Oleh: Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi M.Si (Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan) – Eugenika
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pada awal abad ke-20, ada satu ideologi yang berkembang pesat, menjanjikan masa depan manusia yang lebih baik dan lebih “murni”. Ideologi itu adalah eugenika. Meskipun terdengar seperti konsep yang bertujuan baik—yakni meningkatkan kualitas genetik manusia—kenyataannya eugenika membawa sejarah kelam yang dipenuhi oleh diskriminasi, penindasan, dan kekejaman yang tidak termaafkan.
Asal-usul eugenika dapat ditelusuri ke Inggris, di mana Francis Galton, sepupu Charles Darwin, mempopulerkan ide ini pada akhir abad ke-19. Galton percaya bahwa kualitas manusia, seperti kecerdasan dan moralitas, bisa ditingkatkan melalui seleksi perkawinan yang terkontrol. Ide ini dengan cepat menyebar ke Amerika Serikat dan Eropa. Di mana ia diadopsi oleh para ilmuwan, politikus, dan pemimpin masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan mengendalikan siapa yang bisa memiliki anak, mereka dapat menciptakan masyarakat yang lebih kuat dan lebih cerdas.
Eugenika
Namun, praktik eugenika sering kali menyasar kelompok-kelompok yang dianggap “tidak layak”. Ini termasuk orang-orang dengan disabilitas, minoritas rasial, orang miskin, dan mereka yang dianggap memiliki masalah mental. Di Amerika Serikat, ribuan orang dipaksa untuk menjalani sterilisasi agar mereka tidak bisa memiliki anak. Di Jerman, Nazi membawa ide ini ke tingkat ekstrem, menggunakan eugenika sebagai pembenaran untuk Holocaust. Di mana jutaan orang Yahudi, Roma, dan kelompok lainnya dibunuh karena dianggap sebagai ancaman terhadap “kemurnian ras Arya”.
Meski praktek-praktek eugenika tradisional kini dikecam secara luas, jejaknya masih terlihat dalam masyarakat modern. Konsep-konsep yang mirip dengan eugenika terus hidup dalam bentuk kebijakan dan teknologi baru. Misalnya, dengan kemajuan dalam genetika, kita sekarang memiliki kemampuan untuk melakukan “screening” terhadap embrio. Untuk memilih yang dianggap paling sehat atau paling cerdas. Meskipun ini mungkin terdengar seperti cara untuk mencegah penyakit genetik, banyak yang berpendapat bahwa ini bisa membuka pintu kembali ke diskriminasi genetik.
Selain itu, gagasan tentang siapa yang “pantas” untuk memiliki anak masih muncul dalam berbagai bentuk, termasuk kebijakan imigrasi dan akses terhadap layanan kesehatan. Ide-ide ini, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan eugenika, tetap mewakili kelanjutan dari keyakinan bahwa nilai seseorang bisa ditentukan oleh karakteristik biologis mereka.
Sejarah eugenika adalah pengingat bahwa ilmu pengetahuan dan kebijakan publik bisa sangat berbahaya jika tidak diiringi dengan etika dan kemanusiaan. Eugenika mengajarkan kita bahwa obsesi untuk menciptakan “masyarakat yang lebih baik” sering kali berarti mengorbankan mereka yang dianggap sebagai “beban” oleh mayoritas. Oleh karena itu, dalam dunia yang semakin maju ini, sangat penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan selalu digunakan untuk memperkuat, bukan menghancurkan, kemanusiaan kita bersama.
Dengan memahami sejarah kelam ini, kita dapat bekerja menuju masa depan di mana setiap individu dihargai bukan karena gen mereka, tetapi karena kemanusiaan mereka. Mari kita memastikan bahwa bayangan gelap ini tidak pernah kembali menghantui kita. (han)