HEADLINE

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

ADVERTISEMENT
Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si. (foto: pasjabar)

Oleh: Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si, Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan (Keadilan Sosial)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Telah dibuktikan oleh Arrow, seorang ekonom dan matematikus yang memperoleh hadiah Nobel, bahwa kalau kita tetap percaya pada model manusia homo economicus dan teori kepuasan dalam teori ekonomi saat ini, kesejahteraan dan keadilan sosial itu pasti tidak ada!

Mengapa para ekonom kurang mau jujur? Mungkin saja, kalau mereka lakukan bisa saja terjadi karirnya tidak berkembang atau jangan-jangan mengalami nasib malang.

Karena itulah sebenarnya para ekonom paling takut berbicara tentang kesejahteraan atau keadilan sosial, karena itu mereka lebih senang menggunakan kata pemerataan, suatu terminologi statistik yang bisa diukur dengan Gini Rasio. Apa itu Gini Rasio? Ya, itulah kemerataan! Tidak, secara fenomenal filosofis, Gini Rasio tidak ada hubungannya dengan keadilan Sosial!

Sebenarnya para ekonom telah mempunyai suatu model untuk menunjukan apa itu arti keadilan dalam bentuk kesetimbangan Pareto, tapi mereka tidak mau mengaku bahwa homo economicus mustahil bisa mencapai kesetimbangan Pareto, kecuai melalui asumsi masyarakat bersaing sempurna.

Sebenarnya terjadinya Kesetimbangan Pareto hanya mungkin, tanpa loncatan logika dan asumsi yang kurang tepat, kalau manusia itu mendekati model ideal manusia kreatif. Mustahil manusia homo economicus yang mengejar kepuasan pribadi tanpa dalam kesetimbangan Pareto.

Homo Economicus berkejar-kejaran mencari pangkat, mencari harta, tanpa mengindahkan moral. Mereka hanya tunduk pada kekuasaan fisik dalam arti power. Karena itulah mereka berlomba-lomba mencari power. Itulah hakekat dialektika sosial yang kita hadapi dewasa ini. Dalam masyarakat seperti itu bukan kesetimbangan Pareto yang terjadi melainkan kepincangan martabat, yakni bahwa pendapatan seseorang tidak dikaitkan dengan prestasinya, melainkan dengan kekuasaan yang dimilikinya.

Karena itu keadilan sosial hanya bisa dimengerti kalau dikaitkan dengan manusia beragama, manusia kreatif  yang  menjadikan  Al-Fatihah  sebagai  pelita hatinya. Semuanya itu berproses pada adanya manusia pembangunan, tipe manusia untuk Pancasila.

Sekali lagi dimana pertanggungjawaban moral para ilmuwan, para akademisi terhadap ideologi bangsanya.

Pancasila

Mari kita cermati bahwa setelah reformasi di tahun 1998 telah terjadi De-Ideologisasi Pancasila. Kedudukan Pancasila dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dipertanyakan.

Pancasila adalah pandangan hidup (way of life) sekaligus Dasar Negara (secara teori). Setelah 79 tahun kita merdeka, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila masih bersifat laten dan belum manifest dalam kehidupan keseharian rakyat dan masyarakat Indonesia.

Pancasila sebagai ideologi merupakan sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah) yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode yang meliputi metode untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut baik untuk mempertahankan atau menyebarkannya.

Pancasila sebagai ideologi tidak berkehendak melepaskan agama dari kehidupan negara. Pancasila menolak sekularisme dan pada saat yang sama menerima kehadiran seluruh agama yang diakui sebagai rujukan kebaikan dan kebenaran tanpa pemahaman yang utuh dari salah satu agama manapun.

Republik Indonesia menolak negara sekuler dan negara agama sekaligus, Pancasila selalu didefinisikan sebagai landasan dari sebuah negara yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler.

Pancasila adalah sebagai seperangkat nilai yang tepat dan baik bagi bangsa ini. Jika ideologi mempersyaratkan adanya tujuan, adanya nilai yang menjadi rujukan, adanya metodologi. Maka kehadiran metodologi sebuah kebutuhan dan keharusan bagi bangsa ini. Oleh karena itu pemerintah hendaknya segera melahirkan metodenya, untuk disosialisasikan, dicelupkan kepada berbagai lapisan masyarakat.

Para ilmuwan, akademisi dituntut untuk melahirkan interprestasi-interprestasi sebagai wujud pertanggung jawaban moral terhadap ikrar bangsanya, yaitu ”Pancasila”. Betapa kecewanya kita karena susah untuk menemukan tulisan-tulisan yang bertema ”Pertanggungan Jawab Sosial Ilmuwan”. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Pasar Awi Campernik Cimahi, Nikmati Kuliner Tradisional Nuansa Alam

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Bagi para pencinta kuliner yang ingin merasakan suasana berbeda, Pasar Awi Campernik…

24 menit ago

Forkopimda Kabupaten Bandung Bagikan 10.200 Paket Makanan Bergizi untuk Siswa

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Dalam rangka mendukung program pemerintah untuk meningkatkan kesehatan generasi penerus bangsa, Forum…

1 jam ago

Seluk-beluk SNBP dan SNBT 2025: Panduan Penting Bagi Siswa dan Sekolah

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Para siswa kelas XII di seluruh Indonesia kini memasuki tahap penting dalam…

2 jam ago

Unpas Masuk 10 Besar Universitas Terbaik di Jawa Barat Versi UniRank 2024

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Universitas Pasundan (Unpas) kembali mencatatkan prestasi gemilang dengan masuk dalam daftar 10…

3 jam ago

Tingginya Harga Cabai Rawit Merah, Emak-Emak Terpaksa Hemat Pengeluaran

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Harga cabai rawit merah masih melambung tinggi di pasaran, mencapai Rp120 ribu…

4 jam ago

Pengelolaan Sampah Pasar Induk Caringin Jadi Sorotan: Solusi dan Sanksi Menanti

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Masalah pengelolaan sampah di Pasar Induk Caringin kembali menjadi perhatian utama. Terutama…

5 jam ago