Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Dedi Mulyadi – Erwan)
WWW.PASJABAR.COM – Ketika pemilihan kepala daerah dilangsungkan, publik tak sekadar memilih figur. Mereka memilih pasangan. Gubernur dan wakil gubernur, dalam satu paket, diharapkan menjadi duet yang saling melengkapi: satu memimpin, yang lain mendampingi dan mengawal. Namun, di Jawa Barat, duet itu terlihat timpang. Terlalu timpang. Yang tersisa hanya monolog. Pemerintahan berubah menjadi panggung tunggal. Dedi Mulyadi, sang gubernur, memainkan semua peran. Sementara Erwan Setiawan, wakilnya, perlahan memudar menjadi bayang-bayang samar.
Ini bukan sekadar narasi politik. Ini kegelisahan atas gaya kepemimpinan yang semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi kolaboratif dan pemerintahan yang partisipatif. Jawa Barat, provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia, tengah dipimpin dengan pendekatan yang lebih menyerupai panggung personal ketimbang panggung publik.
One Man Show di Tanah Pasundan
Dedi Mulyadi bukan sosok baru dalam dunia politik. Ia dikenal piawai memainkan imaji kepemimpinan populis: turun langsung, berbicara dengan bahasa rakyat, dan mendramatisasi kebijakan lewat media sosial. Pendekatannya yang khas, kerap dianggap merakyat. Namun, dalam tubuh birokrasi modern, gaya ini bisa menjadi pisau bermata dua.
Sejak resmi menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat pada Februari 2025, Dedi bergerak cepat mengambil kendali. Ia tak hanya memimpin, tapi juga mengeksekusi, mengawasi, bahkan mengiklankan kebijakannya sendiri. Dari kanal YouTube hingga akun Instagram, aktivitas Dedi seolah tak pernah absen. Ia adalah gubernur, sekaligus narator, sekaligus sutradara.
Namun di balik sorotan kamera itu, pertanyaan besar muncul: di mana peran wakil gubernur?
Wakil Gubernur yang Terabaikan
Erwan Setiawan, politisi yang mendampingi Dedi dalam Pilkada 2024, nyaris tak terdengar. Ia hadir dalam struktur, tetapi absen dalam kewenangan. Nyaris tak ada penugasan strategis, tidak ada kebijakan yang dibawanya, dan tidak terlihat upaya memperkuat posisinya sebagai bagian dari eksekutif daerah. Jika bukan karena wajahnya terpampang di baliho resmi, masyarakat mungkin lupa bahwa Jawa Barat punya wakil gubernur.
Ketiadaan peran wakil gubernur ini bukan hanya soal relasi personal dua tokoh. Ini menyangkut legitimasi politik. Publik telah memilih keduanya. Tapi dalam praktik pemerintahan, seolah hanya satu yang diakui dan bergerak. Ini mencederai semangat kolektif yang diusung dalam sistem presidensial di tingkat daerah.
Kritik Akademik: Gaya Autokratik dan Narsistik
Pakar kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan, Kristian Widya Wicaksono, menyebut gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai autokratik dengan kecenderungan narsistik. Ia menyebut Dedi cenderung menjalankan pemerintahan seperti “CEO media”, yang menjadikan narasi visual dan dramatisasi sebagai instrumen utama komunikasi publik. Masalahnya, ketika semua keputusan bergantung pada satu figur, sistem menjadi rentan. Birokrasi kehilangan daya dorong, ASN kehilangan arah, dan proses akuntabilitas melemah.
Dalam struktur pemerintahan daerah yang ideal, peran OPD dan perangkat birokrasi menjadi ujung tombak. Tapi dalam praktiknya di Jawa Barat, keputusan kerap diumumkan lewat unggahan media sosial sebelum ada disposisi resmi. Model kepemimpinan seperti ini membingungkan birokrasi. Banyak kebijakan tidak lahir dari mekanisme deliberatif, tetapi dari narasi tunggal.
Panggung Tanpa Orkestra
Ketika panggung hanya diisi oleh satu aktor, maka musik birokrasi tidak mengalun. Perangkat daerah tidak diberi ruang untuk memainkan perannya. Wakil gubernur tidak diberi tugas. Kepala dinas menunggu sinyal. Rapat-rapat koordinasi tergantikan oleh siaran langsung. Akuntabilitas berganti jadi impresi.
Padahal, demokrasi tidak bisa dijalankan dengan pola satu suara. Pemerintahan bukan ajang unjuk kebolehan, tetapi kerja bersama yang diikat oleh prosedur, peran, dan struktur. Ketika semua dilebur dalam figur tunggal, yang tersisa hanya euforia jangka pendek dan risiko jangka panjang.
Populisme Tanpa Sistem
Kepemimpinan populis sering kali menggoda karena mampu membangun kedekatan semu dengan rakyat. Tetapi ketika populisme menafikan sistem, maka yang lahir bukanlah kepemimpinan yang kuat, melainkan birokrasi yang lemah.
Pendekatan langsung Dedi dalam menyelesaikan masalah lapangan memang tampak cepat dan responsif. Namun, dalam banyak kasus, penyelesaian yang tidak ditopang oleh sistem birokrasi justru menciptakan ketergantungan baru. Masyarakat akan terus meminta kehadiran figur, bukan solusi institusi.
Sementara wakil gubernur dan jajaran birokrasi menjadi semacam penonton yang hanya ikut mengangguk pada arahan layar, bukan pada perencanaan strategis jangka panjang.
Implikasi Demokrasi Lokal
Gaya pemerintahan seperti ini, jika dibiarkan, akan menggerus tatanan demokrasi lokal. Sistem check and balance di daerah nyaris tak bisa berjalan jika tidak ada distribusi peran. Fungsi pengawasan DPRD pun kerap terjebak pada sikap “ikut arus” demi menjaga relasi politik.
Di sisi lain, partai politik juga terlihat absen dalam mengawal janji dan kontrak politik. Dedi seolah berjalan di atas jalur independennya sendiri. Di sinilah pentingnya peran media, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menjaga marwah pemerintahan daerah agar tidak terjebak pada model kepemimpinan personalistik yang rapuh.
Wajah Jawa Barat ke Depan
Sebagai provinsi dengan lebih dari 50 juta penduduk, Jawa Barat tidak bisa diserahkan pada gaya pemerintahan tunggal. Diperlukan sistem kerja yang kolektif, struktur yang berjalan, dan peran yang saling melengkapi. Wakil gubernur bukan cadangan. Ia adalah bagian dari roda yang harus diputar bersama.
Panggung yang hanya menampilkan satu aktor akan cepat melelahkan. Bahkan aktor itu sendiri, betapapun kuatnya, tidak bisa memainkan seluruh peran selamanya. Sistem perlu dibangun. Struktur perlu diperkuat. Dan wakil gubernur perlu dilibatkan, bukan dimarginalkan.
Demokrasi Bukan Pentas Pribadi
Jika demokrasi adalah ruang kolektif, maka setiap aktor harus diberi panggungnya. Jika pemerintahan adalah orkestra, maka semua alat musik harus dimainkan. Kepemimpinan Dedi Mulyadi perlu segera dikoreksi. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menyelamatkan jalannya pemerintahan yang efektif, transparan, dan demokratis.
Panggung Dedi terlalu terang. Tapi bayang-bayang Erwan terlalu kelam. Inilah saatnya Jawa Barat keluar dari panggung personal menuju pemerintahan yang berfungsi sebagai rumah bersama. Karena publik tidak memilih bintang, mereka memilih pemimpin. Dan pemimpin, sejatinya, bukan aktor tunggal. (han)












