Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) – Manusia Makhluk Ekonomi dalam Buku Wawasan Islam
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang dilengkapi dengan fitrahnya, yaitu makhluk yang memiliki jasad dan potensi rohaniah. Yang dimaksud dengan potensi jasad adalah fisik nyata yang dapat dilihat dan diraba. Dalam kaitan jasad ini, manusia disebut basyar, yaitu makhluk fisik yang tumbuh mulai dari bayi, anak-anak, dewasa, tua, dan akhirnya mati.
Sebagai makhluk fisik, manusia membutuhkan sarana untuk hidup, seperti udara, makanan, minuman, dan tempat tinggal. Dalam kehidupan sehari-hari, jasad ini tidak menentukan baik atau buruknya manusia. Artinya, cantik dan jeleknya jasad tidak menentukan baik-buruknya kualitas manusia. Namun demikian, jasad merupakan realita manusia yang pokok. Tanpa jasad, manusia itu bukan manusia. Dengan jasad, aktivitas manusia dapat dipahami dalam ruang dan waktu tertentu. Al-Quran menyebutkan bahwa jasad manusia yang memerlukan makanan dan minuman tidak akan kekal.
Firman Allah SWT.:
“Dan tidaklah Kami jadikan tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan den tidak (pula) mereka ilu orang-orang yang kekal.” (Q.S Al-Anbiya [21] : 8)
Sebagai makhluk yang memiliki jasad atau fisik, manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan fisiknya sebagai makhluk ekonomi, seperti kebutuhan untuk makan, mimum, dan sebagainya. Di samping itu, manusia dituntut pula untuk memenuhi kebutuhan rohaniahnya, berupa ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Kedua kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara seimbang dengan cara bekerja keras berdasarkan aturan-aturan moral yang bersumber pada keyakinan agama.
Manusia adalah makhluk yang sempurna diciptakan Allah untuk mengemban tugas sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifah), yaitu mengelola, memelihara, dan membudidayakan alam sehingga memberikan manfaat bagi manusia dan alam secara keseluruhan. Ini berarti tugas manusia sebagai makhluk ekonomi adalah mengelola sumber daya alam sehingga bernilai ekonomi dan dapat dimanfaatkannya sesuai dengan kaidah dan nilai dasar Ilahiyah. Tugas lainnya adalah ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam konteks ini pemberdayaan sumber daya ekonomi haruslah bermakna ibadah.
Pengelolaan sumber daya alam berkaitan dengan potensi manusia lainnya, yaitu akal. Akal merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia untuk membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, serta yang benar dan yang salah. Optimalisasi potensi ini memberikan peluang bagi manusia untuk menjadi makhluk ekonomi yang beretika. Sebaliknya, pengingkaran pada potensi ini akan membawa manusia pada kebodohan dan kekufuran.
Nilai-nilai etika yang memberi makna bagi perilaku manusia berkaitan dengan penggunaan potensi agama yang dimilikinya. Potensi agama adalah kecenderungan manusia terhadap agama (hanif) yang bersifat potensial kemudian berkembang menjadi kecenderungan pada kebaikan. Dengan potensi ini, manusia selalu mencari sandaran hidup pada agama dan menjadikannya sebagai kebutuhan paling fundamental dan universal. Kebutuhan ini tidak dapat digantikan dengan bentuk-bentuk kebutuhan lainnya, betapa pun manusia berusaha mengingkarinya. Dengan demikian, manusia sebagai makhluk ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya didorong untuk menggunakan akalnya atau berpikir dan bertindak rasional serta melandasinya dengan etika moral sehingga tidak boros dan kikir dan selalu berpedoman kepada nilai-nilai agama. Oleh karena itu, dalam pencapaian kebutuhan itu tidak hanya memuaskan aspek material saja melainkan juga kebahagiaan spiritual. (han)