
Oleh: U Wawan Sam Adinata, Dosen STIE Pasundan (Oligarki)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Oligarki sekarang ini bukan lagi dominasi kaum terpelajar, atau kalimat-kalimat yang berada di ruang kelas atau para aktivis dan pegiat politik saja, tapi sudah menjadi kalimat yang pamiliar dan santer terdengar. Masyarakat sudah terbiasa dan dengan mudah mencari tahu makhluk apa itu oligarki.
Kata oligarki cenderung bernuansa negatif dan bernada sumbang seperti Raja besar bukan Raja kecil, pengendali remote kekuasaan, atau memandang penguasa seperti boneka, rakus dan hanya memperkaya diri sendiri serta menghalalkan segala cara untuk mengeruk kekayaan negara. Benarkah demikian? Ataukah itu hanya prasangka saja?
Dikutip dari laman Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit. Istilah “oligarki” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu “oligos” yang berarti “sedikit” dan “arkhein” yang berarti “memerintah”. Dalam konteks modern, oligarki sering merujuk pada penguasaan oleh sekelompok kecil orang atau entitas yang memiliki kekuatan signifikan atas sumber daya, ekonomi, dan kebijakan negara.
Kembali Mencuat
Belakangan ini oligarki kembali mencuat ke permukaan, khususnya setelah berita pemagaran laut atau PIK 2 yang membuat gaduh republik karena pagar tersebut melibatkan berbagai kekuatan yang selama ini tersembunyi, seolah-olah tutup mata bermunculan.
Kegaduhan tersebut memengaruhi opini publik yang sebelumnya tertidur jadi melek, bahkan meluas menjadi isu nasional yang membakar semangat kebangsaan. Meminjam istilah elite, seolah-olah ada negara dalam negara, artinya bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menyentuh PIK 2, bahkan media TV nasional pun tidak punya akses untuk masuk.
Pendek kata, dalam kasus PIK-2, Presiden Prabowo membatalkan status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk PIK-2, dan menganggap sebagai proyek ilegal yang melibatkan oligarki. Prabowo juga menerbitkan Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang bertujuan untuk mengambil kembali lahan yang dikuasai oleh oligarki secara ilegal, termasuk tertundanya proyek Ibu Kota Negara.
Dalam konteks ini, Prabowo melakukan sebuah tindakan yang sangat berani dan berisiko, tapi seperti pidatonya beberapa waktu lalu bahwa kebijakan tersebut demi kesejahteraan rakyat dan martabatnya, dan aparatur penegak hukum sebagai mesin perangnya harus siap dan berbenah. Apakah Prabowo akan berhasil? Itu tontonan yang menarik ke depan.
Siapa?
Muncul pertanyaan, siapa para oligarki yang dimaksud? Menurut berbagai sumber, mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia. Istilah sederhananya, ketika utang luar negeri kita jatuh tempo, mereka bisa memberikan pinjaman cuma-cuma, atau mereka bisa mengatur dan menentukan siapa presiden di Indonesia dengan jaringannya yang sangat besar.
Banyak orang kaya di Indonesia, sebut saja misalnya Kelompok Bisnis Salim yang dimiliki oleh Liem Sioe Liong, salah satu orang terkaya di Indonesia. Ada juga Kelompok Bisnis Djarum yang dimiliki oleh keluarga Hartono, yang memiliki bisnis di sektor rokok, properti, dan lain-lain. Ada Kelompok Bisnis Bakrie yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, yang memiliki bisnis di sektor energi, pertambangan, dan lain-lain. Mereka juga memiliki bisnis media seperti TV, media online, cetak, dan masih banyak lainnya. Namun demikian, tidak semua orang kaya di Indonesia adalah oligarki.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah Prabowo bisa mengurangi kekuatan oligarki dalam kebijakannya dan mendukung program lima tahun ke depan? Khususnya memerangi kemiskinan rakyat sekaligus meningkatkan kesejahteraan yang sudah lama diimpikan?
Belajar dari Vladimir Putin dan Erdogan
Vladimir Vladimirovich Putin (Putin) adalah Presiden Rusia saat ini yang mendunia karena keberaniannya melawan dominasi Barat di dunia. Dengan berbagai kebijakan politik luar negerinya, Rusia menjadi negara yang disegani baik secara ekonomi, teknologi, maupun militer. Putin menjadi presiden dengan masa jabatan terlama kedua di Eropa setelah Aleksandr Lukashenko, Presiden Belarus, di mana Putin telah menjadi Presiden Rusia sejak 7 Mei 2012.
Sejarah mencatat Putin pernah melawan oligarki di Rusia pada awal masa pemerintahannya. Di mana oligarki memiliki pengaruh sangat besar dalam politik dan ekonomi Rusia. Putin berusaha untuk mengurangi pengaruh mereka dan meningkatkan kendali negara atas ekonomi, khususnya minyak dan gas. Karena dalam kacamata Putin, oligarki adalah ancaman terhadap kekuasaannya dan stabilitas negara.
Selain Rusia, Turki juga memiliki pengalaman serupa dalam memerangi oligarki. Bahkan Turki di era Recep Tayyip Erdogan mirip dengan Indonesia di era Prabowo. Karena keduanya melibatkan figur politik yang kuat dan memiliki latar belakang militer. Keduanya juga melakukan upaya untuk memperkuat kekuasaan eksekutif dan membatasi kekuasaan lembaga lainnya.
Catatan Akhir
Dalam konteks Indonesia, Prabowo sudah melakukan tindakan yang tepat, yaitu membersihkan lembaga penegak hukum. Ini pintu masuknya, karena oligarki dalam praktiknya selalu bermain di wilayah ini. Seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan perampasan aset sebagai finishing-nya.
Benar sekali apa yang diungkapkan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), politikus PDIP yang juga mantan Gubernur DKI, bahwa orang kaya lawan orang miskin, orang miskin kalah. Sedangkan orang kaya melawan pejabat pasti orang kaya jadi miskin. Pejabat dalam hal ini adalah kekuasaan.
Sekali lagi, demi masa depan rakyat yang adil dan sejahtera sesuai amanat Pancasila dan pembukaan UUD 45. Serta amanah para leluhur pendiri NKRI, kesejahteraan milik bersama bukan hanya sekelompok orang. Prabowo akan berhasil, satu pesan: luruskan niat. (han)