Dr. H. Iyus Suryana, S.H., M.H.
Sekretaris Kepaniteraan Mahkamah Agung (MA)
Korupsi, sudah mengakar di Indonesia
Hari ini kita membicarakan korupsi, sebenarnya bukan bentuk dan pola kejahatan yang baru ada,
korupsi apabila kita mempelajari sejarahnya merupakan bentuk kejahatan yang telah eksis sejak perkembangan peradaban manusia di dunia.
Praktik korupsi tidak hanya terjadi di era modern (saat ini) saja, tetapi telah berlangsung sejak zaman kerajaan.
Saya membaca sejarah Nusantara, berbagai catatan menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan pribadi telah menjadi fenomena yang berulang.
Misalnya, pada era kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, terdapat laporan mengenai pejabat kerajaan yang
melakukan malversasi (Inggris: malversation) merupakan sekumpulan tindakan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan untuk melakukan penggelapan atau penyalahgunaan dana publik.
Tindakan tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan pajak rakyat untuk kepentingan pribadi atau memperkaya keluarga mereka.
Kemudian, setelah zaman kerajaan di Nusantaa hancur, pada masa kolonial, praktik korupsi semakin sistemik
(systemic corruption) dengan adanya cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dan perdagangan gelap (illegal trade) yang melibatkan pejabat lokal maupun kolonial.
Tidak berhenti di masa kolonial, pasca kemerdekaan Indonesia, korupsi tetap menjadi permasalahan struktural yang sulit diberantas.
Pada era Orde Lama, berbagai kasus korupsi mulai terbuka seiring dengan krisis ekonomi nasional.
Kemudian, pada masa Orde Baru, praktik korupsi berkembang menjadi lebih kompleks dengan munculnya
oligarki ekonomi (economic oligarchy) yang menguasai berbagai sektor strategis.
Kemudian beralih ke era Reformasi – 1998 yang menggulingkan rezim Orde Baru diharapkan menjadi titik awal bagi pemberantasan korupsi.
Namun, dalam kenyataannya, praktik korupsi tetap bertahan dan semakin berkembang dengan modus yang lebih canggih (sophisticated modus operandi).
Apakah kejahatan korupsi terhenti begitu saja?, tidak dan ternyata hingga detik ini, sampai tulisan ini terbit
(di PAS JABAR), korupsi masih menjadi ancaman serius bagi tata kelola pemerintahan (governance) dan stabilitas ekonomi nasional.
Dalam rentang waktu 2020 hingga 2025, berbagai kasus korupsi berskala besar telah terungkap dengan nilai kerugian negara yang sangat signifikan.
Kasus-kasus ini melibatkan berbagai sektor strategis, mulai dari pertambangan, keuangan, perkebunan, hingga infrastruktur telekomunikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam
aspek penegakan hukum (law enforcement) dan penguatan transparansi (transparency enforcement) di berbagai lini pemerintahan.
Korupsi terbesar 2020 – 2025
Di Indonesia kejahatan korupsi masih menjadi persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan dan perekonomian Indonesia.
Saya mengamati dalam rentang waktu 2020 – 2025, berbagai kasus korupsi besar telah terungkap (atau memang di ungkap secara sengaja), baik oleh KPK maupun oleh Kejaksaan dengan nilai kerugian negara yang sangat pantastik, melibatkan berbagai sektor strategis seperti pertambangan, keuangan, perkebunan, hingga infrastruktur telekomunikasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa praktik korupsi masih bersifat sistemik dan melibatkan aktor-aktor di tingkat tinggi, baik dari kalangan pemerintahan maupun swasta.
Kasus korupsi terbesar yang terjadi dalam periode ini adalah kasus tata niaga timah di PT Timah Tbk (2015-2022), yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun.
Kasus ini melibatkan penyalahgunaan izin usaha pertambangan di wilayah Bangka Belitung dan menimbulkan dampak ekologis yang serius akibat eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara tidak bertanggung jawab.
Sebelumnya sudah terungkap skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (1997-2021) masih menjadi permasalahan yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Kasus ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp138,44 triliun, akibat penyalahgunaan dana bantuan oleh para obligor dan debitur.
Meskipun kasus ini telah diungkap sejak krisis ekonomi 1997 – 1998, penyelesaiannya baru kembali dilakukan dengan sangat intensif oleh Aparat Penegak Hukum (APH)pada tahun 2021.
Di sektor perkebunan, kasus korupsi PT Duta Palma Group (2003-2022) menunjukkan bagaimana perusahaan besar dapat menyalahgunakan izin pengelolaan lahan secara ilegal.
Di taksir total kerugian negara mencapai Rp. 104,1 triliun, kasus ini melibatkan penguasaan lahan seluas 37.095 hektare di Provinsi Riau tanpa izin resmi.
Kemudian, kejahatan korupsi di sektor keuangan juga menjadi perhatian serius, khususnya skandal PT Asabri
(2012-2019) dan PT Jiwasraya (2008-2018), yang masing-masing menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 22,7 triliun dan Rp. 16,8 triliun.
Kedua kasus ini berkaitan dengan investasi fiktif, manipulasi nilai saham, serta praktik korupsi yang merugikan nasabah dan keuangan negara.
Pada sektor perdagangan, kasus penyelewengan izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) (2021-2022) turut mengungkap adanya praktik korupsi dalam kebijakan perdagangan nasional.
Skandal ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 12 triliun, di mana izin ekspor CPO diberikan secara
tidak sah kepada perusahaan – perusahaan tertentu, sehingga menghambat ketersediaan minyak goreng di dalam negeri.
Kasus korupsi proyek pembangunan BTS 4G oleh BAKTI Kominfo (2020-2022) juga menjadi perhatian besar, dengan kerugian negara mencapai Rp. 8 triliun.
Proyek yang bertujuan untuk membangun jaringan telekomunikasi di daerah terpencil ini justru menjadi sarana penyelewengan dana oleh pejabat tinggi negara dan pihak swasta.
Selain kasus di tingkat nasional, korupsi juga terjadi dalam lingkup pemerintahan daerah. Kasus dugaan korupsi
di Kementerian Pertanian (2023) serta penyalahgunaan dana hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (2023)
mencerminkan bagaimana praktik korupsi tidak hanya terjadi dalam proyek berskala besar, tetapi juga dalam kebijakan daerah.
Meskipun angka kerugian negara dalam dua kasus ini belum diumumkan secara resmi, pola yang terungkap
menunjukkan adanya praktik pemerasan, gratifikasi, serta penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan anggaran negara.
Serangkaian kasus di atas memperlihatkan bahwa korupsi masih menjadi tantangan besar dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Dampak dari tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada hilangnya keuangan negara, namuan dampak terbesarnya adalah menghambat pertumbuhan ekonomi, memperburuk ketimpangan sosial, serta menurunkan kredibilitas institusi pemerintahan.
Maka atas dasar tersebut, diperlukan langkah konkret dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk melalui reformasi hukum, penguatan pengawasan terhadap kebijakan publik, serta penerapan sanksi yang lebih tegas terhadap pelaku korupsi guna menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.
Retributivisme tanpa Optimalisasi Perampasan Aset
Korupsi di Indonesia bukan sekadar kejahatan finansial atau kejahatan berdimensi keuangan semata, tetapi telah menjadi penyakit struktural yang mengakar sejak zaman kerajaan hingga era modern.
Siklus ini akan terus berlanjut, entah sampai kapan akan berhenti pada satu titik kedamaian. 2025 di era Kepemimpinan Prabowo diharapan praktek – praktek korupsi dapat terselesaikan dengan berakhir pada keadilan sosial.
Sejarah mencatat bahwa penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi telah berlangsung lama, bahkan sebelum konsep negara modern terbentuk.
Seiring dengan perkembangan zaman, praktik korupsi tidak berkurang, melainkan semakin canggih dan melibatkan aktor-aktor dengan posisi strategis dalam pemerintahan maupun sektor swasta.
Meskipun berbagai kebijakan dan regulasi telah diterapkan untuk menekan laju korupsi, realitas menunjukkan bahwa penegakan hukumnya masih jauh dari kata efektif.
Berdasarkan data yang dapat di akses oleh sosial media, dalam lima tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh berbagai skandal korupsi berskala besar yang menelan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Sebagaimana uraian di atas, misalnya korupsi di PT Asabri dan PT Jiwasraya yang terjadi dalam rentang tahun 2020–2021, yang menyebabkan kerugian negara mencapai lebih dari Rp. 40 triliun.
Kasus ini melibatkan skema investasi fiktif dan manipulasi pasar modal yang dilakukan oleh sejumlah petinggi perusahaan asuransi negara bekerja sama dengan pihak swasta.
Meski beberapa terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup, permasalahan utama yang masih mengemuka adalah ketidakmampuan negara dalam mengembalikan seluruh aset yang telah dikorupsi.
Sejumlah aset berhasil disita, tetapi nilainya masih jauh dari total kerugian yang diderita negara, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas mekanisme asset recovery dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Pemberintaan mulai di ramaikan pada pertengahan tahun 2024, skandal tata niaga timah ternyata mengalahkan rekor korupsi yang pernah ada, diperkirakan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 271 triliun.
Korupsi ini melibatkan praktik monopoli dan manipulasi harga komoditas oleh aktor-aktor yang memiliki kedekatan dengan penguasa.
Dalam kasus ini, penindakan hukum masih terbatas pada beberapa pelaku utama, sementara jaringan yang lebih luas masih belum tersentuh.
Selain itu, meskipun proses penyidikan telah berjalan, tidak ada jaminan bahwa aset hasil korupsi dapat dipulihkan sepenuhnya.
Seperti halnya dalam kasus Asabri dan Jiwasraya, aset yang telah dialihkan ke luar negeri menjadi hambatan utama dalam proses pemulihan keuangan negara.
Pemberantasan korupsi saat ini masih berorientasi pada pendekatan retributive justice, yang lebih menitikberatkan pada penghukuman pelaku tanpa diimbangi dengan strategi efektif dalam pemiskinan koruptor.
Hukuman berat seperti penjara seumur hidup memang memberikan efek represif, tetapi tidak cukup untuk menghilangkan insentif bagi pelaku lain untuk melakukan korupsi.
Pada praktiknya, masih banyak celah yang memungkinkan koruptor tetap menikmati hasil kejahatannya, baik melalui pencucian uang, penempatan aset pada nominee, maupun pengalihan kekayaan ke luar negeri.
Sistem hukum Indonesia belum memiliki mekanisme perampasan aset yang dapat berjalan secara independen dari proses pemidanaan.
Di banyak negara, perampasan aset dapat dilakukan melalui mekanisme non-conviction based asset forfeiture, di mana negara dapat menyita aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, dalam sistem hukum Indonesia, proses perampasan aset masih harus melewati tahapan panjang yang sering kali memberikan ruang bagi pelaku untuk menghilangkan atau menyamarkan aset mereka sebelum dapat disita.
Lemahnya kebijakan pemiskinan koruptor juga semakin diperparah dengan adanya praktik remisi dan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada terpidana korupsi.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku yang divonis dengan hukuman berat tetap dapat mengajukan remisi sehingga masa tahanannya menjadi jauh lebih singkat.
Inilah realitas sebenarnya, semakin memperburuk persepsi publik terhadap sistem peradilan pidana, yang seolah memberikan privilese bagi koruptor dibandingkan dengan pelaku kejahatan lain.
Di sisi lain, masih banyak mantan narapidana korupsi yang setelah bebas kembali menduduki jabatan publik tanpa ada regulasi yang tegas untuk mencegah mereka kembali berkuasa.
Artinya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan untuk mendekatkan hukuk kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara seharusnya tidak hanya berfokus pada penghukuman individu, tetapi juga harus memastikan bahwa seluruh aset yang diperoleh secara ilegal dapat disita dan dikembalikan ke kas negara.
Regulasi yang lebih tegas mengenai larangan bagi mantan koruptor untuk kembali ke ranah politik dan birokrasi juga harus segera diterapkan untuk mencegah siklus korupsi berulang.
Jika pendekatan hukum pidana tidak mengalami reformasi yang signifikan, maka korupsi akan tetap menjadi fenomena yang mengakar, dengan para pelaku yang terus mencari celah untuk menghindari pertanggungjawaban hukum.
Menuju Follow the Money atau Follow the Assets
Melihat rentetan kejahatan korupsi di Indonesia rentang waktu 2020 – 2025, saya melihat sebagai masalah kronis yang terus berulang dari waktu ke waktu, apakah ini warisan sejarah?, terlepas dari kondisi ini, korupsi harus berakhir.
Sebab dampaknya adalah merugikan keuangan negara dan menghambat kesejahteraan masyarakat.
Memang ada banyak berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memberantasnya, praktik korupsi justru semakin berkembang dengan pola yang lebih kompleks dan melibatkan banyak aktor, baik di sektor pemerintahan maupun swasta.
Berbanding terbalik dengan hal tersebut, penegakan hukum yang selama ini diterapkan masih berorientasi pada penghukuman individu pelaku (follow the suspect) tanpa dibarengi upaya serius untuk menyita dan mengembalikan aset yang mereka peroleh secara ilegal, secara tidak sah.
Akibatnya, meskipun divonis bersalah dan menjalani hukuman penjara, banyak koruptor yang tetap dapat menikmati hasil kejahatannya, baik secara langsung maupun melalui jaringan keluarga atau kolega yang menerima limpahan aset tersebut.
Alternatif yang harus di pertimbangkan sebagai model pendekatan yang lebih efektif dalam penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi adalah merubah pola strategi menjadi follow the money atau follow the assets, dengan cara menelusuri, membekukan, dan menyita seluruh aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Dengan pendekatan ini, negara tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan bahwa kerugian yang ditimbulkan dapat dipulihkan.
Jika praktik ini diterapkan secara konsisten, maka kejahatan korupsi tidak lagi menjadi pilihan yang menguntungkan karena pelaku akan kehilangan seluruh hasil kejahatannya.
Pemiskinan Koruptor untuk solusi utama
Teori penegakan hukum, Robert D. Cooter & Michael D. Gilbert memandang bahwa pencegahan kejahatan hanya dapat efektif jika hukuman yang dijatuhkan lebih berat daripada keuntungan yang diperoleh pelaku.
Artinya, apabila dalam kejahatan korupsi hanya tertuju kepada model positivisme hukum belaka, maka hukuman
penjara saja tidak cukup jika masih ada celah bagi koruptor untuk menyimpan atau menikmati hasil kejahatannya setelah keluar dari penjara.
Sederhana idenya bahwa, konsep pemiskinan koruptor menjadi salah satu solusi yang harus diadopsi secara serius agar praktik korupsi benar-benar dapat diberantas.
Setidaknya saya memiliki catatan terhadap langkah yang dapat dilakukan untuk diimpelentasikan terhadap pemiskinan koruptor, yakni dengan cara;
1.Perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture)
Model ini memungkinkan penyitaan aset yang diduga berasal dari kejahatan korupsi, sejak kasus di tangani oleh
Kejaksaan atau KPK dan dilakukan penyidikan dan penyelidikan, tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Alasan mengapa harus menggunakan pola ini, sebab selama ini, banyak aset hasil korupsi yang tidak dapat
dijangkau karena proses hukum yang berlarut-larut. Dengan pendekatan ini, negara dapat segera membekukan
dan menyita aset yang mencurigakan sebelum dialihkan ke pihak lain atau hilang dari jangkauan hukum.
2.Memperkuat mekanisme pembuktian terbalik
Saat ini, aturan pembuktian terbalik di Indonesia masih lemah dan menemukan prosesnya tidak efektif dalam menelusuri aset yang diperoleh dari hasil korupsi.
Dalam sistem yang lebih ketat, seluruh kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara sah oleh terdakwa harus dianggap sebagai hasil dari kejahatan dan otomatis disita oleh negara.
Dengan demikian, beban pembuktian tidak lagi berada di tangan penegak hukum, tetapi pada pelaku yang harus membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara legal.
3.Menindaklanjuti aset yang telah dialihkan ke pihak ketiga
Salah satu modus utama yang digunakan oleh koruptor adalah mengalihkan aset kepada keluarga, teman, atau jaringan bisnis untuk menghindari penyitaan.
Untuk mengatasi modus atau / pola korupsi ini, hukum harus memungkinkan penyitaan terhadap aset yang diduga dialihkan dengan cara yang mencurigakan.
Dalam beberapa sistem hukum yang lebih maju, jika seseorang menerima aset dari pelaku korupsi dan tidak
dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah, maka aset tersebut dapat disita oleh negara.
4.Memperkuat kerja sama internasional dalam pemulihan aset
Banyak kasus korupsi besar di Indonesia yang melibatkan penyimpanan dana di luar negeri, baik melalui rekening bank, investasi, maupun aset properti.
Tanpa koordinasi internasional yang kuat, pelacakan dan pemulihan aset ini akan sulit dilakukan. Maka atasa
dasar pola ini, Negara Indonesia harus memperkuat kerja sama dengan lembaga global seperti financial action
task force (FATF) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) agar aset hasil korupsi yang disimpan di luar negeri dapat segera ditelusuri dan dikembalikan ke negara.
Mendesaknya Pengesahan RUU Perampasan Aset
Terlepas dari kasus – kasus besar di atas yang penulis sampaikan, data dari ICW pada tahun 2022, tercatat ada
612 tersangka kasus korupsi dengan total potensi kerugian negara mencapai Rp. 33,6 triliun.
Artinya angka yang begitu besar ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang ada saat ini masih belum cukup efektif dalam mengembalikan aset yang dirampas oleh para pelaku korupsi.
Tanpa adanya mekanisme yang jelas dan tegas untuk menyita aset hasil kejahatan, praktik korupsi berisiko terus
berulang, sementara pemulihan aset yang telah disembunyikan oleh koruptor menjadi semakin sulit dilakukan.
Melalui pengesahan RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menjadi solusi atas persoalan ini. Regulasi ini akan
menutup kekosongan hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan (koruptor) agar mereka bisa menghindari penyitaan aset hasil korupsi.
Melalui aturan yang lebih jelas, aset yang diperoleh secara tidak sah dapat dirampas tanpa harus menunggu
proses peradilan pidana yang sering kali berlarut-larut dan penuh dengan tantangan hukum yang kompleks.
Kita harus mengakui RUU Perampasan Aset telah mendapat dukungan dari berbagai pihak, tetapi pada realitasnya sampai detik ini belum ada kepastian kapan regulasi ini akan disahkan.
Padahal, urgensinya sangat jelas, saya melihatnya jika tanpa instrumen hukum yang kuat, upaya pemberantasan
kejahatan korupsi akan terus menghadapi hambatan, terutama dalam aspek pemulihan aset negara yang hilang.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus menunjukkan komitmen nyata dengan mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU ini.
Saran untuk Pemerintah dan DPR
Melihat kronisnys kejahatan korupsi saat ini, maka relasi Pemerintah dan DPR harus terjamin tanpa konflik
kepentingan. Harus segera mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen hukum yang efektif dalam memutus mata rantai korupsi di Indonesia.
Mengepa harus segera, sebab tanpa aturan yang jelas, koruptor terus bebas menyembunyikan dan menikmati hasil kejahatannya, sementara negara dan rakyat terus dirugikan.
Korupsi bukan sekadar kejahatan biasa, ini adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Setiap rupiah yang dikorupsi
adalah hak masyarakat yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan bangsa.
Jika regulasi ini terus tertunda, artinya negara membiarkan koruptor tetap berkuasa atas harta yang seharusnya dikembalikan kepada publik.
Saya mengusulkan sejatinya pengesahan RUU perampasan aset harus menjadi prioritas utama dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tanpa aturan ini, pemulihan aset hasil korupsi akan selalu terhambat oleh proses hukum yang panjang dan penuh celah. Jangan biarkan keadilan tersandera oleh birokrasi yang lamban dan kepentingan segelintir pihak.
Tulisan ini hanya sedikit keluh kesah penulis, sejatinya penulis tidak sepatutnya hanya berbicara tentang
komitmen antikorupsi belaka, tetapi membuktikannya dengan tindakan nyata, tindakan yang dekat nilai – nilai keadilan sosial.
Penulis mengajak jangan biarkan Indonesia terus menjadi surga bagi para koruptor. Segera sahkan RUU Perampasan Aset…..! (*)
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR
# PERAMPASAN ASET KORUPTOR