BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengidentifikasi dua modus baru dalam peredaran kosmetik ilegal dan berbahaya yang dipasarkan melalui media sosial serta platform daring.
“Ada produk yang mencantumkan nomor izin edar, tetapi bukan dikeluarkan oleh BPOM. Produk tersebut bukan dibuat oleh pabrik resmi, melainkan diproduksi oleh pihak lain yang meniru kosmetik asli, kemudian didistribusikan secara massal,” ungkap Kepala BPOM, Taruna Ikrar, dalam konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (21/2/2025), dilansir dari Antara.
Modus kedua adalah penggunaan etiket biru untuk mengelabui konsumen.
Menurut Taruna, sebagian besar kosmetik ilegal ini merupakan produk impor, yang mencapai 60 persen dari total temuan.
“Etiket biru digunakan tanpa izin edar (TIE), ini adalah cara untuk menipu konsumen dan kami akan menindak tegas praktik ini,” tegasnya.
Hasil Intensifikasi
Berdasarkan hasil intensifikasi pengawasan produk kosmetik ilegal pada 10-18 Februari 2025, Kota Yogyakarta mencatat nilai ekonomi tertinggi dengan Rp11,2 miliar, diikuti oleh:
- Jakarta: Rp10,3 miliar
- Bogor: Rp4,8 miliar
- Palembang: Rp1,7 miliar
- Makassar: Rp1,3 miliar
Secara keseluruhan, BPOM menemukan 91 merek kosmetik ilegal, mayoritas produk impor. Dengan total 4.334 item dan 205.133 unit kosmetik.
Nilai ekonominya mencapai lebih dari Rp31,7 miliar. Dari jumlah tersebut:
- 17,4 persen mengandung bahan berbahaya, termasuk skincare dengan etiket biru yang tidak memenuhi regulasi.
- 79,9 persen tidak memiliki izin edar.
- 0,1 persen merupakan produk injeksi kecantikan.
- 2,6 persen merupakan produk kedaluwarsa.
Taruna menegaskan bahwa BPOM terus melakukan pengawasan dan penindakan dengan menggandeng berbagai pihak. Termasuk kepolisian.
“Kami terus memantau peredaran produk di media sosial. Meski ada keterbatasan anggaran, kami tetap berupaya bekerja secara optimal,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa dari sejumlah kasus yang ditemukan. Empat di antaranya yang berlokasi di Bogor, Makassar, Manado, dan Rejang Lebong akan diproses secara projusticia. Karena mengandung unsur pidana.
“Sementara itu, kasus lainnya akan dikenakan sanksi administratif berupa perintah penarikan produk, pemusnahan, pencabutan izin edar, serta penghentian sementara kegiatan usaha,” tutup Taruna. (han)