
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk FH Unpas (Hukum di Menara Gading, Keadilan di Jalanan)
WWW.PASJABAR.COM – Pada dekade 1960-an, Duncan Kennedy melontarkan pertanyaan yang mengguncang dunia pendidikan hukum: apakah fakultas hukum hanya berfungsi sebagai mesin reproduksi hierarki? Esai Legal Education and the Reproduction of Hierarchy (1982) itu, meski lahir dari pengalaman Harvard Law School, gaungnya terasa hingga hari ini.
Kennedy menegaskan, fakultas hukum seakan dinasibkan untuk setia pada pakem hukum tertentu. Hukum diposisikan sebagai sesuatu yang netral, padahal ia sarat ideologi. Di balik dinding kuliah, dunia sosial bergulat dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Inilah paradoks yang kita warisi: kampus hukum berdiri megah di menara gading, sementara keadilan justru digugat di jalanan.
Gambaran Dewi Keadilan dengan mata tertutup sering ditafsirkan sebagai simbol imparsialitas. Namun bagi banyak warga, penutup mata itu justru tanda kebutaan: hukum tak melihat penderitaan mereka.
Reproduksi
Pendidikan hukum Indonesia mewarisi tradisi kolonial Belanda. Silabusnya dibangun di atas dogmatika: undang-undang, yurisprudensi, dan doktrin. Di kelas, mahasiswa sibuk menghafal pasal, menyalin catatan, atau mengulang teori. Mereka lebih dibentuk menjadi jurist yang patuh pada teks ketimbang pemikir yang resah pada konteks.
Hierarki pertama yang direproduksi adalah epistemik: hukum disempitkan hanya sebagai peraturan perundang-undangan. Hierarki kedua adalah sosial: fakultas hukum dijadikan tangga menuju status bergengsi. Hierarki ketiga adalah ideologis: hukum ditempatkan sebagai netral, padahal ia sering berpihak pada pemilik kuasa.
Tak heran bila banyak lulusan hukum lebih piawai melayani birokrasi dan korporasi daripada membela rakyat kecil. Kennedy benar: fakultas hukum bisa menjadi pabrik hierarki, bukan ruang pembebasan.
Jalanan
Sementara itu, wajah hukum di jalanan jauh dari ideal. Berbagai laporan masyarakat serta catatan lembaga pemantau seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Ombudsman menunjukkan praktik pungutan liar dalam pengurusan SIM dan BPKB masih marak.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan YLBHI mencatat, kriminalisasi petani yang memperjuangkan tanah, aktivis lingkungan yang menolak tambang, maupun buruh yang menuntut upah layak, berulang sepanjang 2023–2024.
Di pengadilan, Komisi Yudisial dalam laporan tahunan 2024 masih menerima banyak aduan dugaan pelanggaran kode etik hakim. Bagi publik, kondisi ini sering ditafsirkan sebagai gejala ketidakbersihan peradilan, yang menumbuhkan persepsi adanya praktik jual beli perkara.
Ketidakadilan itu hadir dalam bentuk nyata: pedagang kaki lima ditertibkan tanpa ganti rugi, perempuan korban kekerasan rumah tangga kesulitan mengakses bantuan hukum, hingga anak jalanan yang dituduh mencuri sandal. Inilah realitas hukum yang jauh dari ruang kuliah.
Keterlibatan
Pendidikan hukum mesti berani membuka diri: tidak berhenti di tataran teks, melainkan menembus tembok kampus, berjalan ke jalanan, ke desa, ke pasar. Pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan harus dibiarkan tumbuh liar, menyubur seperti hutan, atau mengalir seperti ombak di samudra.
Inilah semangat yang pernah disuarakan W.S. Rendra dalam puisi-puisinya: bahwa pertanyaan tidak boleh dibungkam, tetapi harus dibiarkan hidup, menantang, bahkan mengganggu kenyamanan. Pendidikan hukum membutuhkan semangat itu, agar tidak kehilangan arah.
Engaged legal education berarti pendidikan hukum yang terlibat, yang membentuk sensitivitas etis sekaligus keberpihakan sosial. Tanpa itu, fakultas hukum hanya akan melestarikan jarak dengan realitas, dan hukum hanya menjadi pelajaran menghafal pasal.
Klinik
Salah satu jalan adalah memperkuat klinik hukum berbasis kampus. Klinik hukum bukan sekadar laboratorium praktik, tetapi jembatan antara kampus dan masyarakat.
Di Amerika Latin, klinik hukum dipakai untuk memperjuangkan hak masyarakat adat, misalnya di Universidad de Buenos Aires. Di Afrika Selatan, Legal Resources Centre bekerja sama dengan klinik hukum universitas untuk melawan diskriminasi. Di Indonesia, beberapa fakultas hukum telah memulai langkah serupa, meski masih terbatas.
Klinik hukum memberi kesempatan mahasiswa melihat hukum sebagai praksis, bukan sekadar teks. Mereka belajar mendengar keluhan warga, menulis gugatan, mendampingi korban, hingga merasakan frustrasi ketika hukum tak berpihak pada kebenaran.
Akses
Namun klinik hukum tak cukup bila berdiri sendiri. Ia harus ditopang kurikulum yang kritis: filsafat hukum, sosiologi hukum, teori kritis, hingga feminisme hukum. Semua perspektif ini diperlukan untuk membongkar hierarki yang direproduksi di ruang kelas.
Pada saat yang sama, pendidikan hukum harus peka terhadap masalah access to justice. Sistem peradilan kita masih mahal, lamban, dan berbelit. Indeks Rule of Law 2024 dari World Justice Project menempatkan Indonesia pada peringkat rendah dalam akses terhadap keadilan sipil. Fakta ini menunjukkan betapa jalan menuju keadilan masih penuh halang rintang.
Kampus hukum bisa ikut memberi solusi: mencetak generasi hukum yang bukan hanya piawai di meja pengadilan, tetapi juga peka terhadap kebutuhan keadilan masyarakat.
Pertanyaan
Pertanyaan Kennedy tetap relevan: untuk siapa fakultas hukum bekerja? Untuk negara? Pasar tenaga kerja? Korporasi? Atau rakyat kecil yang termarjinalkan?
Jika fakultas hukum hanya menjadi pabrik gelar, ia akan melahirkan generasi ahli pasal yang bisu terhadap konteks. Tetapi bila berani membuka diri, ia bisa menjadi ruang pembibitan generasi baru: jurist yang cerdas sekaligus berkeadilan.
Refleksi
Di titik inilah pendidikan hukum membutuhkan refleksi filosofis yang lebih dalam. Filsafat hukum berfungsi bukan hanya sebagai mata kuliah pelengkap, melainkan sebagai ruang mempertanyakan makna keadilan, hak, dan tujuan negara hukum. Tanpa refleksi filosofis, hukum hanya menjadi ritual administratif.
Tanpa refleksi pula, mahasiswa hukum hanya akan menjadi teknisi aturan, bukan insan yang peduli pada penderitaan rakyat. Padahal, hukum seharusnya hidup dalam denyut masyarakat, bukan sekadar pasal yang beku di kertas.
“Hukum di Menara Gading, Keadilan di Jalanan” bukan sekadar judul, melainkan realitas sehari-hari. Kampus hukum sibuk dengan akreditasi dan publikasi, sementara rakyat masih menjerit karena hukum yang abai.
Pendidikan hukum mesti berani meruntuhkan menara gadangnya, lalu menyeberang ke jalanan. Di sana, keadilan diperebutkan, diuji, dan ditagih. Di sanalah Dewi Keadilan ditantang: apakah ia sekadar patung, atau roh yang hidup dalam pergulatan rakyat kecil.
Jika kampus hukum berani melangkah ke arah itu, reproduksi hierarki bisa dipatahkan. Pendidikan hukum tak lagi sekadar mencetak ahli pasal, melainkan pejuang keadilan. Saat itu tiba, menara gading runtuh bukan menjadi reruntuhan, melainkan jembatan menuju rakyat. (han)












