Oleh: Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si., Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Paguyuban Pasundan (Utang dan Perbudakan Modern)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sebuah keluarga petani kecil yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan mereka sederhana, tetapi cukup; mereka menanam padi, memelihara hewan ternak, dan menjual sebagian hasil panen untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Suatu hari, datanglah seorang saudagar dari kota yang menawarkan pinjaman uang dengan syarat yang tampak menguntungkan. Dengan pinjaman ini, keluarga tersebut bisa membeli peralatan pertanian yang lebih baik dan meningkatkan hasil panen mereka.
Awalnya, semua berjalan lancar. Hasil panen meningkat, dan keluarga tersebut mampu membayar cicilan utang. Namun, tahun berikutnya terjadi bencana alam yang menghancurkan ladang mereka. Mereka tak mampu membayar cicilan, dan bunga utang terus bertambah. Sang saudagar, yang semula ramah, kini menuntut pembayaran lebih tinggi. Pada akhirnya, keluarga itu terpaksa menyerahkan tanah mereka sebagai pembayaran utang dan menjadi buruh di tanah yang dulu mereka miliki.
Cerita ini mungkin terasa akrab bagi banyak orang, tetapi dalam skala global, inilah yang terjadi pada banyak negara berkembang. Mereka dijebak dalam utang yang tampaknya menguntungkan di awal, namun pada akhirnya justru memperkuat ketergantungan mereka pada negara-negara kaya dan lembaga keuangan internasional.
Contohnya bisa dilihat dari kisah nyata Ekuador, sebuah negara di Amerika Selatan yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak. Pada tahun 1970-an, Ekuador meminjam sejumlah besar uang dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan perekenomian. Namun, pinjaman ini datang dengan syarat yang sangat ketat. Ekuador harus membuka pasarnya untuk investasi asing dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk layanan sosial.
Ketika harga minyak dunia jatuh, Ekuador mengalami kesulitan besar untuk membayar utang. Sebagian besar pendapatan negara harus digunakan untuk membayar bunga utang, sementara rakyatnya menderita akibat pengurangan layanan kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya. Akibatnya, meskipun negara ini kaya akan sumber daya, mayoritas penduduknya hidup dalam kemiskinan, terperangkap dalam siklus utang yang tak mungkin dilunasi.
Buruknya Utang
Ketergantungan ini semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa sebagaian besar keuntungan dari sumber daya alam Ekuador mengalir ke perusahaan-perusahaan asing, bukan kepada rakyatnya sendiri. Dengan kata lain, utang yang seharusnya membantu negara berkembang malah menjadikannya semakin terikat pada negara-negara kaya dan perusahaan multinasional.
Utang ini seperti perangkap yang tak terlihat, menciptakan bentuk perbudakan modern di mana negara berkembang kehilangan kendali atas sumber daya dan kebijakan ekonominya sendiri. Ketika negara-negara ini tak mampu membayar utang mereka, mereka dipaksa untuk menerima lebih banyak pinjaman dengan syarat yang lebih berat, membuat mereka semakin terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan.
Dengan demikian, utang tidak lagi menjadi alat untuk pembangunan, melainkan alat untuk mengontrol dan mengeksploitasi negara berkembang. Inilah perbudakan modern yang terjadi bukan melalui rantai dan cambuk, tetapi melalui dokumen kontrak dan perjanjian internasional. (han)