
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Tuanku Konstitusi)
WWW.PASJABAR.COM – Di setiap bangsa selalu ada sesuatu yang lebih tinggi daripada seorang raja. Di Mesir kuno, itu adalah para dewa. Di Jepang, itu adalah Kaisar yang tak pernah bersalah. Di abad modern, demi manusia yang lelah diperintah tanpa batas, dunia menciptakan sesuatu yang tak bertubuh, tak berpedang, tak bermarkas — namun ditaati: konstitusi. Ia bukan dewa, bukan raja, bukan panglima. Ia hanya teks. Tapi teks itulah yang hendak menjawab pertanyaan paling berbahaya dalam sejarah politik: siapa yang berhak menentukan batas kekuasaan? Ketika manusia mendefinisikan negara, mereka tak sedang mencari cara memerintah, tetapi cara agar tak diperintah tanpa akhir.
Konstitusi lahir bukan dari kepercayaan, tetapi dari kecurigaan. Pada mulanya, ia bukan keyakinan, melainkan ketakutan terhadap kemungkinan seorang penguasa bangun di pagi hari dan memutuskan bahwa negara adalah dirinya. Karena itu, konstitusi bukan hanya dokumen; ia adalah pagar. Pagar bagi orang kuat agar tidak terlalu kuat, pagar bagi orang lemah agar tidak terlalu rapuh. Tapi pagar hanya berarti selama tak ada yang menggesernya.
Janji
Setiap generasi bangsa seperti Indonesia pernah diajak percaya bahwa hukum adalah sesuatu yang berdiri tegak, lebih tegak daripada para pemegang kekuasaan. Kita tumbuh dengan pernyataan agung: “Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan.” Kalimat itu menghantui sekaligus menghibur. Ia menenangkan kita ketika keadilan tampak rapuh, dan pada saat yang sama memaksa kita bertanya: apakah hukum benar menjadi tuan, atau hanya sulih suara dari kuasa?
Dalam teori, jawaban sudah dikarpetkan: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Namun dalam praktik, kedaulatan tidak pernah berjalan sendiri. Ia memakai kaki seseorang, wajah seseorang, kebiasaan seseorang. Kita jarang sadar bahwa janji konstitusi selalu bertarung dengan naluri manusia: keinginan diperhatikan, dipatuhi, dilayani, ditinggikan. Dan di sinilah pertarungan itu berlangsung: antara janji yang diam dalam teks dan ambisi yang hidup di dada manusia.
Cermin
Setiap kali putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, bangsa sesungguhnya sedang berkaca. Kita melihat bukan sekadar bunyi amar, tetapi nilai ketertiban dalam jiwa negara. Ketika putusan itu dipuji, ia mencerminkan keyakinan bahwa hukum masih lebih tinggi dari kekuasaan. Ketika putusan itu didebatkan karena menyentuh kenyamanan politik, cerminnya berembun. Orang-orang mulai bertanya: apakah hukum hanya berlaku sepanjang tidak mengganggu mereka yang memegang kekuasaan?
Di sana, refleksi paling jujur dari demokrasi muncul: negara bersandar pada konstitusi hanya selama konstitusi tidak mengganggu rencana. Di titik ini, MK bukan sekadar lembaga, tetapi simbol. Ketika ia dihormati, bangsa mengingat siapa tuan sesungguhnya. Ketika ia dinegosiasikan, bangsa lupa bahwa tanpa konstitusi, kekuasaan adalah air bah — mengalir ke ruang yang paling lemah.
Luka
Konstitusi bisa dilanggar tanpa pernah dirobek. Ia bisa dinistakan tanpa pernah dibantah. Yang sering melukainya bukan pembangkangan terang-terangan, tetapi penundaan, penafsiran yang melembutkan, alasan-alasan yang terdengar logis tetapi merusak akar. Di titik inilah konstitusi paling menderita: bukan ketika diserang, tetapi ketika diakali.
Ia terluka ketika hukum dikutip, namun inti aturannya dihindari. Ia terluka ketika putusan MK dikatakan final dan mengikat — tetapi ditunda pelaksanaannya. Ia terluka ketika ketentuan yang jelas dibiarkan kabur hanya agar mereka yang kuat tetap nyaman. Luka konstitusi bukan retakan pada pasal-pasal, melainkan retakan pada kejujuran moral pembuat keputusan. Dan itu tidak terlihat di pengadilan — hanya terlihat pada arah bangsa.
Takhta
Konstitusi hanya memiliki kekuasaan sejauh orang-orang bersedia menundukkan kepala kepadanya. Ia tak punya pasukan, tak punya polisi, tak punya penjara. Yang ia punya hanya legitimasi, reputasi, dan iman politik masyarakat bahwa ia lebih tinggi dari kepentingan siapa pun. Karena itu, yang menentukan masa depan negara bukan isi konstitusi, melainkan tingkat kesediaan penguasa untuk berlutut di hadapannya.
Bangsa yang maju bukan bangsa dengan konstitusi paling lengkap, melainkan bangsa yang paling sedikit menemukan alasan untuk mengabaikannya. Semakin banyak pasal yang harus dijelaskan ulang untuk memastikan bahwa ia tidak sedang dilanggar, semakin terlihat bahwa takhta tertinggi negara mulai digeser. Hukum pun perlahan turun posisi — bukan lagi tuan, hanya instrumen.
Ketaatan
Pada akhirnya konstitusi tidak pernah memenangkan pertarungan dengan pedang, tetapi dengan kerelaan. Tak ada jaminan konstitusi akan menang dalam setiap keputusan politik; ia hanya bisa menang sejauh orang-orang yang memegang kekuasaan memilih untuk menaati sesuatu yang lebih besar dari diri mereka. Di sinilah nilai bangsa diukur: bukan seberapa tinggi pemimpinnya berbicara tentang negara hukum, tetapi seberapa teguh mereka taat ketika hukum menuntut sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ketika penguasa bersedia tunduk pada konstitusi bahkan ketika itulah pilihan paling sulit, demokrasi tumbuh. Ketika penguasa memilih jalan nyaman dan menjadikan konstitusi penonton, demokrasi melayu. Negara tak runtuh hari itu juga, tetapi pelan-pelan terbiasa dengan kelonggaran — kelonggaran yang suatu hari mungkin membuat hukum tidak lagi menahan apa pun.
Doa
Bangsa ini belum kehilangan konstitusi; yang diuji adalah kesediaan kita menjadikannya tuan. Kita tidak menunggu kesempurnaan lembaga — kita menunggu keberanian. Kita tidak menunggu pasal baru — kita menunggu keteladanan. Sebab konstitusi tidak bekerja tanpa moral, seperti kompas yang tak berguna tanpa orang yang ingin mencari arah.
Mungkin pada akhirnya, tugas kita bukan menjadikan konstitusi suci, tetapi menjadikannya hidup. Hidup dalam keputusan-keputusan yang berani, dalam keengganan untuk menyalahgunakan celah, dalam kesediaan untuk memilih kesulitan demi menjaga martabat demokrasi. Kita tak berdoa agar konstitusi disembah; kita hanya berharap agar ia dihormati.
Sebab suatu hari nanti, sejarah akan bertanya: siapakah yang bangsa ini pilih sebagai tuannya — kekuasaan, atau konstitusi? Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya menentukan masa depan sebuah republik. Jika suatu hari Pemimpin Negeri ini berdiri di hadapan konstitusi dan berkata, “Aku tunduk”, maka seluruh rakyat sesungguhnya ikut berdiri di belakangnya. Dan pada saat itulah, kita dapat mengatakan dengan tenang: bangsa ini selamat. (han)












