
Paradoks Indonesia, Masyarakat Religius, tapi Korupsi Merajalela.
Oleh: Firdaus Arifin
Dosen Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat.
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Indonesia adalah negara yang religius. Setidaknya, itulah yang tergambar dari hasil berbagai survei tentang tingkat kepercayaan masyarakat terhadap agama. Data Pew Research Center, misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen warga Indonesia menganggap agama sebagai aspek penting dalam kehidupan mereka. Namun, ada ironi yang sulit diabaikan: di tengah kuatnya nilai-nilai religius, Indonesia tetap berkutat dalam persoalan korupsi yang seakan tak kunjung surut.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34. Skor ini lebih buruk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan. Sementara itu, negara-negara yang justru dikenal dengan tingkat religiusitas yang lebih rendah, seperti Denmark (skor 90) dan Finlandia (skor 88), justru lebih bersih dari praktik korupsi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa masyarakat yang mengaku religius masih begitu permisif terhadap korupsi? Bagaimana mungkin nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi benteng kejujuran justru tak mampu menahan laju praktik koruptif?
Ketimpangan antara Keyakinan dan Perilaku
Religiusitas sering kali diukur dari aspek ritual, seperti rajinnya seseorang beribadah atau ketatnya penerapan aturan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, aspek moralitas dalam kehidupan sosial justru sering terabaikan. Masyarakat mungkin rajin beribadah, tetapi dalam praktik sehari-hari, banyak yang tetap mencari celah untuk melakukan kecurangan demi kepentingan pribadi.
Sebagai contoh, dalam studi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan bahwa banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi tetap menggunakan simbol-simbol agama untuk membangun citra diri. Mereka mengawali pidato dengan ayat suci, berbicara tentang nilai-nilai kebaikan, tetapi dalam praktiknya, mereka juga menilep uang rakyat.
Ini menunjukkan adanya fenomena “double standard morality” atau moralitas ganda—di mana seseorang bisa tampak religius di satu sisi, tetapi tetap permisif terhadap praktik korupsi di sisi lain. Religiusitas akhirnya hanya menjadi identitas, bukan kesadaran moral yang membentuk integritas.
Korupsi yang Berakar dalam Budaya
Di Indonesia, korupsi bukan sekadar persoalan individu, melainkan persoalan sistemik yang telah berakar dalam budaya birokrasi dan politik. Dari urusan administrasi sederhana hingga proyek-proyek bernilai triliunan rupiah, praktik suap dan gratifikasi sudah dianggap sebagai hal yang “biasa”
Dalam banyak kasus, korupsi bahkan dilegitimasi dengan dalih kebaikan. “Ini bukan korupsi, hanya bagian dari rezeki,” begitu dalih yang kerap muncul di lapangan. Tak jarang, hasil dari praktik korupsi pun digunakan untuk kepentingan keagamaan, seperti menyumbang masjid atau mendanai kegiatan sosial. Alih-alih dianggap sebagai tindakan kriminal, korupsi justru diterima sebagai bagian dari kehidupan yang sulit dihindari.
Celakanya, sikap permisif terhadap korupsi ini tidak hanya terjadi di kalangan pejabat, tetapi juga di level masyarakat. Masyarakat yang seharusnya menjadi pengawas justru sering kali terjebak dalam mentalitas pragmatis. Ketika pemimpin yang mereka dukung tersandung kasus korupsi, bukan kritik yang muncul, tetapi pembelaan.
Lemahnya Penegakan Hukum dan Ketidakpercayaan Publik
Di banyak negara dengan tingkat korupsi rendah, keberhasilan mereka bukan hanya karena faktor budaya atau tingkat religiusitas, tetapi juga karena sistem hukum yang kuat. Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru, misalnya, memiliki mekanisme penegakan hukum yang tegas dan transparan, sehingga korupsi bisa dicegah sejak dini.
Indonesia, sebaliknya, masih berkutat dalam masalah penegakan hukum yang inkonsisten. Kasus-kasus besar kerap berakhir dengan vonis ringan atau remisi yang mencederai rasa keadilan publik. Tak jarang, para pelaku korupsi masih bisa menikmati fasilitas istimewa di dalam tahanan. Hal ini semakin memperkuat persepsi bahwa hukum di Indonesia lebih berpihak pada yang berkuasa, bukan pada keadilan itu sendiri.
Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum pun terus menurun. Dalam survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), kepercayaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus merosot setelah berbagai revisi regulasi yang dianggap melemahkan lembaga tersebut. KPK yang dulu dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi, kini justru kerap dikritik karena kehilangan taringnya.
Pendidikan Moral yang Bukan Sekadar Dogma
Lalu, bagaimana jalan keluar dari paradoks ini? Pertama, perlu ada reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan moral. Pendidikan agama tidak boleh hanya berhenti pada ritualisme, tetapi harus menanamkan nilai-nilai integritas secara lebih substansial.
Agama semestinya bukan sekadar simbol atau identitas, melainkan menjadi fondasi dalam membangun karakter yang berorientasi pada kejujuran dan keadilan. Sejak dini, anak-anak harus diajarkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga dosa sosial yang merusak kehidupan banyak orang.
Kedua, reformasi birokrasi dan politik harus dilakukan secara lebih serius. Salah satu alasan mengapa korupsi terus berulang adalah karena sistem yang memberikan terlalu banyak celah bagi pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan. Digitalisasi layanan publik, transparansi anggaran, serta penguatan lembaga pengawas harus menjadi prioritas.
Ketiga, masyarakat harus lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika ingin perubahan, publik tidak bisa lagi bersikap permisif terhadap korupsi. Mentalitas “yang penting saya tidak kena dampaknya” harus ditinggalkan. Korupsi bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara.
Menjadi Religius yang Berintegritas
Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang religius. Tetapi, yang kita butuhkan adalah religiusitas yang membumi dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata. Religiusitas yang tidak hanya tampak dalam doa dan ibadah, tetapi juga dalam kejujuran, keadilan, dan keberanian untuk menolak korupsi.
Jika kita ingin Indonesia benar-benar bersih dari korupsi, maka menjadi religius saja tidak cukup. Kita harus berani menjadi masyarakat yang berintegritas—karena pada akhirnya, agama sejatinya tidak diukur dari seberapa sering kita berdoa, tetapi dari bagaimana kita bersikap dalam menghadapi godaan ketidakjujuran.
Korupsi bukan hanya kejahatan terhadap hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi. Dan selama kita masih mendiamkannya, selama itu pula kita menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.