
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas (Orang Pintar)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Saya orang pintar. Atau, setidaknya itulah yang dunia ajarkan kepada saya sejak kecil. Kata orang tua, guru, dan sederet gelar akademik yang melekat di belakang nama saya. Saya hafal teori-teori besar dari Plato hingga Foucault, menguasai hukum dari Montesquieu hingga Hans Kelsen, dan bisa mengutip pasal-pasal konstitusi tanpa membuka buku. Orang-orang menyebut saya intelektual, akademisi, bahkan filsuf. Tetapi, di satu titik dalam hidup, saya bertanya: apa makna semua ini? Apakah menjadi orang pintar berarti memahami dunia lebih baik, atau justru terjebak dalam labirin kata-kata yang hanya berputar-putar dalam lingkaran kosong?
Dunia tempat saya tinggal penuh dengan orang-orang pintar. Mereka berdiskusi dengan bahasa yang ruwet, memproduksi istilah-istilah sulit yang seolah menjadi benteng eksklusif bagi kaum cendekia. Mereka membangun teori, menulis jurnal, berdebat di seminar, dan menyusun kebijakan dengan alasan yang tampak masuk akal. Tetapi dunia, seperti yang kita lihat setiap hari, tetap saja absurd. Orang miskin tetap miskin, keadilan tetap elusif, dan politik tetap kotor. Jika begitu, apa gunanya kepintaran?
Saya ingat seorang teman lama, bukan orang pintar. Ia tidak memiliki gelar, tidak membaca buku-buku berat, bahkan tidak terlalu fasih berbicara. Tapi ia paham kehidupan dengan cara yang sederhana. Ketika kami berbicara tentang demokrasi, ia tidak mengutip Tocqueville atau Habermas, melainkan hanya berkata, “Demokrasi itu kalau orang kecil bisa hidup tenang.” Ketika saya bertanya tentang keadilan, ia tidak berbicara soal konsep Rawls atau Dworkin, tapi hanya berkata, “Kalau maling kecil dihukum, maling besar juga harus dihukum.”
Dan saya terdiam.
Orang-orang pintar di negeri ini sering kali berbicara tentang rakyat, tentang keadilan, tentang demokrasi, tapi mereka tetap berada di menara gading. Mereka menulis buku yang hanya dibaca oleh sesama orang pintar. Mereka berdebat dengan logika yang hanya dipahami segelintir orang. Sementara itu, orang-orang biasa tetap berjalan dengan hidupnya, berusaha bertahan dalam sistem yang tidak mereka buat tetapi harus mereka patuhi.
Lalu saya bertanya lagi: apakah kita terlalu sibuk menjadi pintar hingga lupa menjadi manusia? Apakah kita, para intelektual, justru menjauh dari realitas dengan dalih pemikiran yang tinggi?
Sejarah mencatat, banyak orang pintar yang gagal memahami manusia. Para teknokrat merancang kebijakan ekonomi yang justru memperparah ketimpangan. Para ahli hukum menyusun regulasi yang justru mengaburkan keadilan. Para akademisi sibuk meneliti sesuatu yang tak pernah benar-benar menyentuh kehidupan nyata. Dan di tengah semua itu, kita terus memuja kecerdasan sebagai solusi segala hal, padahal dunia membuktikan sebaliknya.
Lihatlah para pemimpin kita. Mereka semua pintar. Mereka lulusan universitas ternama, punya gelar panjang, pernah mengisi forum-forum internasional. Tapi apakah negeri ini lebih baik? Apakah kepintaran mereka menyelamatkan demokrasi dari kehancuran? Apakah mereka membawa hukum lebih dekat kepada keadilan? Atau mereka hanya menggunakan kepintaran sebagai alat untuk membenarkan kepentingan sendiri?
Socrates pernah berkata bahwa kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa. Tapi dunia modern mengajarkan sebaliknya. Kita diajarkan untuk merasa tahu segalanya, untuk merasa lebih unggul karena bisa mengutip lebih banyak teori, untuk merasa benar karena memiliki lebih banyak data. Namun, semakin banyak saya belajar, semakin saya sadar bahwa dunia bukan hanya soal logika dan argumen. Dunia adalah soal manusia, dan manusia lebih kompleks dari sekadar angka dan teori.
Kepintaran
Saya orang pintar, tapi saya ingin belajar menjadi manusia. Saya ingin bicara dengan bahasa yang dipahami orang banyak, bukan hanya dengan sesama orang pintar. Saya ingin mengerti bahwa kebijaksanaan tidak hanya datang dari buku, tetapi juga dari kehidupan itu sendiri. Saya ingin percaya bahwa perubahan tidak hanya dimulai dari ruang akademik, tetapi dari hati yang peduli dan kaki yang mau melangkah ke realitas.
Kepintaran semestinya menjadi alat untuk memahami manusia, bukan memisahkan mereka. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Orang-orang pintar membangun batas, menciptakan elitisme yang membuat orang lain merasa kecil. Kita menulis dengan jargon yang sulit, berbicara dengan struktur yang berliku, seolah kepintaran harus terkesan sulit agar terlihat berharga. Tetapi, apakah kepintaran sejati harus seperti itu? Ataukah ia justru tentang bagaimana kita menyederhanakan hal-hal yang rumit?
Saya melihat bagaimana orang-orang di desa berbicara tentang hukum dengan lebih jernih daripada para akademisi. Mereka tidak memerlukan teori-teori besar untuk memahami bahwa keadilan harus berpihak pada yang lemah, bahwa hukum harus menjadi alat perlindungan, bukan sekadar teks yang mati. Saya melihat bagaimana petani memahami ekonomi lebih baik daripada para ekonom, karena mereka tahu harga pupuk, hasil panen, dan bagaimana pasar menentukan kehidupan mereka. Lalu, di mana posisi kita, para orang pintar?
Dunia ini tidak membutuhkan lebih banyak orang pintar. Dunia ini butuh lebih banyak orang yang bisa memahami, lebih banyak orang yang bisa mendengar, lebih banyak orang yang bisa melihat keadilan tidak hanya sebagai konsep, tetapi sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan.
Saya tidak ingin hanya menjadi orang pintar. Saya ingin menjadi manusia yang mengerti manusia lain. Saya ingin belajar dari kehidupan, bukan hanya dari buku. Saya ingin berbicara dalam bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang, bukan hanya oleh segelintir orang dalam ruang seminar.
Mungkin, kepintaran sejati bukan tentang seberapa banyak yang kita tahu, tetapi seberapa dalam kita memahami. Dan jika itu benar, mungkin selama ini saya hanya sekadar pintar, tetapi belum benar-benar bijaksana.
Dan perjalanan itu baru saja dimulai. (han)