BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Menjelang pemberlakuan resmi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) baru pada Januari 2026, kalangan akademisi menyoroti sejumlah pasal yang dinilai masih bermasalah secara substansi maupun interpretasi hukum.
Salah satunya datang dari dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sekaligus
Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran (IKANO Unpad) periode 2023–2027, Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H.
Menurut Ranti, terdapat beberapa pasal yang krusial dan berpotensi menimbulkan persoalan serius
di masyarakat urban seperti Bandung, terutama terkait pluralitas dan kebebasan berekspresi.
“Pasal 2 KUHP baru memang mengakui hukum yang hidup di masyarakat, namun batasannya tidak jelas. Dalam masyarakat yang heterogen seperti Bandung, ini bisa berisiko menimbulkan penyalahgunaan tafsir dan bahkan persekusi,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengakuan terhadap living law tanpa kualifikasi yang konkret dapat melegitimasi dominasi kelompok mayoritas atas minoritas dan berpotensi mengancam hak asasi manusia.
Ancaman Pidana
Selain itu, Pasal 256 KUHP juga mendapat sorotan karena mengatur ancaman pidana bagi demonstrasi tanpa izin.
“Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet yang mengancam kebebasan berpendapat. Tidak jelas definisi ‘mengganggu kepentingan umum’, sehingga bisa saja digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis,” jelasnya.
Ranti juga menyinggung Pasal 433–442 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik yang dinilai ambigu dan mudah disalahartikan.
Ia menilai, redaksi pasal yang tidak tegas bisa membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan serta menekan kritik publik.
Dalam konteks kehidupan digital, Ranti mengingatkan bahwa beberapa pasal seperti Pasal 188, 218–220, 240–241, serta 263–264 berpotensi tumpang tindih dengan Undang-Undang ITE.
“Pasal-pasal itu bisa menjadi alat represif terhadap masyarakat dan jurnalis. Apalagi bila dipakai untuk membatasi kritik atau menyebarkan ketakutan di ruang digital,” ujarnya.
Menurutnya, di era media sosial seperti saat ini, kejelasan batas antara kritik, opini, dan pelanggaran hukum harus benar-benar tegas agar tidak menimbulkan salah tafsir.
Ranti juga menegaskan pentingnya kesadaran hukum publik sebelum KUHP baru mulai diberlakukan.
“Masyarakat harus memahami pasal-pasal ini agar tidak terjebak pada pelanggaran yang tidak disadari. Prinsip ignorantia juris non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dijadikan alasan, harus menjadi pengingat bersama,” ungkapnya.
Ia menilai, minimnya literasi hukum bisa membuat warga mudah terjerat pidana akibat kurangnya pemahaman terhadap perbuatan yang dilarang.
Menutup pernyataannya, Ranti menekankan pentingnya peran lembaga pendidikan dan akademisi dalam mengedukasi publik.
“Kampus dan akademisi punya tanggung jawab moral untuk memperluas pengetahuan publik lewat sosialisasi, edukasi, dan diskusi.
Legal awareness masyarakat menjadi kunci agar penerapan KUHP baru tidak berujung pada ketakutan, tetapi pada keteraturan hukum yang adil,” pungkasnya. (tiwi)












