Bandung Barat, www.pasjabar.com — Kedatangan tim juru sita Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung ke kawasan Pagerwangi, Punclut, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, pada Selasa (25/8/2025), memicu penolakan dari warga.
Tim yang terdiri dari aparat kepolisian, Satpol PP, hingga Babinsa itu dikabarkan hendak melakukan pendataan sita terkait sengketa tanah antara PT DAM Utama Shakti Prima dengan warga penggarap.
Namun, langkah tersebut menuai protes. Warga yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) menilai kedatangan juru sita dilakukan tanpa pemberitahuan resmi terlebih dahulu, sehingga dianggap meresahkan.
SPP Pertanyakan Legalitas Klaim PT DAM
Sekretaris Jenderal SPP, H. Agustiana, menegaskan bahwa pihaknya menolak klaim PT DAM atas tanah negara eks erfacht di kawasan Punclut Pagerwangi.
Menurutnya, jika mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengakui jual beli garapan, hal itu masih bisa dipahami.
Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana status tanah negara bisa langsung berubah menjadi hak milik PT DAM.
“Kalau memang PT DAM diakui sebagai subjek penerima sesuai PP No. 224 Tahun 1961, mana buktinya? Kalau tidak ada, klaim itu jelas tidak punya dasar hukum,” tegas Agustiana.
Ia juga menantang pihak pengadilan menunjukkan bukti administrasi resmi berupa redistribusi atau surat keputusan pengukuhan hak atas tanah negara.
Tanpa adanya dokumen tersebut, klaim kepemilikan PT DAM dinilai cacat hukum.
Selain itu, SPP mempertanyakan tujuan akhir penguasaan lahan tersebut. Apakah untuk kepentingan pembangunan masyarakat atau justru sekadar dijadikan komoditas jual beli tanah.
“Kalau hanya untuk diperjualbelikan, aturan apa yang membolehkan?” tambahnya.
Ancaman Langkah Hukum Jika Warga Digusur
Agustiana menyebut, aksi pendataan sita tanpa penjelasan tertulis bisa dikategorikan sebagai tindak pidana karena berpotensi menimbulkan keresahan warga.
Ia menilai, tindakan itu juga bisa dianggap sebagai bentuk penggusuran paksa terhadap lahan garapan anggota SPP.
Ia menegaskan bahwa sengketa tanah Punclut Pagerwangi bukan perkara baru. Kasus ini sudah lama diproses dan bahkan didaftarkan hingga ke Kementerian ATR/BPN serta Tim Penyelesaian Sengketa Tanah tingkat pusat sejak tahun 2010.
“Kalau ada tindakan pengrusakan atau pengusiran terhadap rakyat di atas tanah negara yang statusnya masih sengketa, maka kami siap menempuh jalur hukum,” tegasnya.
Dengan memanasnya konflik ini, warga Pagerwangi berharap pemerintah dan lembaga hukum dapat memberikan kepastian dan keadilan.
Sengketa tanah yang berkepanjangan dikhawatirkan bukan hanya merugikan warga penggarap, tetapi juga menciptakan instabilitas sosial di kawasan Punclut yang dikenal sebagai salah satu daerah strategis di Lembang.












