BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM—Kamis malam, (7/8/2025) lini masa pecinta sastra diwarnai diskusi hangat dari layar gawai. Melalui sesi Live Instagram, Ariel Seraphino bersama host Foggy FF dari @sindikasi.aksara mengajak penonton masuk ke dunia “Ziarah”, novel legendaris karya Iwan Simatupang.
Acara ini menjadi bagian dari KamSara Bedah Buku edisi kedelapan, yang kali ini terasa istimewa karena mengupas karya yang kerap disebut sebagai tonggak eksistensialisme dalam sastra Indonesia.
Bagi banyak orang, membaca Ziarah ibarat berjalan tanpa peta. Kita diajak menghadapi kenyataan bahwa hidup sering kali tak punya arah pasti, namun tetap menuntut kita untuk mencari makna di setiap langkah. Tokoh utamanya, seorang pelukis yang baru saja kehilangan istri, memilih jalur tak lazim dalam memaknai hidup: bekerja sebagai pengapur kuburan, berinteraksi dengan orang-orang asing, dan menyusuri absurditas kehidupan yang penuh ironi.
Ariel Seraphino menekankan, “Karya Iwan Simatupang yang inkonvensional seharusnya memicu semangat penulis hari ini. Tidak semua tulisan harus rapi, terstruktur, atau mengikuti selera pasar. Terkadang, dibutuhkan karya yang mendobrak kebiasaan agar benar-benar diingat.”
Pendapat ini sejalan dengan perjalanan Ziarah sendiri—sebuah novel yang sempat tersendat penerbitannya karena dianggap “tidak laku” di masanya, dan bahkan dicap “borjuis” oleh Lekra.
Meski begitu, waktu membuktikan kualitasnya. Ziarah, yang ditulis pasca kematian istri Iwan dan dipersembahkan untuknya, akhirnya terbit pada 1969.
Novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Melayu, dan Perancis, bahkan tengah diupayakan ke bahasa Jerman. Puncaknya, pada 1977, Ziarah meraih penghargaan ASEAN Literary Award sebagai roman terbaik Asia Tenggara satu dekade terakhir.
Mengajak Pembaca Berdamai dengan Kehilangan
Tak hanya menawarkan refleksi filosofis, Ziarah juga menyentuh nilai agama, sosial, psikologis, dan moral. Ia mengajak pembaca berdamai dengan kehilangan, memahami keterasingan, sekaligus menemukan makna dari setiap pengalaman hidup, baik yang manis maupun getir.
Sesi Bedah Buku kali ini bukan hanya mengulas alur dan tokoh, tetapi juga membuka ruang bagi peserta untuk merenung. Diskusi mengalir dari interpretasi simbol-simbol dalam novel hingga pengalaman pribadi yang membawa ziarah kecil kita bersama dalam dunia kata dan makna. (tiwi)












