasi ini memiliki dampak serius terhadap kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ketika hukum dianggap sebagai alat politik, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap integritas sistem hukum. Akibatnya, demokrasi tidak lagi dilihat sebagai mekanisme untuk mencapai keadilan, tetapi sebagai arena konflik kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Dalam situasi ini, tugas kita sebagai bangsa adalah melindungi nama besar Bung Karno dari manipulasi politik praktis. Bung Karno adalah milik seluruh bangsa, bukan milik satu partai, apalagi individu tertentu. Ketika namanya digunakan untuk membela seseorang dari persoalan hukum, kita harus bertanya: apakah ini benar-benar sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Bung Karno?
Sebagai masyarakat, kita juga harus lebih kritis dalam menghadapi narasi seperti ini. Jangan terjebak dalam manipulasi emosi yang hanya bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari substansi kasus hukum. Kita harus menuntut transparansi dan akuntabilitas dari setiap tokoh politik, tanpa memandang simbol atau ideologi yang mereka klaim wakili.
Kasus Hasto adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dalam politik Indonesia: bagaimana simbol besar sering kali digunakan untuk menutupi persoalan kecil. Bung Karno adalah narasi besar yang seharusnya menjadi inspirasi moral bagi bangsa. Namun, ketika nama besar ini digunakan untuk membela seorang politisi yang terjerat kasus korupsi, kita tidak hanya mencemarkan nama Bung Karno, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap politik dan hukum.
Sebagai bangsa, kita harus menolak manipulasi semacam ini. Politik harus menjadi ruang untuk membangun narasi solusi, bukan alat untuk mengalihkan perhatian dari persoalan hukum. Hukum, di sisi lain, harus ditegakkan dengan adil dan transparan, tanpa dipengaruhi oleh simbol-simbol besar yang digunakan untuk kepentingan pragmatis.
Pada akhirnya, kebenaran harus menjadi pijakan utama kita dalam membangun bangsa. Sebab, sebagaimana pepatah kuno India mengingatkan: Satyam eva jayate—kebenaranlah yang akhirnya akan menang. (han)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Untuk mengantisipasi menjamurnya juru parkir liar di Kota Bandung selama libur Natal…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Polrestabes Bandung memberikan penjelasan terkait meninggalnya seorang mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Laporan World Risk Report 2023 yang dirilis oleh Bündnis Entwicklung Hilft dan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Kim Soo Hyun jadi aktor terbaik Asia Artist Awards tahun ini. Kim…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Ini tiga Perda yang akhirnya disetujui disahkan oleh Gubernur dan DPRD Jabar.…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Kota Bandung selalu menawarkan tempat-tempat unik yang patut dikunjungi, salah satunya adalah…