![](https://pasjabar.com/wp-content/uploads/2025/01/WhatsApp-Image-2025-01-17-at-09.41.19_2395a71d-233x300.jpg)
Oleh: Adang, Dosen STIE Pasundan (Isra & Mi’raj)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – RUANG & WAKTU
Isra & Miraj, dua peristiwa yang luar biasa, di luar batas nalar manusia, yang mengandung dimensi metafisik dan spiritual yang sangat hebat, peristiwa perjalanan itu mengkonstruksikan perjalanan transendental yang melampaui batas-batas ruang, waktu, dan eksistensi manusiawi. Isra menggambarkan pergerakan horizontal Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, bukanlah sekadar translasi fisik dalam dimensi ruang yang terukur, tetapi bagian perjalanan ontologis yang melampaui keterbatasan duniawi.
Martin Heidegger melihat eksistensi manusia (Being) selalu berada dalam dunia yang terikat oleh ruang & waktu, tetapi melalui pengalaman transendental seperti Isra, manusia mampu menyelami esensi terdalam dari eksistensinya. Seperti dalam pandangan fisika kuantum yang memandang bahwa partikel dapat berada dalam beberapa keadaan sekaligus (superposisi), perjalanan Isra mencerminkan potensi untuk melampaui keterbatasan fisik dan memasuki dimensi yang lebih kompleks dan transendental, di mana ruang & waktu tidak lagi bersifat absolut.
Teori relativitas Albert Einstein, memandang ruang & waktu tidaklah terpisah (kontinuum), melainkan saling terkait (interdependensi) dalam sebuah ruang & waktu, empat dimensi yang melengkung akibat adanya gravitasi, yakni panjang (x), lebar (y), tinggi (z) dan waktu (t). Isra, perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dapat dipahami sebagai manifestasi dari kontinum ruang-waktu yang melengkung, di mana perjalanan spiritual ini tidak hanya mengubah posisi fisik, tetapi juga merubah kesadaran akan realitas yang lebih luas. Saya memaknai Isra lebih dari sekadar translasi fisik, ia adalah pergeseran paradigma dalam memahami relasi antara materi dan spiritual, antara yang terukur dan yang tidak terhingga.
FISIKA QUANTUM
Mi’raj, bukan sekedar perjalanan, namun sebagai peristiwa spiritual yang di alami secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW, tidak hanya bermakna perjalanan fisik yang melintasi ruang & waktu, tetapi juga merupakan transendensi yang menembus batasan dimensi duniawi, membuka ruang bagi pengalaman yang tidak terjangkau oleh persepsi inderawi. Fisika kuantum dan filsafat transendental, melihat peristiwa Mi’raj sebagai simbol dari pergerakan kesadaran yang melebihi struktur ruang & waktu yang kita kenal.
Mi’raj tidak memisahkan antara ruang & waktu bukan lagi dimensi yang statis dan terpisah, tetapi sebuah kontinum dinamis yang dapat disusupi dan dipahami dengan cara yang lebih holistik dan metafisik.
Prinsip-prinsip seperti superposisi dan non-lokalitas, memperkenalkan pemahaman baru tentang realitas yang sangat berbeda dari pandangan dunia yang bersifat deterministik. Superposisi melihat partikel kuantum dapat berada dalam beberapa keadaan secara simultan, yang menggambarkan bahwa realitas tidak harus terikat pada satu dimensi ruang & waktu yang tunggal.
Non-lokalitas dalam fisika kuantum menunjukkan bahwa objek atau peristiwa tidak terikat oleh lokasi atau jarak, dan dapat saling mempengaruhi meskipun berada pada jarak yang sangat jauh. Mi’raj, dalam konteks ini, menjadi sebuah peristiwa non-lokal dalam dimensi spiritual. Perjalanan Nabi Muhammad SAW yang tampaknya mengindikasikan gerakan melalui ruang yang terbatas, sesungguhnya lebih mencerminkan transisi kesadaran dari dimensi fisik menuju dimensi yang lebih tinggi, yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu biasa.
Mi’ raj adalah fenomena entanglement (perpelukan kuantum), di mana dua partikel yang pernah berinteraksi tetap saling terkait secara kuantum, bahkan ketika mereka dipisahkan dalam jarak yang sangat jauh. Ketika salah satu partikel diubah, partikel lainnya juga merespons perubahan tersebut secara instan, meskipun tidak ada informasi fisik yang mengalir antara keduanya dalam waktu yang tampak. Ini bertentangan dengan konsep lokalitas dalam fisika klasik, di mana objek atau peristiwa dipengaruhi hanya oleh kejadian yang terjadi di sekitarnya, dalam ruang & waktu yang terbatas. Maka, Mi’raj merupakan perjalanan Non-lokalitas dengan menunjukkan bahwa ruang & waktu, sebagaimana dipahami oleh teori relativitas, bukanlah struktur mutlak yang mengatur segala sesuatu, melainkan lebih fleksibel dan bisa dipengaruhi oleh keadaan kuantum yang lebih mendalam dan kompleks.
MELEPASKAN EKSISTENSI (BEING)
Immanuel Kant, memiliki pandangan sejatinya ruang & waktu dipahami sebagai kategori apriori yang membentuk cara manusia memahami dunia. Ruang & waktu adalah bentuk-bentuk persepsi yang mendahului pengalaman empiris, namun mereka juga membatasi pemahaman manusia terhadap realitas sejati. Mi’raj, dalam konteks ini, menggambarkan pergerakan menuju kesadaran transendental yang melampaui struktur ruang & waktu yang terbatas.
Martin Heidegger memandang eksistensi manusia (Being) terikat oleh waktu & ruang, namun pengalaman transendental, Mi’raj membawa manusia kepada pemahaman bahwa keberadaan itu tidak hanya terbatas oleh dunia material. Sebagai suatu perjalanan transendental, Mi’raj menandakan pencapaian kesadaran yang melepaskan diri dari fenomena ruang & waktu, menuju pemahaman yang lebih universal tentang eksistensi, yang berada di luar batasan dunia fisik dan keberadaan yang terukur.
Mi’raj tidak hanya menggambarkan perjalanan jasmani, tetapi juga suatu dialektika antara dunia material dan spiritual, di mana pengalaman kesatuan dengan Allah SWT melibatkan transenden untuk melampaui keterbatasan eksistensial manusia.
Filsafat idealisme Hegelian melihat realitas adalah hasil dari proses dialektik yang berkelanjutan antara kontradiksi dan pencapaiannya dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi. Bagi Hegel, kesadaran diri manusia berkembang melalui proses sejarah yang rasional, menuju pencapaian kebebasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang totalitas realitas. Kesadaran ini terwujud dalam kesatuan antara pikiran dan alam, serta dalam peran manusia dalam masyarakat dan negara. Absolut bagi Hegel adalah keseluruhan yang mencakup seluruh proses perkembangan ini, yang tidak hanya terbatas pada alam atau ide, tetapi juga meresap dalam setiap aspek kehidupan, sejarah, dan individu.
Peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW, adalah paralelisme dalam konsep dialektika dan proses pencapaian kesadaran lebih tinggi yang diajarkan oleh Hegel, dengan perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW. Mi’raj, perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, dan kemudian naik ke langit untuk bertemu langsung dengan Allah SWT, dapat dipandang sebagai simbol (Semiotik) dari perjalanan kesadaran manusia yang berkembang menuju kesadaran lebih tinggi dan transendental. (Isra & Mi’raj)
DIALEKTIKA SPIRITUAL
Mi’raj bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan satu hal proses spiritual yang melampaui hukum-hukum alam semesta yang terbatas. Hegel memandang bahwa realitas sejati hanya dapat dipahami melalui kesatuan antara pikiran dan dunia. Serta melalui proses dialektik yang membawa manusia menuju kesadaran yang lebih besar tentang kebenaran dan kebebasan. Dalam Mi’raj, Nabi Muhammad SAW menyaksikan realitas mutlak (Absolut) yang melampaui dimensi duniawi, sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup manusia dan hubungan langsung dengan Allah SWT.
Mi’raj dapat dipahami sebagai titik puncak dari perjalanan kesadaran spiritual Nabi Muhammad SAW yang menuju pada kesatuan dengan Yang Maha Mutlak (Absolut). Yang dalam pandangan Hegel, adalah pencapaian tertinggi dari proses dialektik menuju pemahaman totalitas dan kebebasan yang sempurna. Dalam konteks ini, Mi’raj bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga simbol dari perkembangan kesadaran spiritual manusia. Yang sebagaimana dipahami dalam filsafat Hegelian, merupakan bagian dari proses menuju kesadaran diri yang sempurna di dunia dan akhirat.
KESADARAN TRANSENDENTAL
Kesadaran manusia tidak sepenuhnya bergantung pada fenomena material, apa yang terasakan secara material fisik. Filsafat fisika quantum dapat melihat kesadaran manusia sebagai fungsinya di luar batasan dunia fisik. Berada dalam keadaan superposisi yang memungkinkan perjalanan menuju dimensi – dimensi yang lebih tinggi. Mi’raj, jika dipahami melalui pandangan radikal ini, menggambarkan sebuah perjalanan kesadaran yang memanfaatkan sifat multidimensi dari eksistensi manusia, yang mampu melampaui ruang & waktu untuk menjalin hubungan langsung dengan dimensi spiritual yang lebih dalam.
Mi’raj memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kesadaran transendensi yang melampaui dimensi fisik. Fisika kuantum mengajukan kemungkinan bahwa realitas tidak terikat pada batasan ruang & waktu yang biasa dipahami, sementara filsafat mengajak kita untuk memandang Mi’raj sebagai perjalanan kesadaran yang membuka pintu menuju dimensi spiritual yang tidak terukur oleh kategori empiris. Mi’raj bukan hanya perjalanan jasmani Nabi Muhammad SAW, tetapi juga simbol dari pencapaian kesadaran transendental, yang melampaui ilusi dunia fisik, menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang hakikat keberadaan dan realitas yang lebih luas. Sebagai suatu perjalanan yang melibatkan non-lokalitas, superposisi, dan dialektika eksistensial, Mi’raj mengajarkan kita untuk melihat dunia tidak hanya dari perspektif empiris. Tetapi juga dari dimensi yang lebih mendalam, yang membawa kita kepada kesatuan dengan Sang Pencipta.
RELASI DENGAN ALLAH
Mi’ raj merupakan perpaduan titik perjalanan vertikal yang membawa Nabi Muhammad SAW dari bumi menuju Sidratul Muntaha. Titik tertinggi dari alam semesta, kondisi ini adalah pemaknaan hermeneutika transendensi spiritual. Relasi ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW melampaui segala hukum kosmologis yang mengikat manusia pada dimensi duniawi. Sidratul Muntaha, yang menjadi perhentian terakhir dalam perjalanan spiritual ini, seakan menjadi wujud dari titik nadir pencapaian ketuhanan yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Tempat di mana batas antara yang terbatas dan yang tidak terbatas melebur (holisme).
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratilmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An-Najm: 13-18). Hermeneutika melihat ayat ini sebagai makna alegori bagi perjalanan intelektual dan spiritual manusia yang tidak terhenti pada batas fisik. Tetapi justru menuntun kepada pemahaman yang lebih tinggi tentang eksistensi diri dalam relasi dengan Sang Pencipta. (Isra & Mi’raj)
PERINTAH SHALAT
Peristiwa Isra & Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah narasi metafisik yang melampaui batas-batas ruang & waktu, mengisyaratkan pencapaian puncak eksistensi manusia dalam menyatu dengan kehendak Ilahi. Dalam peristiwa ini, shalat dihadirkan sebagai dialektika abadi antara jiwa manusia dan Allah SWT. Menjadikan setiap sujud sebagai manifestasi dari kerinduan ontologis menuju Yang Mutlak. Isra & Mi’raj, dengan segala simboliknya, mengajarkan bahwa perjalanan manusia, baik secara lahir maupun batin, senantiasa mengarah pada realitas hakiki yang transenden.
Hasil dari perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW membawa perintah langsung dari Allah SWT. Untuk melaksanakan shalat lima waktu, yang menjadi inti ibadah dalam Islam. Dalam perjalanan luar biasa ini, Nabi Muhammad SAW menyaksikan banyak tanda kebesaran Allah SWT. Termasuk gambaran balasan amal baik dan buruk. Puncak dari perjalanan ini adalah perintah shalat yang semula diwajibkan lima puluh waktu sehari semalam. Atas saran Nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon keringanan kepada Allah SWT hingga menjadi lima waktu sehari semalam. Dengan pahala yang tetap setara dengan lima puluh waktu. Perintah ini menjadi bukti cinta Allah SWT kepada umat-Nya. Hal ini di riwayatkan oleh Imam Bukhari; Lima waktu itu setara dengan lima puluh waktu. Tak akan lagi berubah keputusan Ku.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku kembali bertemu dengan Musa. Ia menyarankan, ‘Kembalilah menemui Rabbmu’. Kujawab, ‘Aku malu pada Rabbku’.
Shalat tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga mengajarkan manajemen kehidupan yang holistik. Dengan shalat, manusia belajar disiplin waktu, kesadaran spiritual, dan keseimbangan hidup. Allah SWT berfirman: Innanî anallâhu lâ ilâha illâ ana fa‘budnî wa aqimish-shalâta lidzikrî: Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat – Ku. (Thaha ; Ayat 14). Dalam lima waktu yang telah ditentukan, seorang Muslim diajak untuk menyelaraskan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Shalat mengatur rutinitas harian menjadi lebih terstruktur, mengingatkan pentingnya introspeksi diri, dan menghadirkan ketenangan batin.
MANAJEMEN SHALAT
Manajemen waktu dalam shalat mengajarkan kita pentingnya disiplin. Shalat Subuh misalnya, mengingatkan kita untuk memulai hari dengan penuh kesadaran akan kebesaran Allah SWT. Bacaan dalam shalat, seperti Al-Fatihah dan doa-doa lain, membawa makna mendalam yang membentuk kesadaran spiritual. Setiap rukuk dan sujud adalah simbol kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta. Firman Allah: wa aqîmush-shalâta wa âtuz-zakâta warka‘û ma‘ar-râki‘în: Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (QS. Al-Baqarah: 43).
Ayat tersebut adalah perintah Allah SWT untuk melakukan pengelolaan diri, mengatur diri untuk berdisiplin dan organisasi berbasis nilai. Perintah menegakkan shalat mencerminkan pentingnya manajemen waktu dan disiplin. Di mana pelaksanaan ibadah secara konsisten pada waktu tertentu melatih individu untuk menghargai waktu dan mengatur prioritas secara efektif.
Perintah menunaikan zakat mengajarkan pengelolaan keuangan yang bijak dan bertanggung jawab. Sekaligus menekankan pentingnya keberlanjutan sosial melalui redistribusi sumber daya demi kesejahteraan umat manusia. Ajakan untuk rukuk bersama menggambarkan prinsip kolaborasi dan kepemimpinan partisipatif. Di mana keberhasilan dicapai melalui kebersamaan dan kerja sama dalam komunitas yang memiliki tujuan serupa. (Isra & Mi’raj)
Allah SWT intinya mengajarkan pentingnya manajemen berbasis nilai dan spiritualitas. Yang mengintegrasikan disiplin, tanggung jawab sosial, dan kerja sama dalam membangun budaya organisasi yang kuat dan beretika. Dengan menerapkan prinsip ini, baik individu maupun organisasi dapat mencapai efektivitas yang berimbang antara tujuan material dan moral.
Shalat berfungsi sebagai pengingat untuk terus memperbaiki diri. Nabi Muhammad SAW menggambarkan shalat seperti sungai yang mengalir, yang membersihkan kotoran lima kali sehari. Tahukah kalian, seandainya ada sebuah sungai di dekat pintu salah seorang di antara kalian, lalu ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali, apakah akan tersisa kotorannya walau sedikit?. Para sahabat menjawab, “Tidak akan tersisa sedikit pun kotorannya.” Beliau berkata, “Maka begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa.” (HR. Bukhari & Muslim).
Dalam kehidupan modern, shalat menjadi jeda spiritual yang sangat diperlukan di tengah kesibukan duniawi. Dengan menjadwalkan shalat sebagai prioritas, seseorang dapat menciptakan keseimbangan antara tuntutan dunia dan kebutuhan akhirat. Memahami makna bacaan shalat juga membantu meningkatkan kekhusyukan. Sementara waktu antara shalat dapat dimanfaatkan untuk amal kebaikan seperti berdzikir atau membaca Al-Qur’an.
Isra Mi’raj
Isra Mi’raj adalah pengingat betapa pentingnya shalat sebagai manajemen kehidupan. Dengan melaksanakan shalat secara konsisten dan penuh kesadaran, seorang Muslim tidak hanya memenuhi kewajiban ibadah. Tetapi juga membangun fondasi kehidupan yang harmonis. Shalat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus menjaga keseimbangan spiritual dan mental dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Shalat merupakan manifestasi dari taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah) yang mengarahkan manusia. Pada kesadaran transendental akan hakikat wujud dan ontologi Ketuhanan. Sebagai refleksi dari konsep ubudiyyah (penghambaan), shalat menciptakan harmoni antara dimensi ruhiyyah (spiritual) dan jasadiyyah (fisik). Sehingga menghubungkan manusia dengan Al-Haqq (Yang Maha Benar). Praktik ini menjadi sarana tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Di mana individu berupaya mengatasi ghaflah (kelalaian) dan mengarahkan pikirannya pada hikmah serta ma‘rifatullah (pengetahuan tentang Allah). Manajemen shalat memberikan ketenangan ontologis, sebuah keadaan di mana jiwa merasakan kedekatan dengan Allah SWT sebagai sumber as-sakinah (ketenangan batin).
Shalat tidak hanya menjadi ibadah ritual. Tetapi juga medium takhalli (mengosongkan diri dari stres dan kecemasan), tahalli (menghiasi jiwa dengan kebajikan), dan tajalli (penampakan cahaya Ilahi). Yang pada akhirnya membawa manusia pada sa‘adah haqiqiyyah (kebahagiaan sejati). (Isra & Mi’raj)
Shalat bukan hanya sekadar kewajiban ritual. Melainkan jalan menuju as-sa‘adah al-haqiqiyyah (kebahagiaan sejati) dengan menghubungkan hati, jiwa, dan pikiran kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Dalam shalat, manusia menemukan kedamaian batin, penguatan spiritual, dan keseimbangan hidup. Menjadikannya sarana untuk mencapai kesempurnaan eksistensi sebagai hamba Allah SWT. Sebagai warisan langsung dari langit, shalat adalah anugerah yang memandu manusia. Menuju ketenangan hakiki di dunia dan keberuntungan abadi di akhirat. (han)