BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sebanyak sembilan anggota Senat Akademik (SA) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) segera merevisi Peraturan MWA Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pemilihan Rektor UPI periode 2025–2030.
Mereka menilai aturan tersebut berpotensi menciptakan konspirasi, melanggar nilai demokrasi, dan bertentangan dengan Statuta UPI.
Anggota SA UPI, Prof. Elly Malihah, menyoroti Pasal 17 dalam peraturan itu yang mengatur mekanisme penyaringan bakal calon rektor menjadi tiga calon menggunakan sistem one person three vote.
“Metode ini menggiring permufakatan konspiratif untuk meloloskan calon kartel dan mengenyampingkan calon potensial lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pengalaman sebelumnya dalam pemilihan anggota MWA UPI yang menggunakan metode one person nine vote.
“Kami awalnya pesimis proses ini akan berlangsung demokratis dan adil. Tapi ketika Ketua MWA UPI Nanan Soekarna mencanangkan slogan values for value, full commitment, no conspiracy, kami kembali berharap,” ungkap Elly.
Sembilan anggota SA tersebut kemudian menyurati Ketua MWA dan akhirnya bertemu pada 15 April 2025 di University Center UPI.
Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan keberatan terhadap berkurangnya porsi suara Menteri dari seharusnya 35 persen menjadi hanya satu suara dalam tahap penyaringan.
“Jika suara Menteri hanya satu, maka hak istimewa 35 persen yang diatur dalam Statuta UPI tidak berlaku. Ini cacat hukum,” tegas Elly.
Ia mendesak Pasal 17 diubah menjadi one person one vote, serta mengembalikan proporsi suara Menteri sesuai ketentuan.
Guru besar manajemen UPI, Prof. Nugraha, juga menilai sistem one person three vote mengancam prinsip demokrasi.
“Ini membuka ruang konspirasi kekuasaan. Voting bisa dikunci sebelum musyawarah berlangsung. Ini pengkhianatan terhadap keadilan representatif,” katanya.
Ia juga menyerukan reformasi menyeluruh terhadap sistem pemungutan suara di UPI, termasuk dalam pemilihan anggota SA dan MWA serta calon rektor.
“Jika satu orang bisa punya tiga atau sembilan suara, di mana keadilan bagi civitas akademika lainnya?” pungkasnya. (uby)











